"Apa!!!", suaraku yang tiba-tiba mengalahkan suara tutor praktikum membuat semua mata menoleh kepadaku. Aku langsung meminta maaf secara universal dan langsung tertunduk kembali membaca ulang chat di group WhatsApp. "Kak Maria meninggal?", teriakku dalam hati. Badanku gemetar, aku tidak tau apa yang harus kuperbuat di tengah tutorial praktikum manajemen menengah ini. Mataku pedas, aku menangis. Walaupun praktikum ini belum berjalan setengahnya, aku mencoba memberanikan diri untuk meminta izin kepada kakak asisten lab yang sedang memeriksa tugas-tugas di belakang. Puji Tuhan, tanpa basa-basi apapun aku diizinkan pulang lebih dulu. Kakiku tidak bisa dengan tegap berpijak menuruni anak tangga, rasanya tubuhku mau melayang dan terbang. Ya, terbang! Aku rasanya ingin mendesak Tuhan dan meminta sayap padaNya agar aku bisa sesegera mungkin tiba di Rumah Sakit dan menemui Kak Maria, berharap dia masih bisa melihatku, walaupun itu pasti mustahil. Di sepanjang jalan perjalanan aku mencoba menghubungi teman-temanku untuk menginformasikan hal ini. Semua yang kuhubungi tidak percaya. Semuanya! Mereka membantahku seolah-olah aku hanya bergurau untuk mencari sensasi. Bodohkah mereka? Sekacau-kacaunya diriku, aku masih bisa memilah hal-hal yang bisa dijadikan candaan. Tidak mungkin kematian seseorang aku jadikan sebuah lelucon yang hanya membuat orang lain tertawa.
Dengan susah payah aku meyakinkan teman-temanku tentang kenyataan ini. Sebagian dari mereka meneleponku lebih dari sekali hanya untuk memastikan kejadian tak terduga ini. Aku melihat kedua HPku. "Sial, dua-duanya lowbet!", gerutuku dalam hati sambil menyebrang jalan depan kampus. Di angkot kakiku juga tak berhenti bergerak, walaupun sedang duduk rasanya kakiku ingin terus saja berjalan hingga menimbulkan gerakan-gerakan tidak biasa pada kakiku. Mungkin penumpang yang ada di angkot itu heran melihat aku yang seperti korban kebakaran. Sepanjang perjalanan aku terus mengulang kata seandainya.
"Seandainya saja aku selalu membalas SMS Kak Maria saat dia mulai cerita tentang pujaannya"
"Seandainya aku sadar akan diet ketat yang sedang ia lakukan"
"Seandainya kemarin aku serius membantunya melakukan penelitian untuk skripsinya"
"Seandainya aku mengajak orang itu saat terakhir menjenguk Kak Maria"
"Seandainyaa..."
Aaaaah, kepalaku mau pecah rasanya memikirkan masa-masa melayani Tuhan bersama dirinya. Kenapa Tuhaaaan, kenapa Kau panggil sahabatku secepat ini? Dia masih muda Tuhan, hanya berbeda sembilan bulan denganku. Apa tugasnya sudah selesai di dunia ini? Belum Tuhan, dia masih punya tugas untuk mengajar tamborine di komisi sekolah Minggu. Dia juga masih punya janji untuk menjadi tim pemerhati di komisi pemuda, tugasnya belum selesai Tuhan! Belum!
Aku terus menerus bercakap dengan Tuhan di dalam hatiku, atau mungkin lebih tepat jika dibilang aku protes. Aku masih tidak bisa mengerti mengapa Tuhan mengambil dia yang berpredikat sebagai jemaat teladan di komisi pemuda. Aku tidak habis pikir bagaimana dia, seorang mahasiswi UI yang cantik dan pintar bisa memiliki rasa rendah diri yang begitu tinggi hingga harus menyakiti diri sendiri dengan diet ketat yang aku rasa diatur sendiri olehnya. Aku tidak bisa berhenti berpikir, hingga aku baru sadar angkot yang kutumpangi sudah tiba di depan rumah sakit.
Aku terus menerus bercakap dengan Tuhan di dalam hatiku, atau mungkin lebih tepat jika dibilang aku protes. Aku masih tidak bisa mengerti mengapa Tuhan mengambil dia yang berpredikat sebagai jemaat teladan di komisi pemuda. Aku tidak habis pikir bagaimana dia, seorang mahasiswi UI yang cantik dan pintar bisa memiliki rasa rendah diri yang begitu tinggi hingga harus menyakiti diri sendiri dengan diet ketat yang aku rasa diatur sendiri olehnya. Aku tidak bisa berhenti berpikir, hingga aku baru sadar angkot yang kutumpangi sudah tiba di depan rumah sakit.
Aku langsung turun dan berlari tanpa tau dimana jenazah Kak Maria berada. Handphoneku mati, aku jadi tidak bisa bertanya pada siapapun. Ah, kucoba saja ke ruangan tempat terakhir aku menjenguknya. Dan benar saja, saat aku keluar dari lift di lantai dua sudah banyak orang-orang yang sudah akrab di mataku. Mereka menangis, tapi tidak semuanya. Ada seorang ibu yang mondar-mandir kesana kemari sambil menasehati orang-orang yang menangis untuk menghapus air mata mereka. Ya, itu ibu dari Kak Maria. Beliau terlihat tegar, tapi setelah kuperhatikan lebih jauh, beliau juga terlihat sedikit aneh dengan kata-katanya. Beliau tidak mau melihat Kak Maria, anak tunggalnya. Sekarang kesimpulanku berubah, itu bukan ketegaran, itu shock. Aku bisa paham, anak satu-satunya yang pergi merantau untuk menimba ilmu di Universitas ternama di Negeri ini tidak pulang kembali. Justru beliau harus menjemput anaknya pulang, hanya raga dan tanpa roh. Pastilah kenyataan ini sangat memberi goncangan hebat di relung hatinya. Aku melihat ke arah ayah Kak Maria, beliau hanya terdiam. Ya, aku juga bisa paham mengapa beliau diam. Pasti banyak penyesalan dalam hatinya entah karena apapun itu. Aku terpaku lagi, tak tau harus berbuat apa.
"Cha, mau lihat Kak Maria?", suara Kak Nugroho membuyarkan lamunanku.
"Melihat Kak Maria?", aku berpikir sanggupkah aku menahan tangis saat melihat jenazah Kakak rohaniku itu?
"Ya Kak, aku mau lihat, tolong antar aku", aku menjawab pertanyaan Kak Nugroho tanpa menyelesaikan pemikiranku.
Aku membuka pintu yang terlihat menyeramkan itu. Seminggu yang lalu aku juga berada di tempat ini untuk menjenguk dan mendoakan Kak Maria. Aku berdoa supaya dia cepat sembuh dan bisa segera kembali melayani di Gereja. Tak kusangka dalam waktu seminggu Tuhan menjawab doaku, dan jawabanNya berlawanan dengan permintaanku. Ternyata permintaanku bukanlah yang terbaik untuk dirinya.
Aku menyusul Kak Nugroho yang telah masuk ke sebuah ruangan ditutup tirai. Aku mulai ragu untuk melangkah lagi. Tapi sambil memejamkan mata aku mencoba menguatkan hati untuk melihat dirinya, yang kini sudah tiada. Aku membuka mataku. Badanku kembali bergetar, kali ini lebih hebat dari yang tadi aku alami. Aku menangis. Rasanya aku ingin mengguncang badan Kak Maria dan membangunkannya. Tapi dia tidak berkutik sedikitpun, raganya sudah tidak berdaya.
Tak lama jenazah dipindahkan dan diadakan kebaktian untuk melepas jenazahnya yang akan segera dibawa ke Kertosono, rumah orangtuanya. Disana juga pasti akan diadakan kebaktian penghiburan lagi untuk menguatkan hati keluarga yang ditinggalkan. Memang, keluarga ini pastilah membutuhkan penghiburan ekstra. Anak tunggal mereka lebih dulu pulang ke Rumah Bapa. Tapi saat aku mencoba mengajak ibu Kak Maria untuk mengobrol, beliau sangat kuat. Katanya beliau pasti bisa melewati semua ini, karena beliau memiliki banyak anak selain maria, ya secara beliau adalah seorang guru. Aku terkagum karena beliau sangat bangga dengan anaknya. Aku juga bangga. Aku sangat bangga memiliki rekan pelayanan yang setaat dirinya. Aku bangga bisa mengenalnya dan bisa menjadi salah satu tempat curhatannya. Aku bangga bisa menampung aspirasinya untuk pertumbuhan komisi pemuda. Ya, aku bangga! Bahkan aku bangga di masa mendatang bisa menjadi penerus misinya dalam pelayanan.
Aku mengasihimu Kak Maria, tapi Tuhan Yesus lebih mengasihimu :')
Selamat jalan sahabatku, sampai bertemu lagi di Rumah Bapa...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar