Jumat, 25 Juli 2014

Aku Percaya

If i write here, you know there must be something with my feeling. Whether happy, sad or whatever it is...

Aku lagi banyak pikiran, aku tipe orang yang susah tidur nyenyak kalau ada sesuatu atau banyak sesuatu yang mengganggu pikiran aku. Jangankan untuk tidur nyenyak dan bermimpi, untuk sejenak terlelap aja itu susah banget rasanya. Seperti harus menjemur di tiang yang tinggi, ketika susah payah kita berusaha mencari cara untuk menjemur setiap baju itu entah dengan mencari bangku agar bisa mencapai tiangnya atau dengan mencari tongkat untuk bisa mengangkat bajunya, malang tak bisa dihindar. Hujan lebat membasahi seluruh baju yang sudah terjemur rapi. Begitupun aku, ketika sudah susah payah melakukan berbagai macam relaksasi agar bisa tidur, aku justru merasa ngantuk tepat ketika waktu memaksakan diri untuk melakukan segala aktivitas; pagi sudah datang.

Kamu mungkin orang kedua setelah mamaku yang paham betul bagaimana air mukaku kalau lagi kepikiran sesuatu. Dan bukan tak mungkin, kamulah orang pertama yang paham betul kalau aku sudah menulis dan mempublikasikannya itu berarti ada sesuatu yang harus kusampaikan dengan latar alasan yang beragam. Di satu waktu karena memang merasa perlu membagi sebuah cerita dengan orang lain, di waktu yang lain mungkin karena aku memang tidak memiliki seseorang lagi yang bisa menjadi tempat sampah dari setiap keluh kesahku. Kamu tau betul aku lebih leluasa mengungkapkan segala hal melalui tulisan. Walaupun tulisanku tak bisa dinilai baik dengan segala kekacauan kalimat dan kata yang terkadang tidak pada tempatnya.

Kamu tak usah khawatir. Dengan segala kegalauan dan kelabilanku yang semakin memuncak akhir-akhir ini, tulisanku hari ini akan membawa suatu kabar gembira. Jangan bercanda dulu, Sayang. Aku tidak akan membicarakan kulit manggis sekarang ini. Aku yakin semua orang sudah terlalu bosan mendengar kabar si kulit manggis, sehingga kabar ini sudah tidak terlalu menggembirakan lagi bagi mereka. Bahkan kawan-kawanku yang menimba ilmu di benua Eropa dan Australia sudah mendengar kabar yang katanya menggembirakan ini.

Sayang, kita memang baru menjalin hubungan satu tahun lamanya, lebih beberapa hari tetapi tidak kurang sama sekali. Tapi kita sama-sama tau, kita sama-sama menyadari bahwa kita bukan lagi anak kecil. Siapapun, bahkan orang yang paling tua sekalipun aku yakin akan berpendapat sama mengenai hal ini. Ya, kita bukan anak kecil lagi. Usia kita sudah sama-sama kepala dua, sudah dewasa. Setiap keputusan yang kita ambil harus dipikirkan masak-masak, bukan berdasar pada emosi sesaat. Kamu pasti tertawa atau sekedar tersenyum membaca kalimatku barusan. Iya, aku tau. Aku terlalu childish. Terlalu sering aku mengambil keputusan yang terburu-buru dan berubah sedetik berikutnya. Aku tau, ngga jarang aku ambil keputusan yang menggebu dan buat hati kamu pilu. Aku tau. Dan ini kabar baiknya. Aku menyadari itu penuh. Aku sadar, kecintaanku padamu membawa sisi kekanakanku bukan pada tempatnya lagi, Sayang.

Aku tau persis, di usia berapapun apapun yang kita lakukan harus dipikirkan dampaknya, bukan hanya asal memuaskan hati sendiri aja. Anak kecil yang mau main hujan aja harus mikirin setelah itu dia bakal sakit atau ngga, apalagi kita yang udah bukan anak kecil lagi. I know, sekarang udah bukan waktunya lagi kita pacaran dengan siklus chatting dari bangun tidur sampai ketiduran lagi. Ngambek hanya karena balasan yang lama atau marah karena ngga ada kabar. Sudah bukan waktunya buat kita seperti itu. Tapi, ngga salah kan kalau aku mau terus ngobrol sama kamu? Ngga salah kan kalau aku mau diperhatiin kamu? Ngga salah kan kalau aku terus menanti kabar dari kamu? Iya, aku tau jawaban kamu. Ngga salah. Dan kamu ngga pernah menyalahkan aku atas hal itu. Kamu juga ngga pernah keberatan dengan hal itu. Karena ya memang begitulah kamu. Kamu selalu memperhatikan aku dengan caramu sendiri, kamu tak luput memberi aku kabar dan kamu ngga pernah ngeluh kalau aku lagi cerewet-cerewetnya nyeritain sesuatu yang mungkin sama sekali ngga menarik buat kamu.

Sekarang yang jadi pertanyaan dari kabar baik itu, apa yang aku bisa lakukan setelah aku sadar? 
Aku sadar sepenuhnya bahwa aku sayang sama kamu, cuma kamu. Bullshit emang kedengerannya. Seperti yang udah kita alamin belakangan ini, aku gampang banget goyah sama ini itu dan itu buat aku terlihat ngga setia sama kamu. Tapi bukan itu yang sebenarnya, Sayang. Kalau aku ngga sayang banget sama kamu, aku pasti udah nyerah dari dulu. Aku bisa kok dengan percaya diri bilang "aku bisa bahagia tanpa kamu", tapi bukan itu yang aku mau. Aku mau meraih setiap bahagia itu sama kamu. Walaupun ada orang lain yang mungkin bisa lebih meyakinkan untuk ngebahagiain aku, walaupun ada tempat lain selain di sisi kamu yang bisa buat aku lebih nyaman, aku masih tetap keukeuh sama keyakinan aku. Aku yakin, aku percaya, kalau kamu bisa sukses. Sukses buat memenuhi segala macam tanggung jawab kamu yang ngga terhitung banyaknya itu.

Aku percaya kamu ngga akan ngecewain aku dengan segala ingkar janji kamu. Aku percaya kamu akan sungguh-sungguh melakukan perkara yang hebat bukan karena tuntutan aku, tapi karena kamu memang sungguh sayang sama aku. Aku percaya kamu ngga akan membuat aku menyesal dengan pilihan aku yang tetap keras kepala dampingin kamu. Aku percaya kamu akan mengembalikan segala sesuatu ke aku yang kamu sebut "hutang". Aku percaya kamu bisa jadi teladan yang baik buat aku dalam hal pertumbuhan rohani. Aku percaya kamu bisa bimbing aku untuk saling membangun di dalam Tuhan. Aku percaya kamu bisa kembali menjadi obat tidur yang paling ampuh sedunia. Aku percaya kamu bisa selesaikan semua proyek tulisan kamu pada waktu yang tepat. Aku juga percaya, keseruan kita pas kemarin makan di pemda cibinong terus lari-larian sambil pegangan tangan pas nyebrang jalan ngga akan berkurang sedikitpun meskipun itu kita lakukan lagi di satu tahun, dua tahun atau bahkan berpuluh tahun kemudian. Masih banyak "percaya" yang aku tanam di dalam hati aku secara khusus karena dirimu. Dan di atas segalanya, aku percaya kamulah yang bisa membahagiakan aku lebih dari siapapun.

Nah, sekarang yang jadi pikiranku adalah: bisakah kamu menjaga serta mewujudkan kepercayaan dari aku?

Kamis, 17 Juli 2014

Tuhan Yang Maha Tau

Untuk Tuhan yang Maha Tau,
air mataku baru saja habis mengering tepat ketika aku memanggil Engkau. Menyebut pelan diriMu dan merasakan hadirMu dalam hatiku. Kupejam mata dan merasakan getar entah di bagian mana tubuhku, seolah seluruh darah dalam tubuh ini bertukar posisi. Mungkin itu pertanda bahwa Engkau masih bersemayam di sini, di hatiku? Ah, itu bukan lagi mungkin, tapi pasti! Ya, Engkau pasti masih ada di sini. Di relung jiwa terdalam kokoh memagari hati yang semakin rapuh ini. Aku memang seringkali sok tau. Kurang dari dua puluh empat jam yang lalu dengan angkuh aku berkata tak bisa berbicara denganMu lagi, padahal Engkau masih setia di sini, menyediakan telinga dan tangan yang siap sedia merangkulku.

Tuhan yang Maha Tau,
bolehkah aku sedikit bercerita tentang keadaanku? Seperti biasanya dengan kalimat kacau dan bahasaku yang sangat terbatas mungkin Engkau akan pusing bukan kepalang karena sulit mencerna kata-kataku. Ah, tapi sungguh bodohnya aku. Engkau adalah Tuhan yang Maha Tau, Engkau pasti akan selalu tau walau tanpa kuceritakan sekalipun. Bahkan hanya melalui satu tetes air mata saja Engkau bisa mengerti apa yang sedang berkecamuk dalam pikiranku. Engkau memang selalu tau, Tuhan. Namun tak ada salahnya bukan aku bercerita kembali? Anggap saja sebagai awal keberanianku untuk membangun hubungan antara aku dan Engkau yang sudah mulai renggang belakangan ini. 

Tuhan yang Maha Tau,
demi izinMu yang mempersilahkan aku bercerita mengenai keadaanku, aku akan mencoba menahan kantuk yang sedari tadi sudah bergelayut memanjai mata ini. Jadi begini, aku paham betul Engkau tidak suka dengan kelakuanku belakangan ini. Aku nakal. Aku malas. Aku pemarah. Dan aku bahkan merasa biasa saja dengan semua hal itu. Yang lebih parah lagi, aku mulai tidak menghiraukan teguranMu, mulai tidak melibatkanMu dalam perkara-perkaraku. Hal itu berakibat besar bagiku, aku menjadi kacau. Aku tidak tau lagi harus memulai dari mana untuk memperbaiki lagi semuanya. Bahkan aku tak tau persis apa yang harus kuperbaiki. Aku butuh penuntun, tapi lagi-lagi aku tak tau siapa itu. Terlepas dari itu semua, aku kehilangan banyak hal. Aku kehilangan cara untuk mendapatkan kebahagiaan, aku kehilangan rasa damai sejahtera, aku kehilangan akal untuk melawan rasa malas belajar, aku kehilangan sabar dalam menghadapi orang lain. Aku kehilanganMu, Tuhan!

Tuhan yang Maha Tau,
itulah sedikit gambaran mengenai keadaanku saat ini. Engkau juga pasti tau kenapa aku lebih memilh untuk menuliskan ini dibanding menyimpannya sendiri dalam hati atau memperkatakannya secara verbal kepadaMu. Ya, Engkau tau persis aku kehabisan cara untuk berkata-kata denganmu. Engkau tau persis air mataku habis terkuras tanpa bicara sepatah katapun saat berhadapan denganMu. Sungguh jalan yang unik, Engkau yang Maha Tau dengan sigap menggerakkan Roh Kudus untuk menuntun jari jemariku agar mengetikkan kata demi kata ini. Dengan cara ini pulalah Engkau sekaligus mengangkat bebanku.

Tuhan yang Maha Tau,
terima kasih atas kesempatan berbincang ini. Terima kasih karena Engkau masih bersedia menegurku dengan cara lembut. Engkau memang Maha Tau, Engkau tau cara yang kasar tak akan mampu meluluhkanku. Walaupun secara pasti melalui kuasaMu, Engkau mampu memutarbalikkan kenyataan itu. Aku mengucap syukur, sekali lagi dengan teramat sangat, karena dengan segala kebobrokanku, Engkau masih memelukku dengan sangat hangat. Dan dengan segala kejahatanku, Engkau masih menyelipkan kebaikan di hatiku untuk tak lupa akan keberadaanMu. 

Tuhan yang Maha Tau,
aku yakin sedetikpun tak pernah luput aku dari pengawasanMu. Dengan adanya aku di sini, semakin membuktikan bahwa Engkau memeliharaku dengan sesuatu yang lebih dari sekedar kasih. Melalui pemeliharaanMu itulah, aku menaruh satu lagi keyakinan bahwa Engkau pasti akan menjaga pula masa depanku yang penuh dengan harapan. Harapan akan sebuah mimpi, dimana paket yang telah Engkau kirimkan kemarin akan melengkapi kebahagiaanku di dunia ini dan tak berhenti di situ, ia jugalah yang kuharap akan menuntunku kepada hidup yang kekal bersamaMu.

Amin.

Minggu, 06 Juli 2014

SATU

Satu jam sebelum menutup hari ini,
satu jam tepat setelah satu jam satu tahun yang lalu
kita bersatu.
Aku memutuskan untuk menuliskan ini.

Dear, tuan yang setahun lalu telah mencetuskan kata mulai kepadaku.
Hari ini sudah genap satu tahun ya hubungan kita?
Aku bersyukur dengan tibanya hari ini ke hadapan kita.
Kamu, tentu jauh lebih bersyukur dibanding aku. Aku yakin itu. 
Tidak ada banyak kata yang ingin aku ungkap di sini.
Sudah terlalu penat dan pelik perjalanan kita selama dua belas bulan ini.
Suka dan duka tak lelah salip menyalip dalam perjalanan cinta kita.
Mereka tak lelah, tapi aku yang terlalu lemah sering kali merasa lelah; menyerah.
Tapi kamu selalu ada; menguatkanku.
Untuk itu, hanya ucapan terima kasihlah yang pantas aku sematkan kepadamu yang dengan begitu tulusnya membuat hari ini begitu spesial; sangat istimewa.
Terima kasih karena tetap menyelipkan kebahagiaan di tengah aku masih mencari arti dari kebahagiaan itu sendiri.
Terima kasih karena selalu mencintaiku tanpa kurang sedetikpun selama satu tahun ini.
Terima kasih karena tetap menjadi alasanku untuk menjalani hidup dengan lebih semangat.
Terima kasih karena untuk ke depannya dirimu akan tetap menjadi salah satu alasan terbesarku untuk mengucap syukur.
Terima kasih, atas keberadaanmu di hati dan hidupku.
Terima kasih.
Aku menyayangimu, sangat menyayangimu.
Tetaplah mencintaiku dengan caramu.
Tuhan memberkatimu.

Happy 1st year anniversary, dear cipe.
Maafkan tulisan yang jelek dan hampir tak layak baca ini.
Sekali lagi dan terakhir untuk hari ini, kuucapkan terima kasih padamu, Sayang.

Tertanda,
aku.