Jumat, 28 Februari 2014

Catatan Syukur di Akhir Bulan Merah Muda

Pagi yang cerah di langit kota Depok membangunkanku dari tidur semalam yang tak cukup lama.
Sembari ditemani kicauan burung kenari dan suara bising kendaraan bermotor, aku meluangkan waktu sejenak untuk menulis surat ini.
Surat sederhana berisi beberapa catatan syukurku selama sebulan penuh.
Tentunya surat ini kutujukan untukMu, Penulis Kehidupan yang Maha Baik.
Tempat bermuaranya segala rasa syukurku, Tuhan Yesus Kristus.

Tuhan, aku bersyukur.
Di awal bulan kemarin dengan luar biasanya Engkau masih memelihara seluruh aspek kehidupanku hingga akupun dapat mengawali bulan merah muda ini dengan penuh optimalisasi diri. Keluargaku, sahabatku, kekasihku dan juga orang-orang yang kukasihi masih terus ada dalam perlindungan kuasaMu. Ingatkanku terus ya Tuhan, agar aku tak pernah meluputkan mereka semua dari segala doa yang kupanjatkan tiap harinya.

Tuhan, aku bersyukur.
Jika di pertengahan bulan kemarin Engkau memperhadapkanku pada masalah. Terima kasih karena Engkau tidak meninggalkanku sendiri. Melalui tangan kuasaMu yang ajaib akupun dapat berkata pada masalahku bahwa Engkau jauh lebih besar dari mereka semua.

Tuhan, aku bersyukur.
Sampai pada akhir bulan ini aku masih terus bisa mengecap kebaikanMu. Aku sangat berterima kasih karena masih diizinkan untuk mengingat Engkau sebagai sumber dari segala rasa syukurku. 

Tuhan, aku bersyukur.
Karena aku percaya, Engkau akan kembali melakukan perkara besar dalam kehidupanku ini mulai dari sekarang sampai sisa hidupku habis di dunia.

Terima kasih, Tuhan. Atas segalanya, aku bersyukur.

Hati-Hati di Jalan!

Untuk Tuan yang sedang dalam perjalanan ke lokasi Bakti Sosial...

Halo Tuan, sungguh suratmu kemarin merupakan apresiasi yang sangat menyegarkan bagiku. Aku senang jika bisa menjadi salah satu alasanmu untuk semakin giat menulis. Dan terpujilah Tuhan yang masih memelihara sebaik mungkin hubungan kita sampai detik ini. Meskipun kita sama-sama tak bisa menutup mata, rintangan yang akan kita hadapi di depan bukan hanya gerimis hujan namun juga badai topan yang siap memisahkan genggaman tanganmu dariku.

Aku akui, untuk bisa bersanding denganmu sampai sekarang ini bukanlah hal yang mudah. Ada banyak kesulitan yang kuhadapi untuk dapat menyesuaikan diri denganmu. Tapi bukan berarti kesulitan yang ada tak mampu untuk kusederhanakan. Diriku dan tentunya juga dirimu sudah mulai berteman dengan kesulitan sehingga untuk saling menerimapun terasa mudah jadinya.

Sayang, hari ini, besok, lusa dan sampai besoknya lagi kamu akan mengabdikan diri dalam acara bakti sosial kampus kita di kota Bogor. Kuharap, kamu bisa dengan baik menjaga kesehatanmu ya. Selain itu aku juga berharap agar kamu bisa menjaga emosimu dalam menghadapi salah satu rekan kita yang seringkali membuat jengkel. Percayalah, kelakuan orang lain yang menyebalkan itu merupakan sumber pelatihan bagi kita untuk bersabar.

Besok sesegera mungkin aku akan menyusulmu bersama teman-teman yang lainnya. Simpanlah rindumu dan tumpahkanlah dalam satu pelukan erat ketika kamu menjumpaiku disana. Saat ini aku hanya bisa memohon pada Tuhan untuk tetap tak meluputkanmu dalam perlindunganNya.

Berhati-hatilah di jalan, Sayang!
Semoga di tengah kesibukan kita esok dan lusa tak membuat kita berhenti dari program #DuaHati ini. Tinggal selangkah lagi, maka komitmen kita telah terpenuhi. Aku menyayangimu, Suno Christiawan.

Dengan penuh cinta,
Nona yang akan segera menyusulmu.

Kamis, 27 Februari 2014

Loving or Losing You

Kepada kamu yang sedang lelah...

Surat ini kutulis atas dasar cinta yang begitu mendalam kepada kamu. Ketika aku melihat ketidakpastian dalam isi hatimu. Saat kulihat guratan namaku mulai memudar di relung jiwamu. Ketika badai mulai menggoyahkan genggaman tanganmu di zona kekalutan masa sulit yang sudah dan akan kembali kita hadapi.

Di tengah kebimbangan luar biasa yang menyerangku ini, ingin sekali aku berlindung padamu yang ternyata gemetar karena takut. Entah takut pada apa. Haruskah aku membuta sementara hanya untuk mengalihkan mata dari kamu yang tidak gagah? Bukankah kamu juga manusia yang lazim merasa lelah, juga gentar? Sayang, apa semua lelah yang berlaksa di sisi mulai membuatmu menyerahkanku pada masa depan yang tanpa kamu? 

Aku tidak memaksamu untuk tetap gemilang dengan semangat yang membara. Aku tidak ingin memburumu dengan cinta liar tak terkendali. Aku hanya berharap kelelahanmu tidak membuatku berdiri sendiri pada dua pilihan yang tersirat dari lontaran suaramu. Pilihan yang dapat mewujudkan atau mungkin malah menampar segala harapan yang telah kita rajut bersama.

Sejatinya aku terheran. Mengapa cintaku yang sudah susah payah kau kantongi justru membuatmu rela membebaskanku. Lagipula jika kita tekun menelusuri, cinta kita sangat besar untuk bisa dikalahkan oleh masalah. Tapi kenapa dengan mudah kau berkata akan membebaskanku? Tak ayal segala cara pun kau lakukan dengan dalih tidak ingin menyusahkanku. Tenagamu kau kuras untuk menutupi segala rasa cintamu dengan keadaan yang tak patut disalahkan. Entah apa alasanmu berlaku begitu. Namun percayalah, sampai detik ini itu semua masih jauh dari cukup untuk membuatku menyerah mencintaimu.

Sayangku.
Tolonglah, usir segala rasa tak mengenakkan dari hatimu. Lupakan segala hal yang telah kuberi. Kecuali satu, doaku untuk kebahagiaanmu kumohon kau amini. Biarkan roda kehidupan berputar sebagaimana mestinya. Jangan paksakan diri untuk memenjarakan dirimu dalam ketidakberdayaan. Cintamu terlalu kuat untuk membiarkanku berdiri sendiri pada dua pilihan yang tak serupa.

Sayangku.
Tangguhkanlah hatimu untuk mengambil satu ketetapan bagiku. Tuhan memberikan kuasa padamu untuk mengambil satu pilihanku. Kini, semua tergantung padamu. Terus buatku keras kepala mencintaimu atau membuatku lumpuh tak berdaya hingga melepaskanmu.

Dariku,
yang mengharapkan jawaban terbaik. 

Rabu, 26 Februari 2014

Akhirnya Datang Juga!

Halo Tuan yang suka terlambat!

Akhirnya datang juga surat darimu yang sudah kutunggu sejak kurang lebih dua puluh empat jam yang lalu. Aku pribadi sih bisa memaafkanmu. Karena aku maklum dengan sifat jelekmu yang suka terlambat itu. Tapi entah dengan tukang pos kita, semoga beliau berbaik hati memaafkan keterlambatanmu yang sebenernya sudah keterlaluan itu. Padahal jika kemarin kamu dibilang sibukpun tidak, bukan? Mungkin ulah si gigi geraham bungsu itu semakin membuatmu uring-uringan ya? Sampai suratkupun terlupakan untuk kau balas. 

Baiklah sayang, kurasa tak baik jika terus membicarakan sesuatu yang mengarah pada kelemahanmu itu. Yang terpenting bagiku adalah kamu tetap sehat selalu, meski terkadang lupa mengiringmu pada sesuatu yang buruk. Seperti misalnya lupa mandi dan lupa makan. Ya, libur yang terbilang sebentar ini membuatmu sering dengan sengaja melupakan dua hal rutinitas terpenting dalam keseharian manusia. Seharian di kamar sembari berkelut dengan rasa nyeri di gigi membuatmu malas beranjak dari kamar untuk sekedar menyegarkan tubuh dengan mandi. Kuharap sekembalinya kita nanti pada jadwal kuliah, kamu dapat menghilangkan sifat "lupa mandi"mu itu ya, Sayang!

Bicara tentang kuliah, aku jadi teringat suratmu tadi yang sedikit menyinggung perihal Indeks Prestasi. Ketahuilah sayang, aku sungguh berharap ada kenaikan yang drastis pada nilai-nilaiku di semester lima ini dan sampai seterusnya. Ada motivasi tak kasat mata yang menyerang semangatku untuk terus meningkatkan setiap nilai-nilaiku yang sempat menurun di semester tiga yang lalu. Melalui surat hari ini juga aku memohon dukungan semangat dan doamu agar aku mampu mencapai targetku kelak. 

Oia, kuharap kamu juga memiliki semangat yang sama atau bahkan melebihi semangat yang kupunya ya sayang. Karena biar bagaimanapun, tanggung jawab yang kamu miliki jauh lebih besar dari yang dibebankan padaku. Ingatlah, dalam waktu yang segera kamu harus secepatnya mengambil alih tongkat estafet yang saat ini ada dalam genggaman papamu. Ya, tenang saja sayang. Sebisa mungkin aku akan terus ada di sampingmu untuk mendampingi dan mendoakanmu. Berdoalah, supaya Tuhan yang Maha Baik itu tetap memelihara hubungan kita sebagaimana seperti yang ada dalam rencanaNya.

Sampai disini dulu sayang surat balasanku ini. Semoga harimu menyenangkan dan penuh dengan kebahagiaan. Aku disini selalu mendoakanmu; mendoakan kita. Selamat beraktivitas, Sayang.

Dengan penuh cinta dan kerinduan,
Nonamu di Depok.

Apa Kabar Kak Om Em?

Untuk Om Pos yang baru saja mewujudkan salah satu impiannya, @omemdisini

Apa kabar Kak Om Em?
Oke, aku memulai surat ini dengan sapaan yang sangat ganjil dimana sapaan "Kakak" bersanding dengan "Om". Tak apalah ya. Karena kurasa dirimu terlalu tua untuk kupanggil Om. Menurutku orang yang hidupnya dipenuhi cinta pasti akan terus diliputi kemudaan walau hanya sekedar jiwanya. Dan hal itu tentu berlaku untukmu yang selama bulan merah muda ini terus menerus dikelilingi cinta; cinta yang tersirat dalam surat para pecinta. Aku sok tau? Memang. Ketahuilah aku ini seringkali menciptakan teori yang tak jarang membuat orang-orang di sekitarku menggelengkan kepala. Entah heran, entah kagum. 

Nah kak, bagaimana pertemuan kopi daratmu dengan Banda Naira? Sesuaikah dengan ekspetasi yang kau impikan selama ini? Ah, aku iri denganmu yang sudah meraih salah satu mimpi dengan menginjakkan kaki di tanah impian. Doakan semoga sesegera mungkin aku juga bisa sepertimu; mewujudkan salah satu impian dalam hidup. Dan kuharap salah satu mimpiku dapat terwujud dalam waktu selambat-lambatnya secepatnya.

Baiklah Kak Em, dalam kesempatan bersurat denganmu hari ini aku ingin menyampaikan beberapa hal. Yang pertama, kalau boleh aku ingin meminta sesuatu. Tenang saja, aku bukan meminta oleh-oleh atau sejenisnya. Aku hanya meminta ceritamu saat berbahagia dengan Banda Naira.  Walau hanya sepenggal cerita yang kau berikan aku rasa itu sangat cukup berarti bagi orang-orang yang sedang mendaki menuju puncak mimpi seperti aku ini. Karena tak bisa dipungkiri, motivasi tak melulu lahir dari diri sendiri. Keberhasilan yang diraih oleh orang lainpun kerap menjadi motivasi yang ampuh untuk membangitkan semangat diri.

Yang kedua, aku ingin mengucapkan terima kasih. Karena melalui surat cutimu dengan tulus kau memotivasi para pecinta akun S-V untuk tetap konsisten menulis. Mungkin tanpa kau sadari, keinginan sederhanamu yang terlampir dalam surat cutimu itu telah mengikat diriku pada suatu komitmen untuk tetap menulis sampai program ini selesai. Dan ya, terima kasih sekali kak. Meski rasa jenuh dan pikiran buntu sering menyublim menjadi rasa malas untuk menulis, berkat komitmen yang telah mengikatku itu aku masih tetap berpegang pada konsitensiku dalam menulis selama 30 hari. Hal itu sungguh membuatku puas. Bukan, aku bukan sepenuhnya puas pada tulisanku yang tertuang dalam 39 surat sampai hari ini. Yang membuat puasku menjadi terlalu adalah ketika aku melihat beberapa orang terbahagiakan oleh karena suratku. Sungguh itu lebih dari sebuah cukup untuk membayar waktu yang sulit kudapatkan agar bisa duduk tenang dan menulis sebuah surat.

Yang ketiga, dan yang terakhir dalam surat ini. Aku ucapkan selamat bertugas kembali. Semoga kebahagiaan ketika di Banda Naira tak ikut menguras habis tenagamu. Sehingga dalam 4 hari ke depan dirimu masih terus tetap semangat berkeliling mengirimkan cinta berwujud surat dari para pecinta. Sekali lagi. Ganbatte, Kak Em!

Tertanda,
orang awam yang memberanikan diri ikut program #30HariMenulisSuratCinta.

Selasa, 25 Februari 2014

Kenapa Terhenti?

Untuk pemilik account twitter @sedimensenja

Halo, Kak/ Bang/ Om/ Mas atau mungkin malah Dek. 
Aku tidak tau harus memanggilmu apa, karena jujur saja aku tidak mengenalmu. Dan aku tak punya banyak waktu luang untuk mencari tau siapa kamu. Aku hanya pernah beberapa kali tertarik pada tulisanmu, atau suratmu lebih tepatnya. Mungkin supaya suratku ini lebih nyaman dibaca, alangkah baiknya jika aku menetapkan panggilan untukmu ya. Bagaimana jika kamu kupanggil "Kakak"? Bukan karena aku sok muda atau hendak menuakanmu. Hanya saja aku pernah membaca suratmu yang menyatakan bahwa ini adalah tahun ketigamu dalam mengikuti program #30HariMenulisSuratCinta, sedangkan untukku sendiri, ini adalah tahun pertamaku. Nah, berdasar dari hal itulah aku memanggilmu kakak. Ya, anggap saja aku adalah seorang anak baru yang yang masih lugu dalam program surat-menyurat ini.

Baiklah, mungkin kakak heran kenapa aku mengirimkan surat ini kepada kakak. Alasannya sederhana saja. Aku menanti tulisan kakak yang tertuang dalam surat-surat yang biasa diantarkan oleh Om Em. Entah mengapa sejak tugas Om Em digantikan oleh tukang pos siaganya, aku tak lagi melihat surat dengan kakak sebagai pengirimnya. Kalau boleh tau, kenapa terhenti kak surat-suratmu itu? Apa karena kakak kurang percaya dengan tukang pos yang menggantikan Om Em? Aku harap bukan itu alasannya. Karena tukang pos yang satu ini sama baiknya kok dengan Om Em. Mereka sama tulusnya dalam mengantarkan surat-surat dari para pecinta.

Nah, masih ada waktu beberapa hari lagi sebelum program #30HariMenulisSuratCinta ini selesai terlaksana. Semoga sebelum program ini usai aku dapat menikmati lagi untaian aksara dalam surat-surat cintamu. Hmm sepertinya sampai disini dulu surat dariku, Kak. Terima kasih karena telah menyempatkan waktu untuk membaca suratku ini. Maafkan aku jika ada kesalahanku meracik kata dalam surat ini.

Tertanda,
penikmat suratmu.

Senin, 24 Februari 2014

Seharusnya Besok Kau Berulang Tahun

Untukmu yang saat ini (kuyakini) sedang menari di Surga,
kak @aliffamaria...

Kak Maria, sudah hampir setahun aku tidak melihatmu. Apa kabarnya kamu disana, kak?Aku disini baik-baik saja, walau jujur rindu padamu tak bisa lagi terbantahkan. Kurasa, bukan hanya aku tapi semua teman dan keluargamu pasti juga rindu akan hadirmu. Mungkin beberapa di antara kami masih ada yang belum sepenuhnya sadar bahwa dirimu sudah tak ada lagi di muka bumi ini. Ya, hal itu mungkin saja terjadi karena pribadimu yang begitu kuat terpatri dalam ingatan kami.

Kak, seandainya dirimu masih di sini sekarang kau pasti sudah mendapat gelar sarjana psikologi. Ah, sungguh kasihan kampus kuning itu. Mereka pasti kehilangan dirimu yang merupakan salah satu mahasiswi terbaiknya. Bagaimana tidak, tanpa perlu terus berada di dekatmupun aku tau ketekunanmu dalam menimba ilmu. Bahkan dengan sengaja kau tularkan semangatmu itu ke teman-temanmu yang lainnya. Aku masih ingat betul bagaimana kakak mencari tau letak rumahku hanya untuk mengantar temanmu yang perlu mewawancarai anak seusia sepupuku untuk tugas akhirnya. Kebaikanmu itu sungguh terlalu, Kak.

Hari ini tanggal 24 Februari, tepat esok hari seharusnya usiamu sudah memasuki angka 22 tahun. Usia yang terpaut tidak terlalu jauh denganku. Tapi entah mengapa tingkat kedewasaan kita sungguh jauh berbeda. Ya, itu menurut penilaianku sendiri sih, entah dengan yang lainnya. Dan sangat disayangkan, besok tak akan ada yang bisa mengucapkan selamat ulang tahun secara langsung padamu meskipun ingin. Hmm, rencana Tuhan memang sulit untuk diselami oleh akal manusia yang terlalu sempit ini. Kak, sebetulnya saat pertama kali mendengar dirimu sudah berpulang ke Rumah Bapa, ada sesuatu dalam diriku yang ingin memberontak. Ada keinginan yang sangat besar untuk memprotes keputusan Tuhan yang satu ini. Terlebih usiamu yang masih muda itu sangat kusayangkan untuk terhenti secepat itu.

Tapi apalah dayaku. Sebagai seorang manusia aku hanya bisa mengambil sepercik pelajaran dari setiap kejadian yang terjadi di sekitarku. Melalui "kepulanganmu" aku belajar bahwa hidup di dunia ini sewaktu-waktu dapat terhenti sesuai maunya Tuhan. Dan melalui "kepergianmu" yang terlalu cepat, aku jadi mengerti bahwa umur terlalu berharga untuk dirayakan hanya setahun sekali. Karena pada dasarnya umur kita dapat bertambah (atau tepatnya berkurang) setiap harinya itu merupakan anugerah yang sangat besar yang dapat kita terima.

Sejujurnya sampai detik inipun aku masih membutuhkanmu. Banyak pemikiran dan tindakanmu yang memberi kontribusi tak terhingga bagi program-program komisi Pemuda di Gereja. Tapi sekali lagi apalah dayaku? Dia, Sang Empunya mungkin lebih menginginkanmu untuk berada di dekatNya. Yang aku bisa lakukan sekarang hanyalah percaya. Percaya bahwa dirimu telah bahagia di sisiNya. Dan selagi menunggu waktu panggilanku tiba, aku akan coba untuk terus membperbaiki diri. Melakukan setiap pekerjaan yang baik untuk kemuliaanNya. Ya, aku belajar banyak darimu, Kak. Meski masih muda aku tak bisa bermain-main lagi, karena maut tak pernah mengenal usia.

Baiklah, aku akan mengakhiri surat ini. Ada beberapa ide yang dulu sempat tercetus darimu harus kukerjakan saat ini. Aku tau, kakak tidak akan membaca surat ini apalagi sampai membalasnya. Biarlah surat ini hanya sebagai pertanda bahwa ketiadaanmu pun memberi dampak yang berarti. Aku merindukanmu, Kak. Surat inipun kuakhiri dengan sebulir air mata yang menetes di pipi.

Sampai berjumpa lagi, Kak Maria.
Kelak kita akan bertemu di pelataran singgasana kerajaan terindah; di Surga.

Salam rindu dariku,
gadis yang menurutmu terlalu koleris.

Mungkin ini Mengenai Jarak

Selamat pagi, Tuan yang sedang uring-uringan.

Sayang, ketika aku membaca suratmu kemarin aku sempat tersenyum-senyum sendiri. Bukan, bukan karena aku senang melihatmu kesulitan menghadapi si gigi bungsu. Tapi yang sedikit lucu bagiku adalah entah mengapa kamu si sulung ini sering kesulitan sampai uring-uringan saat menghadapi yang bungsu-bungsu. Seperti aku misalnya. Jangan memungkiri, Sayang. Yang bungsu memang seringkali sulit untuk ditaklukan. Hihihi

Baiklah, lupakan soal si gigi bungsu itu. Toh itu adalah proses alami yang akan dialami oleh manusia normal yang hendak beranjak dewasa. Bersyukurlah sayang, karena dari ceritamu kemarin proses tumbuhnya gigi bungsumu ini terbilang sangat cepat. Apalagi bila dibandingkan denganku. Proses pertumbuhan gigi geraham bungsuku ini sangatlah lamban. Di satu waktu ia berulah, memunculkan diri dengan disertai rasa sakit selama seminggu lebih. Lalu di bulan lainnya ia kembali berulah dengan pola yang sama. Dan sebalnya lagi, rasa sakit yang ada itu tidak terbalas, karena gigi bungsu yang tumbuh itu hanya muncul kurang dari setengah ukuran gigi geraham lainnya.

Sayang, pagi ini agak kurang menyenangkan untukku. Kukira pagi ini kesehatanku mulai membaik, tapi nyatanya aku masih pusing dan beberapa kali sesak nafas. Dan anehnya kamu malah berkata bahwa penyebab sakitku ini adalah karena rinduku padamu. Astaga, kamu pikir rindu yang menumpuk ini bisa menghalangi oksigen untuk beraktivitas di dalam tubuhku? Bisa jadi sih kalau rindunya sudah sekarat sampai berbulan-bulan tak bertemu. Tapikan kita baru beberapa hari tidak bertemu, tidak sampai seminggu. Jadi kurasa, bukan itu alasannya. Semoga saja ini bukan pertanda aku mengidap penyakit yang aneh-aneh.

Oia, pagi ini juga aku melihat berita di televisi mengenai geng motor yang merajalela di wilayah Bekasi. Dan setelah itu juga disiarkan berita mengenai himbauan warga Depok untuk berhati-hati pula terhadap geng motor. Entahlah, kedua berita itu sangat membuatku khawatir. Selain karena berita itu menandakan bahwa kedua kota tempat kita beraktivitas sudah tidak aman, titik rawan geng motor itu adalah jalan-jalan yang biasa kamu lalui untuk menemuiku. Apakah begitu beratnya perjuangan yang harus kamu lalui untuk menemuiku? Oke, aku berlebihan.

Hmm, apapun  yang menjadi halangan untuk kita bertemu aku harap itu tidak mengurangi intensitas komunikasi kita ya, Sayang. Karena biar bagaimanapun ada hal yang bisa kita syukuri dari jarak yang memisahkan keberadaan kita. Pertama, kita bisa bersyukur karena jarak yang memisahkan tempat tinggal kita itu masih bisa ditempuh dalam hitungan jam oleh kendaraan bermotor. Kedua, jarak yang terpaut di antara kita dapat menyadarkan kita bahwa waktu temu yang Tuhan izinkan ada di antara kita itu berharga adanya. Jadi, jangan kita sia-siakan waktu pertemuan kita yang tak sering itu. Ketiga, jarak tidak sekejam yang kita duga. Ia tidak dengan sengaja memisahkan kita, tapi itu memang alur yang Tuhan buat untuk membuat kita tetap berada pada tempat kita masing-masing dan mengerjakan pekerjaan yang sudah Ia tetapkan bagi kita.

Sejujurnya, baru kali ini rasa syukurku disebabkan oleh jarak. Terlebih saat ini juga terdapat beberapa ancaman dalam jarak yang memisahkan kita. Ya beruntunglah kamu jika saat ini aku lebih banyak bersyukur dibanding mengeluh karena jarak. Sebab seperti yang kamu tau, aku kurang bisa sabar jika harus berbicara soal jarak. Karena jarak dan waktu akan menyublim menjadi sebuah rindu. Semoga saja besok atau mungkin nanti menjelang sore akan ada berita baik yang dibawa oleh para aparat kita mengenai ulah nakal geng motor tersebut. Supaya tak ada lagi rasa cemas dan khawatir yang menyatu dengan gebu rindu saat akan bertemu denganmu.

Baiklah, Tuan. Sampai disini dulu suratku hari ini. 
Semoga harimu menyenangkan ya, Sayang!

Peluk dan rindu tercurah melalui doa bagimu.
Dari Nonamu di Depok. 

Minggu, 23 Februari 2014

Surat yang Tak Perlu Dibalas

Untukmu yang sedang menimba ilmu di Negeri Kangguru.

Halo, apa kabar kamu?
Sepertinya aku tak perlu menyebutkan siapa kamu. Orang yang mengenal baik diriku pasti tau kepada siapa surat ini kutujukan. Hari ini tanggal 23, tanggal yang pernah begitu berarti dalam 50 bulan kebersamaan kita, dulu. Kalau kamu ingatpun, surat terakhir yang kutujukan padamu itu juga tertulis di tanggal 23. Dan kalau ditelusuri lagipun kisah kita juga berakhir di tanggal yang sama.
Tapi... Hei! Siapakah aku ini yang dengan beraninya lancang berkata tamat pada suatu kisah yang diguratkan oleh sang Pencipta. Kita sama-sama tidak akan tau apa yang menjadi akhir dari kisah yang terdapat aku dan kamu di dalamnya. Biarlah Tuhan yang Esa itu yang akan menentukan akhir dari cerita kita, masing-masing.

Kudengar, kamu sudah selesai menempuh program Diplomamu ya? Dengan penuh ketulusan aku ucapkan selamat untukmu. Sungguh, aku turut senang dengan kelulusanmu. Tentunya aku juga ikut bangga dengan nilaimu yang terbilang sempurna itu. Pertahankanlah itu sampai ke jenjang strata satumu. Aku yakin tanpa perlu kuingatkan lagi kamu pasti akan menjalani studymu sebaik mungkin. Kau tau, tanpa perlu berucap pun kamu sudah menularkan semangat belajarmu padaku. Ya, kamu memang seseorang yang bisa kujadikan teladan yang baik. Perjuanganmu hidup sendiri di negeri orang tak bisa dipungkiri membuatmu semakin dewasa dan mandiri dalam segala hal.

Kalau aku boleh tau, apa kegiatanmu sekarang ini? Kuharap, di tengah kesibukanmu kamu masih tetap setia dengan pelayanan yang telah Tuhan percayakan padamu ya. Jujur, sesekali aku merindukanmu disini. Sebagai apapun aku, aku masih merindukanmu. Walaupun bisa dibilang rinduku ini bukan hanya untukmu. Rinduku ini juga terbagi kepada keluargamu, terlebih kepada kedua kakak perempuan dan ibumu. Aku sering mengharu bila mengingat kebaikan mereka semua padaku. Betapa mereka tulus menyayangiku seperti adik dan anak mereka sendiri. Ketahuilah, kalian semua -tak terkecuali papa dan abangmu- masih sering aku sebut dalam setiap rapal doaku.

Meski begitu, terkadang aku suka bertanya di dalam hati. Mungkinkah dalam jarak yang sejauh ini kita masih saling mendoakan seerat dulu? Terlebih ikatan yang ada sudah tak lagi mengharuskan kita untuk saling membangun di dalam doa. Bukan, pertanyaanku itu bukan berarti aku pamrih dalam hal mendoakanmu. Hanya saja, seringkali aku merasa mujur jika didoakan olehmu. Sebagai teman, bolehkah aku meminta diri untuk terdaftar dalam doamu? Sederhana saja, aku hanya ingin didoakan agar aku bisa lebih dewasa lagi dalam menjalani hidup. Karena seperti yang kamu tau sejak dulu, hidup yang kujalani terkadang terlalu berat untuk dilampaui. 

Ah, terkadang aku ingin sekali berbagi cerita denganmu. Ya, sebagai apapun asalkan tidak ada yang merasa tersakiti. Dengan tiadanya kamu aku suka linglung harus bercerita kepada siapa. Sulit menemukan seseorang yang bisa membuat hati ini membebaskan perasaannya untuk bercerita. Akhir-akhir inipun ingatanku terdampar ke kamu karena beban yang menumpuk di pikiranku sudah mengendap terlalu lama. Aku butuh sedikit pencerahan agar bebanku bisa sedikit berkurang, dan aku tau pencerahan itu bisa kudapat dari nasehatmu. Tapi tenang saja, aku tau diri sekali. Tak mungkin aku meminta kamu menyediakan waktu hanya untuk mendengar keluh kesahku.

Oia, apa kamu mau tau satu hal tentangku? Sekarang aku semakin senang menulis. Terpujilah Tuhan karena Ia mempertemukanku dengan seseorang yang bisa membimbingku untuk tekun menulis. Dan jangan khawatir, meski tadi aku sempat mengeluh tentang beban hidupku, aku tetap baik-baik saja. Seperti janjiku dulu saat berucap pisah denganmu. Apapun yang terjadi, aku akan tetap baik-baik saja. Sebelum kuakhiri surat ini, ada satu hal lagi yang ingin kusampaikan. Banyak salam yang dititip padaku untukmu. Aku hampir lupa dari siapa saja itu. Yang pasti mereka semua merindukanmu.

Baiklah. Mungkin sebaiknya kuakhiri suratku ini sampai di sini. Aku harap kamu baik-baik saja disana. Jagalah kesehatanmu dan cepatlah kembali. Banyak orang yang menantikan kepulanganmu, termasuk aku. Dan kamu tak perlu membalas suratku ini. Cukup kamu pulang dengan kesuksesan, itu sudah lebih dari cukup untuk membalas suratku. Sukseslah kamu dengan segala usahamu. Doakan aku agar juga memiliki kesuksesan yang sama bahkan lebih darimu. Akhir kata, sampai berjumpa lagi di bulan Desember!

Dengan penuh kasih,
Vierena.

Sabtu, 22 Februari 2014

Hujan

Kepada hujan yang masih terus mengalir dari mata langit.

Hujan, aku selalu suka caramu hadir membasahi tanah.
Airmu yang meresapi tanah menguarkan wewangian basah yang menyeruak di paru-paruku.
Memberi efek terbukanya memori ingatan lampau di dalam kepala.
Memaksa diri untuk memproyeksikan lagi suka dan sakit yang telah menjadi kenangan.

Hujan, aku selalu suka caramu yang hadir beramai-ramai.
Gerimismu bersehati menghujam tanah tanpa maksud menyakiti.
Tapi entah mengapa ramaimu selalu mengundang sepi di sekitarku.
Hanya bulir kenangan yang turut menyertai airmu yang menjadi teman setiaku.

Hujan, aku selalu suka caramu bermain dengan waktu.
Tanpa peduli apapun kamu datang mengguyuri bumiku.
Membasahi tubuh yang tak siap dengan kedatanganmu.
Memperlambat bahkan menghentikan langkah mereka yang terdesak oleh waktu.

Hujan, aku selalu suka caramu menyeretku ke dalam keteduhan.
Airmu memaksaku untuk berteduh dan mencari ketenangan sejenak.
Berkat itu, kamu selalu memberi kesempatan yang tepat untukku bergulat dengan waktu.
Melamunkan sesuatu yang mungkin terlewati namun mengendap di hati.

Hujan, aku selalu suka caramu berhenti.
Kamu datang dengan kesopanan penuh arti.
Membawa awan kelabu sebagai pengiring mentari pergi.
Dan pulangpun kamu sengaja membawa pelangi.
Sebagai pertanda bahwa langitmu tak lagi bersedih.

Hujan, selepas kamu pergipun aku tetap tak mengerti.
Mengapa kenangan ini tak ikut luruh bersama aliran airmu yang mulai mengering?
Ah, kau mungkin juga tak tau hal ini.
Bahwa tak hanya pelangi yang tercipta karena pergimu, tapi juga rindu.

Hujan, kini langit telah usai mencurahkan airmu.
Bisa jadi ia lelah menumpahkan rintikmu.
Tapi disini masih ada yang terus membasahiku.
Hujan dari mataku.

Belajar dari Smurfette

Dear, my numero uno; Tuan Uno Telaumbanua...

Selamat pagi, sayang.
Saat aku mengetik surat ini untukmu, hujan deras sedang menyelimuti kota Depok sedari tadi. Bagaimana dengan keadaan cuaca di kotamu? Semoga tidak sesendu awan di kota Depok ya. Karena cuaca yang dingin ini mengakibatkan tumpukan rindu di hatiku semakin menggunung. Jangan tanya rinduku pada siapa. Sudah tentu muara rinduku ini tertuju ke kamu. 

Sayang, seperti yang pernah aku katakan dalam surat-surat sebelumnya bahwa banyak sekali perbedaan di antara kita yang membuat kita kesulitan dalam membangun komunikasi yang baik. Seperti kemarin misalnya, aku melakukan kesalahan yang fatal dalam memahami suratmu. Untuk itu aku mohon maaf ya, sayang.

Baiklah, jika kemarin kamu mengambil sebuah intisari dari kisah film Robocop. Kali ini aku akan membawamu jauh ke momen pertama kita saat menonton film. The Smurfs! Apalagi kalau bukan film itu yang sampai kini masih membekas jelas di ingatanku. Kamu tau sendirilah, selain karena aku menyukai film animasi, aku juga suka berimajinasi. Film the smurfs mampu membangkitkan daya imajinasiku dengan begitu hebat. Bahkan kalau boleh, aku ingin sekali berada di posisi Patrick yang bisa dengan begitu akrabnya berteman dengan para Smurfs. Atau, sesekali aku ingin mencoba untuk bisa masuk ke dunia Smurfs yang setiap harinya penuh dengan keriangan, sukacita dan persahabatan.

Oke, sepertinya aku mulai melantur.

Dalam surat ini aku bukan ingin membuat kamu bosan terlebih jengah dengan khayalanku yang terkadang tidak bisa kamu mengerti. Disini aku ingin mengajakmu; dan juga aku sendiri, belajar dari seorang Smurfette. Si gadis yang paling cantik di antara para makhluk biru lainnya ini memiliki sifat perasa yang hampir setingkat denganku. Masih ingatkah kamu, awal mula konflik di film The Smurfs ini dimulai dari Smurfette yang merasa bahwa teman-temannya telah melupakan hari ulang tahunnya. Padahal di balik sikap dingin teman-temannya itu mereka telah mempersiapkan sesuatu yang snagat istimewa untuk Smurfette. Dan hal itupun langsung dimanfaatkan oleh si penyihir jahat, Gargamel.

Ya, sepertinya aku tak perlu menjelaskan sinopsisnya seperti apa. Toh kita berdua sudah menonton habis film itu. Yang mau aku tekankan disini adalah bahwa melalui sifat Smurfette yang hampir sama denganku, aku belajar sesuatu. Aku belajar untuk tidak membiarkan perasaanku menjadi liar tak terkendali hanya karena sebuah pandangan yang terlihat dari satu sisi. Contoh nyatanya adalah aku yang sering merasa takut padamu kalau kamu sudah diam tanpa suara, aku merasa bersalah sendiri dan akhirnya aku meminta maaf tanpa sebab musabab yang jelas kepadamu. Padahal diamnya kamu itu belum tentu karena kesalahanku.

Nah, sayang. Aku memang belajar dari Smurfette. Tapi kamu taukan betapa sulitnya berproses untuk mempelajari sesuatu. Ya, meskipun aku sudah lama belajar untuk mengubah sifatku yang satu itu tapi tetap saja sampai sekarang sepertinya tidak ada perubahan sedikitpun. Aku harap kamu bisa memakluminya ya, Sayang!

Oia, dalam surat ini aku sekaligus ingin memperjelas bahwa aku yakin dengan sifat kita yang jauh berbeda ini, kita masih bisa bergandengan tangan melangkah bersama menuju masa depan yang indah. Lagipula, aku ingin lihat akan Tuhan buat seperti apa hubungan si nona perasa dan tuan yang cuek ini.

Baiklah sayangku, hujan semakin mendukung udara dingin untuk menusuk kulitku. Aku ingin segera berlindung di balik selimut. Selagi libur, aku ingin memanfaatkan hari ini untuk bersantai dan memanjakan diri. Semoga kamu juga bisa bersantai ya di hari ini. Aku menyayangimu!

With love,
your Nona.

Jumat, 21 Februari 2014

Seandainya

Untukmu yang seandainya ada di sampingku kini.

Kamu, seandainya kamu membaca surat ini, kumohon jangan tertawa.
Karena andaikan kamu tau betapa ada rindu yang tertumpuk di dada kala senyum merekah di bibirku.
Aku hanya bisa berandai kamu merasakan hal yang sama denganku.
Walau aku tau mungkin rasa itu sudah terkikis karena basi di hatimu.
Seandainya saja aku bersabar menantimu.
Pastinya aku tak hanya berlarian dalam angan saat ini.
Entahlah, tak ada obat rindu yang lebih ampuh dari temu.
Berandai tentangmu pun malah semakin memicu rindu.
Seandainya saja aku ada di sampingmu sekarang.
Meski sedih pasti akan banyak usahamu untuk melemparku ke dalam wahana kebahagiaan.
Ah, seandainya dulu aku tau hebatnya rasa kehilanganmu.
Mungkin tak sampai hati aku merelakanmu pergi.
Seandainya saja aku tau bahwa tak ada yang lebih baik darimu.
Aku pasti tetap mempertahankanmu sampai mati.
Ya Tuhan, seandainya saja waktu dapat diputar kembali.
Tapi aku tau itu tak mungkin.

Yaaa, semua hanya tinggal seandainya...
Seandainya di masa depan kita bertemu,
kuharap kamu masih tetap menatapku dengan cara yang sama.

Dariku, yang seandainya saja berani berucap langsung padamu bahwa aku rindu.

Kamis, 20 Februari 2014

Santai Saja

Dear Tuan yang tak punya mimpi.

Sayang, apa gerangan yang membuatmu terburu-buru?
Segitu kejamnya kah hari mengancammu untuk segera berburu waktu?
Tak habis pikir aku dengan hidupmu yang tanpa mimpi itu.
Apakah dunia yang kau jalani begitu indah hingga kau tak perlu lagi fiksi untuk kau khayalkan?

Sayang, janganlah terburu-buru menghempaskan mimpi dari hidupmu.
Tanpa kau tau mimpi memiliki kekuatan magis untuk menambah semangatmu.
Kelak mimpilah yang akan merengkuhmu pada pelukan masa depan.
Lagipula, bukankah dewi fortuna berteman baik denganmu?
Jadi, tak usahlah kau ragu untuk bermimpi.

Kupikir, Tuhan tak akan setega itu sampai tak memberimu mimpi indah.
Pasti dengan lapang Ia akan memberimu ruang untuk mencipta mimpimu sendiri secara sadar.
Beranilah menjadi pencipta bagi mimpimu sendiri, kamu diberi kehendak bebas untuk itu.
Jangan terburu waktu, rileks dan santai saja.
Perlahan, susun mimpimu serapi dan setinggi mungkin, lalu kolaborasikan dengan mimpiku.

Dan kalau kugali lagi memoriku.
Bukankah kamu yang sedari awal mengajariku bermimpi?
Bagaimana mungkin kemarin kamu bisa berkata bahwa kau tak memiliki mimpi?
Atau mungkin itu sebuah isyarat bahwa kamu mau berduet denganku untuk membangun sebuah mimpi yang baru?

Jika iya, ayo kita lakukan.
Santai saja, tapi jangan sampai buang waktu lama.
Cukup kita renda sebuah mimpi sederhana.
Tak usah megah, cukup kita berdua yang mencipta itu juga sudah istimewa.
Dan ketika akan mengakhiri surat ini, muncul suatu ide baru lagi untuk bermimpi.
Aku berimpian untuk bisa menulis lagi setelah ini, denganmu tentunya.

Bagaimana sayang, berminat untuk menjadi rekanku dalam mewujudkan mimpi itu?
 
With love,
aku,
Nona yang masih saja suka bermimpi.

Pagi yang Kurindukan

Untukmu pagi...

Selamat siang, pagi.
Apa kabarmu beberapa minggu terakhir ini?
Sudah lama kita tidak berjumpa atau sekedar menyapa lewat doa.
Belakangan ini tubuhku terlalu lemah melawan godaan hangat selimut.
Sehingga untuk melepasmu pergipun aku tak sempat.

Pagi, betapa aku sungguh merindukanmu.
Kamu yang selalu menyiratkan pesan Tuhan yang tersurat melalui dirimu.
Pesan bahwa aku masih bisa menjalani hari dengan hadirmu.
Rinduku menumpuk pada langitmu yang biru.
Entah kapan pasti rindu ini akan terolah beku tanpa sebuah temu.

Pagi, ada yang hilang ketika aku tak lagi menjadi penikmatmu.
Aku kehilangan gairah untuk menyiarkan semangat pada dunia tanpa embunmu.
Tak terhitung detikku terbuang sia-sia tanpamu.
Geloraku untuk bercumbu dengan sinarmu telah lenyap ditelan kantuk.
Dengan lancang panas matahari siang merenggut tugasmu untuk membangunkanku dari mimpi.

Pagi, terlalu aku merindu pada sunyimu.
Sunyimu yang mampu mengiris benci yang sehari semalam telah menggerogoti hati.
Sunyi yang tak melulu menjadi pertanda bagi sepi.
Sunyimu yang menjadi prolog bagi pejuang yang bersaing dalam cinta.
Ataupun epilog untuk mereka yang terlelap dalam hempasan luka patah hati.

Pagi, masihkah pesonamu indah untuk menjadi pembuka hari?
Sesal hatiku melewatkan alunan harva malaikatmu yang dulu tak jarang menyapaku.
Meski enggan kini terbiasalah aku disambut oleh terik sang raja siang.
Namun tetap saja tak timbul cinta dari pola yang biasa itu.
Matahari yang tersipu malu tetap menjadi indah yang pertama.
Ah, salahku memang karena tak luangkan waktu untuk menemuimu seperti dulu.

Pagi, dekaplah erat tubuhku ketika kita bertemu nanti.
Mungkin esok atau lusa aku akan menemuimu meski tanpa janji.
Gerimis hujan, hangat mentari atau siapapun yang menjadi pengiringmu, aku tak peduli.
Yang terpenting hadirlah kamu dan kita saling menemui.
Aku merindukanmu, maafkan aku yang mulai sering mengabaikanmu.

Dariku,
yang sedang merindu... 

-Ditulis ketika bangun siang sudah menjadi kebiasaan-

Rabu, 19 Februari 2014

Masihkah 19 Spesial Untukmu?

Dear, SC

Ini tanggal 19, surat ke-19 ini akan kutujukan kepadamu.
Angka 19, jika melihat angka 19 ada sedikit percikan api cemburu yang hendak berkobar di hatiku. 
Angka 19 membawaku pada memori saat aku pertama mengenalmu. Dimana jemariku dengan lincah menelusuri tiap kedalaman kisahmu yang kau tuangkan pada rumah mayamu. Walaupun samar, aku masih sedikit mengingat bagaimana waktu itu aku sempat terkesima membaca surat sapaanmu untuk angka 19. Namun bila kini kugali lagi ingatan tentang surat itu. Aku sungguh cemburu, sampai terlalu.

Adakah masih tersimpan keistimewaan angka 19 itu di hatimu; di hidupmu?
Dan masihkah ia -yang telah mengukir angka 19 dengan begitu spesial bagimu- memiliki tempat dalam prasangkamu sebagai rusukmu yang sempat hilang?
Ah, mungkin kamu akan memarahiku dengan pertanyaan-pertanyaan bak lelucon ini.
Sudah jelas aku yang kini berada di sisimu. 
Tapi entahlah, keraguan begitu hebat menyelimutiku. 
Terlebih saat kata lelah terucap dari bibirmu. 

Aku harus bagaimana sekarang? Perlukah kuberi ruang untukmu beristirahat?
Hei, kau arahkan langkahmu kemana lagi, Sayang?
Bukankah sudah jelas, jiwaku adalah tujuan yang tepat bagimu untuk beristirahat.
Aku tidak mengada-ada. Aku berkata demikian karena hal itu juga berlaku padaku.
Bagiku, dirimu adalah peristirahatan yang tepat untukku beristirahat.
Bahkan ketika aku lelah terhadapmu.

Atau mungkin, gadis 19 itu masih tetap yang terbaik untukmu sampai saat ini?
Kalau iya, aku tak habis pikir bagaimana harus mengendalikan kekacauan hatiku.
Apalagi mataku pernah memenjarakan kalimat yang kini sangat membuatku iri.
Ya, kamu pernah berucap tanpa suara, kau katakan bahwa dialah pencapaian paling indah yang pernah tergapai. 
Astaga! Dadaku berdegup kencang ketika kuingat untaian kalimat indahmu pada gadis 19mu itu.

Sekarang aku hanya bisa tersesat dalam labirin perandaian.
Aku hanya bisa berandai untuk dapat menjadi pemahat terhebat, hingga aku mampu mengukir angka lain yang lebih indah bagimu. 
Aku hanya dapat berandai memiliki waktu yang panjang seperti dirinya yang begitu lama berdiam di dalam hatimu sampai bertahun-tahun lamanya.
Dan aku masih hanya akan terus berandai untuk bisa menjadi gadis terbaikmu.

Tapi, siapakah aku ini?
Aku hanya mampu berandai untuk bisa memenangkan hatimu dengan usahaku.
Aku tak pandai bersaing dengan gadis-gadis lainnya untuk mendapatkanmu.
Lagipula aku tak cantik pun mungkin tak sepandai dirinya untuk menjadikanmu semujur dulu saat bersamanya.
Seperti biasa, aku hanya bisa mengandalkan tangan Tuhan yang Maha Baik itu untuk menjadikanku lebih dari pemenang. Dan secuil keyakinan untuk bisa bersamamu itupun aku serahkan ke dalam tanganNya. Jadi seperti kicauanmu dulu di ranah maya: Kalau memang jodoh ada di tangan Tuhan, kuharap dirimulah yang ada di tanganNya.

Hanya ini yang dapat kuutarakan.
Mohon maaf jika terlalu banyak emosi yang kusisipkan pada belantara kata di surat ini.
Sempatkanlah untuk menjawab segala pertanyaanku yang tertera dalam surat ini.
Aku mencintaimu, hanya itu yang mampu kunyatakan tanpa perandaian.
Kutunggu jawabmu, sampai kapanpun.

Regards,
VTD.

Selasa, 18 Februari 2014

Masih Perihal Mimpi

Peluk sayangku dari jauh untukmu, Tuan Imajinasiku.

Selamat siang menjelang sore, Sayangku.
Aku sudah membaca surat ucapan syukurmu kemarin. Dan tidak seperti biasanya, aku membaca surat itu berulang kali sampai tak terhitung oleh jemari tanganku. Aku bahagia, menjadi salah satu alasan untukmu mengucap syukur adalah salah satu kebahagiaan tak terhingga yang Tuhan anugerahkan bagiku. Mungkin dalam surat itu kamu tidak menjawab tawaranku yang memintamu untuk menceritakan bagaimana mimpimu kepadaku. Baiklah, kuharap kamu bisa menceritakan perihal mimpimu itu di lain waktu. Di surat berikutnya, mungkin?

Masih soal mimpi. Hari ini lagi-lagi aku bermimpi tentangmu. Bukan, mimpi yang kali ini bukan murni bunga tidur yang Tuhan hadiahi untukku. Mimpi yang satu ini adalah hasil imajinasiku ketika mengirimkan surat permohonan kencan yang kuajukan kepada salah satu tukang posku dalam proyek 30 hari menulis surat cinta. Betapa beruntungnya aku. Karena tanpa perlu pusing memikirkan untuk siapa aku mengirimkan surat hari ini, aku bisa menentukannya dengan cepat dan tepat tentunya. Ya, tanpa perlu berpikir lagi aku mengajukan surat permohonan kencan itu untukmu. Pacarku yang juga bertugas sebagai tukang posku.

Entahlah, hanya dalam waktu hitungan beberapa menit saja aku mampu menulis banyak kata hingga menimbun aksara dalam belantara surat cinta. Kamu memang mampu menjadi muara dari segala imajinasiku, Sayang. Ah, andai segala imajinasiku itu dapat kurealisasikan bersamamu. Tapi aku yakin cepat atau lambat segala mimpi-mimpi yang telah kita ciptakan secara sadar itu tidak hanya sekedar menjadi sampah perandaian. Percayalah, kelak kita akan mampu meraih asa yang telah kita rajut bersama ini.

Sayang, badai dan segala kerikil kecil akan semakin gemar menghantam kita dalam perjalanan. Aku harap kamu selalu siap menggenggam tanganku sampai asa itu menjadi milik kita. Bukankah kamu pernah berkata bahwa dunia akan tercengang hebat ketika melihat kita berdua mampu berdiri bersama dengan mimpi-mimpi yang telah terwujud? 

Ayolah, mari kita percepat waktu untuk mengejutkan dunia ini. Ayo kita bangun dan berlari bersama mewujudkan mimpi-mimpi kita itu. Jiwaku begitu bergelora untuk segera masuk ke dunia yang telah kita impikan itu. Tapi sayang, kalaupun di tengah perjalanan nanti aku lelah dan ingin berhenti. Tolong kamu ingatkan kembali ambisiku yang terlalu ingin membahagiakan kita. Agar perhentianku itu hanya untuk sementara dan selanjutnya aku akan beranjak lagi bersamamu menapaki jalan impian.

Dan yang terakhir yang tak boleh terlupakan.
Tetaplah kita menyandarkan pengharapan kita kepada Dia yang telah merenda karya indah bagi kita. Berdoalah dengan tekun bersamaku. Agar rencana kita sejalan dengan rencana yang telah diguratkanNya bagi kita. Dan supaya Ia memelihara aku dan kamu dari segala ancaman yang hendak memisahkan kita.

Baiklah, Sayang. Mungkin keinginanku terlalu sempurna untuk bisa bersamamu, selalu. Ada kalanya juga kita perlu bersiaga terhadap semesta yang tak melulu sesuai dengan dugaan. Tapi bukankah kita selalu dibebaskan untuk bermimpi? Tentu dengan syarat kita harus ingat untuk bangun dan mewujudkannya. Lagipula Tuhan kita itu Maha Pengasih, tiada kata mustahil dalam kamusNya bagi kita. Bagaimana, beranikah kamu meraih segala mimpi kita itu bersamaku? Oia, tetap kutunggu cerita-cerita tentang mimpimu ya, Sayang!

Masih denganku,
Nona pemimpimu.

Kencan Seharian #NaikAgya Bersamamu

Selamat sore pemain bolanya Bosse, @sunoesche.

Sedang apa kamu sekarang, Suno?
Ehm, sepertinya agak canggung jika aku menyapamu dengan menggunakan nama.
Aku juga yakin kamu pasti sedang menahan tawa ketika matamu menangkap sapaan penuh basa-basiku itu.
Begini saja, bagaimana jika aku tetap memanggilmu "sayang" seperti biasanya? Toh ini adalah salah satu keberuntunganku yang memiliki kamu. Seorang pacar yang berperan ganda sebagai tukang posku. Ah, iya ini keuntungan berganda juga bagiku. Karena selain bisa melepaskan penat melalui tulisan, aku juga diberi kesempatan untuk mengajakmu kencan. Dan istimewanya lagi, kencan kali ini disponsori oleh Toyota yang berbaik hati meminjamkan salah satu produksi mobil terbaiknya untuk kita kencan seharian. Ya, dengan mobil Agya yang telah disediakan untuk kita aku ingin mengajakmu berekreasi sejenak dari segala kesibukan kita ke kota tetangga, ke Bandung. Tidak ada alasan khusus mengapa aku memilih kota Bandung sebagai tujuan kita. Lagipula asal bersamamu aku yakin segala perjalananku akan lengkap dengan kebahagiaan.

Aku sudah merencanakan semuanya dengan baik. Seperti yang kamu tau, aku adalah perencana yang handal terlebih dalam urusan kencan. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah menentukan hari untuk mengambil cuti dari segala rutinitas kita. Kusarankan untuk memilih tanggal 6 Maret. Kenapa? Selain karena di tanggal itu tidak ada kegiatan organisasi yang berarti, proyek 30 hari menulis surat cinta pun sudah selesai terlaksana. Jadi kita bisa berkencan tanpa terbeban dengan segala macam pekerjaan lainnya. Pekerjaanku sebagai sekretaris dan pekerjaanmu sebagai tukang pos tidak akan ada yang terbengkalai bukan? Dan terlebih daripada itu semua, tanggal 6 adalah hari jadi aku menerimamu sebagai pacar. Ya, hitung-hitung kita sekalian merayakan hari jadi kita yang ke delapan bulan itulah.

Saat tanggal enam nanti tiba, aku akan membangunkanmu tepat pukul lima pagi. Kita akan bersiap selama satu jam dan kita berangkat dari Depok pukul enam pagi. Kamu tidak usah khawatir kakimu pegal, karena pada kenyataannya mobil Agya memiliki kabin yang luas sehingga kamu bisa dengan nyaman meregangkan otot-otot dari kakimu yang terbilang panjang itu. Lalu kita akan menikmati perjalanan kita dari Depok sampai ke Bandung sekitar kurang lebih tiga jam. Tentunya kamu tidak perlu pusing memikirkan bahan obrolan denganku selama dalam perjalanan. Ketahuilah, aku tidak akan pernah habis akal untuk mengajakmu berbincang-bincang. Kalau-kalau kamu bosan mendengar ocehanku, aku punya solusinya kok. Cukup kamu masukkan saja lagu-lagu Cherrybelle kesukaanmu ke dalam flashdisk, karena mobil kece yang satu ini juga memiliki fitur hiburan yang dapat terkoneksi dengan USB. Baru dalam perjalanan saja semua ini sudah terasa menyenangkan bukan? Apalagi jika sudah sampai tujuan. Kamu pasti akan ketagihan kencan bersamaku.

Oke, lanjut.

Berhubung kondisi arus perjalanan Depok-Bandung yang terkadang sulit dipediksi, aku ingin mengajakmu mengatur strategi untuk mengatasi kemacetan. Dan lagi-lagi kukatakan, tidak perlu khawatir. Karena dengan bentuknya yang sangat dinamis dan mesin handal yang dimilikinya, mobil Agya ini akan mampu membawa kita membelah arus kemacetan dalam perjalanan kita nanti.

Sesampainya di Kota Kembang itu, aku akan langsung mengajakmu sarapan sekedar untuk mengisi perut sebelum makan siang di tukang mie kocok yang pernah kusambangi. Tukang mie kocok itu terletak di Jl. Bungsu. Mungkin itu juga adalah tukang mie kocok langgananmu ya, Sayang? Hmm, yang jadi masalah disini adalah aku bukan navigator yang baik dalam perjalanan apapun, terutama di kota Bandung yang bukan kota tempatku tinggal. Bagaimana kalau kita bertukar peran, aku yang menjadi supir dan kamu yang mengarahkan jalan. Tentunya ada beberapa daerah yang kamu kenal kan di Bandung ini? Biar bagaimanapun, Bandung adalah kota yang telah menjadi saksi masa kecilmu, Sayang. Dan ketahuilah, aku memang tidak bisa menyetir mobil manual. Tapi untung saja, mobil Agya ini memberi pilihan dengan menawarkan mobilnya yang bertransmisi automatic. Sehingga aku dapat dengan mudah menggantikanmu mengendarai mobil dalam kencan kita ini.

Sudah hampir siang. Sembari menunggu jam makan siang yang tinggal beberapa jam lagi, aku ingin mengajakmu berbelanja di Cihampelas Walk. Kata temanku yang berkuliah di Bandung, Cihampelas Walk ini adalah surganya penikmat belanja. Aku yang perempuan sejati ini tentunya tak ingin melewatkan tempat itu jika ke Bandung. Aku harap kamu tidak hanya menemaniku. Kamu juga bisa ikut berbelanja bersamaku. Kamu bisa membeli beberapa barang yang menarik perhatianmu. Dan lagi-lagi kamu tidak perlu khawatir dengan ongkos bensin saat kita pulang nanti. Karena dari informasi yang kudengar, mobil Agya ini memiliki bobot yang ringan sehingga mampu menekan konsumsi bahan bakar yang digunakan. Jadi selain kita bisa mengalihkan uang bensin untuk berbelanja, dengan kelebihan efiensi bahan bakar yang dimiliki mobil Agya ini kita juga jadi bisa memanfaatkannya dengan berjalan-jalan lebih jauh lagi.

Untuk makan siangnya, bagaimana jika kita berwisata kuliner saja? Kita cicipi seluruh makanan khas Bandung yang banyak kita temui di sepanjang perjalanan kita nanti. Dan sore harinya aku ingin mengajakmu ke Kawah Putih. Disana aku hanya ingin sekedar menikmati suasana alam yang tenang dan damai bersamamu. Menggenggam tanganmu di hamparan pasir berwarna putih sembari memanjakan mata dengan keindahan air danau yang berwarna kehijauan. Astaga! Baru membayangkannya saja aku sudah tersenyum sendiri, seolah-olah ada sesuatu yang ingin membuncah dari dadaku. Disana kita tak perlu memikirkan apa-apa selain tentang kita berdua. Cukup menikmati apa yang ada disana; aku, kamu dan alam semesta yang Tuhan izinkan menjadi saksi kebahagiaan kita.

Setelah puas menikmati keindahan alam kawah putih dan seiring ditelannya senja oleh langit malam,  kitapun harus ingat untuk pulang. Memang keindahan kencan kita ini seolah-olah menyangkari kita untuk memaksa waktu berhenti. Namun keluarga dan juga tugas-tugas yang lain sudah menanti kepulangan kita. Oh, iya! Jangan sampai kita lupa membeli oleh-oleh untuk mereka yang menanti kepulangan kita. Aku berencana untuk membeli beberapa kotak dus brownies khas Bandung untuk keluargaku dan pernak-pernik khas Bandung untuk teman-teman kita. Kamu tak perlu memikirkan banyaknya barang belanjaan kita tadi yang bertengger manis di bagasi, karena bagasi mobil Agya ini terbilang cukup luas sehingga kita bisa menaruh oleh-oleh sekaligus barang belanjaan kita tadi di dalam bagasi mobil Agya ini.

Oia, Sayang. Kalau kamu tak puas hanya sehari saja berkencan naik Agya bersamaku. Bagaimana jika kita menabung untuk membeli mobil ini? Kudengar harga mobil Agya ini sangat terjangkau loh. Jadi kitapun tak perlu berlama-lama menabung hanya untuk mendapatkan sebuah kendaraan yang nyaman. Karena dengan harga yang terjangkaupun kita sudah mampu memiliki mobil Toyota Agya ini.

Nah, menyenangkan bukan rencana kencan seharian naik Agya yang telah kususun rapi ini?
Bagaimana kalau hal ini tidak hanya sekedar kita jadikan wacana?
Berkenankah kamu merealisasikannya bersamaku?

Sekian dariku,
yang menunggu jawabanmu.

Senin, 17 Februari 2014

Ytc. Tubuh Tempatku Berasal

Untukmu,
Ytc. Tubuh Tempatku Berasal

Kamu.
Entah siapa kamu, aku masih belum tau.
Tapi aku percaya, entah kapan itu kamu akan menjadi pasanganku, seumur hidup.
Pria yang akan selalu mengisi celah dalam jemariku, sudahkah sampai detik ini kita pernah bertemu?
Sudah atau belum jawabannya, yang pasti kamu akan menjadi titik henti dari pencarianku ke segala penjuru selama ini.
Ketahuilah, jika sampai kini kita belum bersatu di altar suci itu bukan karena kamu maupun aku.
Percayalah, itu hanya persoalan waktu. Mari bersama kita sandarkan pengharapan kita kepada Dia yang ahli meleburkan dua hati menjadi satu. Pun jika kita ditakdirkan untuk bersama, kita pasti tak akan kemana. Aku dan kamu akan berjalan dan bertemu pada tempat yang sama; pada kita.
Kamu, jika Tuhan membawamu untuk membaca surat ini sebelum aku sendiri yang memperlihatkannya padamu, izinkanlah aku untuk memohon sesuatu.
Kumohon dengan sangat agar kau terus menjaga bahagiaku yang Tuhan titipkan padamu untuk kau berikan padaku nanti. Mohon persiapkan dirimu untuk saling memiliki dan mencinta denganku yang akan mendampingimu. Dan sembari menunggu waktu yang telah ditetapkanNya bagi kita, mari aku dan kamu bersama memperbaiki diri untuk layak menjadi tempat singgah selamanya bagi masing-masing kita.
Yakinilah bahwa kamu adalah pria hebat yang mampu meluluhkan kekerasan hatiku yang terlalu sering dimanjakan rasa ego. Kamupun pasti lebih dari sederhana ketika mampu membuatku tak henti bersyukur karena keberadaanmu di sisiku.
Aku percaya, aku yang adalah tulang rusukmu ini akan dipertemukan denganmu melalui guratan tangan Tuhan yang tak terprediksi. Dia memiliki cara indah untuk menaruh kembali tulang rusuk ini pada tubuh yang tepat; tubuhmu. 
Akupun percaya, kamu sudah memenuhi permohonanku ketika cincin yang sama telah melingkar di jari manis kita. Sebab kamu adalah jawaban dari ribuan hari aku melipat jemari, dimana aku mengirimkan permohonan doa kepada Tuhan. Dan kamulah hadiah yang sempat disembunyikan Tuhan ketika aku lulus merelakan orang-orang yang pernah kucintai pergi dari padaku. 
Kelak jika bersatu nanti, cintailah aku sepenuh hatimu tanpa kata kecuali.

Dengan penuh cinta,
tulang rusukmu. 

Minggu, 16 Februari 2014

Mimpi

Dear, Tuan yang sedang sibuk-sibuknya.

Selamat pagi menjelang siang, sayang.
Bagaimana kesan hari pertamamu kemarin yang bertugas menggantikan peran Om Em sebagai tukang pos penggalang?
Aku harap menyenangkan ya.
Oia, sekedar memberi tau saja. Aku menulis surat ini sembari memakan cokelat darimu loh.
Sayang, aku mau cerita.
Semalam aku memimpikan kamu, memimpikan kita.
Di mimpiku itu entah bagaimana prosesnya tiba-tiba saja kita sudah menikah dan memiliki empat anak, tiga laki-laki dan satu perempuan. Dan entah apa yang sedang dipikirkan Tuhan hingga memberi mimpi yang begitu indah semalam karena keempat anak yang muncul di mimpiku itu sangat lucu dan menggemaskan. Si sulung sangat tampan, tinggi putih dan memiliki mata yang kecil sepertiku. Si gadis kecil, anak terbungsu di mimpiku memiliki hidung yang mancung sepertimu, dia masih bayi. Namun dari kulitnya yang kemerah-merahan dapat ditebak seputih apa kulitnya saat sudah beranjak dewasa nanti. Dua yang lainnya juga sangat lucu, sepertinya umur mereka masih seusia anak-anak sekolah dasar. Tapi entahlah, Tuhan tidak menginformasikan berapa usia mereka di dalam mimpiku itu. Masih ada beberapa penggalan cerita yang Tuhan taruh di mimpiku, yang masih dapat kuingat jelas. Salah satunya ketika kita berenam; aku kamu dan keempat anak-anak dalam mimpiku itu makan malam bersama di sebuah kedai tradisional ala budaya Jepang. Disana kita makan, mengobrol, tertawa, dan berbagi kasih bersama seperti bagaimana layaknya keluarga yang mencapai puncak kebahagiaan mereka.
Alasan Tuhan menjadikan kedai itu sebagai latar mungkin sekedar untuk menghiburku yang kemarin malam sempat memberi wacana kepadamu bahwa suatu saat nanti aku ingin ke Osaka saat musim semi bersamamu. Ah, indah sekali mimpi semalam. Pagi tadi saat bangun tidur sebelum cerita-cerita dalam mimpi itu menguar bersama dengan aktivitas hari ini, aku langsung berdoa. Berharap penuh kepada Tuhan agar mimpiku semalam dapat digenapi dalam dunia nyata. Kamu tidak keberatan kan dengan harapanku itu?

Nah itu tadi mimpiku.
Kalau boleh, bagaimana jika dalam surat berikutnya kamu juga menceritakan mimpimu kepadaku.
Kalau memang kamu tidak bermimpi saat tidur atau kamu lupa akan mimpimu saat tak sadar itu, cobalah ceritakan mimpi-mimpi yang kamu ciptakan sendiri saat kesadaranmu penuh terjaga. Dan tentunya aku akan lebih senang jika aku juga diperkenankan untuk mendapat peran di dalamnya.

Baiklah sayang. Itu saja yang ingin aku tuangkan dalam surat hari ini. Sekalian aku mau mengingatkan bahwa hari ini orang yang menjadi media Tuhan untuk mendekatkan kita sedang berulang tahun loh. Sudah banyak semoga yang aku panjatkan untuknya setelah aku mendoakanmu semalam. Akhir kata, selamat hari Minggu sayangku. Selamat menikmati berkat Tuhan di hari yang kudus ini.

Dengan penuh cinta,
Nona pemimpimu.

Untuk Presidenku Selain SBY

Depok, 16 Februari 2014
Nomor: ISTIMEWA
Perihal: Ucapan Selamat

Kepada:
Yth. @RyanSyukra
Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Gunadarma
di manapun berada

Selamat pagi, siang, sore, malam, Pak Presiden.
Selamat berulang tahun yang ke 20. Eh atau 21 ya?
Ah, maaf. Saya lupa. Atau tidak tau lebih tepatnya.
Maafkan sekretarismu yang payah ini. Bahkan umurmu saja aku lupa berapa jumlahnya.
Memang dibanding wakilmu itu saya jauh lebih payah dalam bermain angka.
Ya tapi berapapun umur anda saat ini, saya ucapkan selamat.
Selamat karena berhasil menempuh usia yang lebih tinggi dari hari kemarin.
Sederhana saja yang saya hadiahi untuk anda hari ini; doa.
Doa dengan semoga yang lebih banyak dari biasanya saya rapalkan khusus untuk anda.
Dan tentu saja, saya berharap Tuhan menggenapi setiap semoga yang saya panjatkan untuk anda.
Tak banyak kata yang dapat saya ucap dalam surat ini.
Tanpa kop surat, EYD yang benar, serta cap basah yang resmi, pastinya surat ini akan mendapat banyak revisi darimu.
Tak apalah, saya harap ada toleransi tak terduga di hari yang spesial ini.
Selamat bertambah dewasa, Pak Presiden.
Tetaplah hebat dalam kepemimpinan anda!
Solidaritas, totalitas dan loyalitas adalah harga mati yang telah anda tawarkan kepada saya.
Terima kasih atas kepercayaan anda terhadap saya selama ini dan sampai kesudahannya.
Sekali lagi, selamat menempuh umur yang baru.
Bertambahlah dewasa, Pak.

Hormat saya,


Sekretaris Cantik :)

Catatan : Bahasa dalam surat ini saya buat seformal mungkin karena pada kenyataannya kita tidak pernah seperti ini. Tak ada salahnya kan mencicipi sesuatu yang berbeda? :) 
Saya pakai jasa Wakil anda yang saat ini sedang berganti peran sebagai tukang pos agar menyampaikan surat ini kepada anda. Semoga beliau dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan menyampaikan surat ini pada Anda. Sekian dari saya. Salam Mahasiswa!

Sabtu, 15 Februari 2014

Penikmat Cinta

Kutujukan untuk kalian, para penikmat cinta dalam cara yang berbeda.

Rangkaian yang akan kuguratkan dalam surat ini berdasarkan memori dari sepenggal pengalaman akan cinta. Beberapa pengalamanku dan sisanya penglihatan atas pengalaman orang-orang di sekitarku.
Sebagai bentuk toleransi dalam memperingati hari kasih sayang yang baru saja terlewati, aku akan menuliskan surat ini untuk kalian para penikmat cinta.
Cinta memang satu, tapi setiap manusia memiliki ribuan cara yang berbeda untuk dapat menikmatinya. Perlu bukti? Kalianlah buktinya :)

Untuk kalian, yang menikmati cinta tanpa status.
Ada seorang temanku yang menjalani cinta ini, tiga tahun lamanya. Aku heran, apa yang menjadi alasannya untuk menelantarkan status dalam hubungan itu. Begitu juga kalian. Apakah cinta yang kalian rasakan terlalu nikmat hingga segala hal lainnya di luar itupun menjadi terabaikan? Entahlah, aku tidak pernah mengalaminya. Mungkin aku terlalu sok tau, tapi cobalah dulu apa yang kukatakan ini. Aku yakin, cinta yang sedang kalian jalani ini akan jauh lebih nikmat jika dibumbui sebuah status yang pasti. Ya, who knows? Dicoba saja dulu dan rasakan hasilnya.

Untuk kalian, yang menikmati cinta dalam perbedaan agama.
Pertama-tama ketahuilah, aku juga pernah seperti kalian. Dan hal kedua yang harus kalian ketahui adalah, aku menyesal. Kita tak perlu berbohong dalam menikmati cinta yang satu ini. Jujurlah, pasti akan ada rasa rasa takut, ancaman, serta hal tidak mengenakkan lainnya yang mungkin sedikit demi sedikit bisa mengikis rasa nikmat dalam cinta ini. Satu setengah tahun yang pernah aku jalani dan itupun sangat penuh dengan perjuangan yang berat. Mungkin tidak seberat yang kalian jalani saat ini. Tapi ingatlah, nikmat cinta yang satu ini tidak abadi kecuali Tuhan yang Esa memberi kelebihan sabar kepada kalian. Sabar berlebih yang tiada habis, tentunya. Dan untuk kalian yang sedang menikmati cinta ini, nikmatilah, selagi bisa. Karena mungkin ada saatnya kalian harus mencintai dalam keikhlasan. Ikhlas untuk menahan perih karena melepaskan orang yang kau cintai. Agar dia yang juga mencintaimu dapat restu untuk menemukan pasangannya yang satu Tuhan.

Untuk kalian, yang menikmati cinta dalam jarak yang jauh.
Berapa tahun kalian menjalaninya? Atau kalian baru menjalaninya dalam beberapa bulan ini? Satu hal saja yang dapat aku apresiasikan untuk kalian. Kalian hebat! Terus terang, aku juga pernah hebat seperti kalian. Tapi sayang, hebatku hanya bertahan tak sampai dua tahun. Jarak dan perbedaan waktu bukanlah teman yang baik bagiku dalam menikmati cinta. Apakah kalian juga merasa seperti itu? Aku rasa tidak kalau sampai saat ini kalian masih bertahan. Pasti kalian adalah orang-orang kuat yang tak lelah memohon kepada Tuhan agar terus diberi kepercayaan dan kesetiaan dalam kadar yang tidak biasa. Pintaku untuk kalian yang telah lulus bersama dalam menghadapi jarak serta waktu, jika ada kesempatan beritahu aku ya rahasianya :)

Untuk kalian, yang menikmati cinta lama bersemi kembali.
Apa rasanya? Apakah rasanya seperti tak ingin terhempas ke masa lalu tapi juga tak ingin terdampar di masa depan tanpa dirinya? Ah, sepertinya menyenangkan jika bisa merasakan cinta yang satu ini. Berkali-kali jatuh cinta tapi tetap pada orang yang sama. Nikmatilah cinta kalian yang seperti itu. Biarkan saja cerita yang sudah gugur di masa lalu karena cerita yang baru sudah bersemi dengan orang yang sama.

Untuk kalian, yang menikmati cinta di atas pelaminan.
Indahnya melihat kalian yang merayakan cinta di atas sebuah pelaminan. Seperti yang baru saja kulihat dalam pesta pernikahan saudaraku tadi siang. Senyum merekah tak henti mereka perlihatkan kepada para tamu yang ikut berbahagia. Ah, kuharap Tuhan mengizinkanku untuk bisa merasakan cinta yang satu ini. Pasti membanggakan jika bisa berdiri di atas pelaminan bersama orang yang kita cintai dan membuktikan pada dunia bahwa kita telah menemukan cara yang tepat dalam menikmati cinta yang telah Tuhan suguhkan itu. Selamat untuk kalian yang telah berhasil menikmati cinta dengan cara ini. Dan jangan izinkan satu hal pun mengganggu cara kalian dalam menikmati cinta kecuali maut yang berbicara.

Untuk kalian, yang menikmati cinta dalam kesendirian.
Kurasa tidak ada yang nikmat dalam cinta yang satu ini. Jika ada, bisa kalian ceritakan padaku dimana letak nikmatnya?

Tunggu! Sepertinya aku lebih banyak bertanya dibanding bercerita dalam surat ini. Hmm, kenyataannya aku masih perlu lebih lama lagi menjelajahi cinta agar aku bisa lebih tau banyak cara dalam menikmatinya. Sebelum aku semakin meracau tanpa arah, sebaiknya kuakhiri dulu surat maya dariku. Kuharap selembar surat ini dapat menjadi teman bacaan menyenangkan di sore hari bagi kalian yang sedang menikmati suguhan cinta dari si dia. Ya, bagaimanapun caranya, cinta memang layak untuk dinikmati.

Terakhir.
Untukmu, yang telah membuatku menikmati cinta.
Terima kasih yang tak pernah cukup kucurahkan padamu. Tetaplah menjadi rekanku dalam mencicipi beribu cara lain menikmati cinta.

Sekian dariku,
yang juga penikmat cinta.

Jumat, 14 Februari 2014

Kasih Sayang Untuk Empat Kota

Awan mendung sepanjang hari menemaniku saat mengetik surat ini.
Mungkin pertanda bahwa langit mengajakku untuk berempati terhadap kekabungan orang lain; terhadap sesama.
Banyak yang bersuka cita di tanggal 14 Februari ini. Tapi tak sedikit pula yang bersedih hati karena alasan yang berbeda-beda.
Sinabung, Manado, Jakarta, dan kini Kelud. Dengan penuh air mata, keempat daerah itu kini telah melengkapi hari yang diagungkan banyak orang sebagai hari kasih sayang. Mungkin masih ada daerah lain yang tak kusebutkan dan mungkin tak jauh berbeda keadaannya dengan mereka. Maklumilah, sebagai manusia yang tak sempurna, mataku masih tak cukup terbuka untuk memandang lebih luas lagi ke segala penjuru bumiku.
Hari ini, di hari kasih sayang ini, akan kukemas doa dalam wujud surat maya kepada keempat daerah yang menjadi sebab mengalirnya air mata sang Bumi Pertiwi.

Sinabung,
Gunung yang berdiri kokoh di tanah Karo ini memiliki sejuta pesona yang memukau mata. Tak usah merendah, Sinabung. Dengan mata kepalaku sendiri aku pernah melihatmu dari Brastagi. Tak bisa kupungkiri, kau memiliki lembah yang terukir indah dari satu punggungan ke punggungan lainnya. Mataku sungguh jatuh cinta padamu. Terlebih saat kulihat pesona kawahmu yang setia memuntahkan uap panas. Sungguh indah, apalagi jika dilihat pada malam hari.
Tapi kini isi perutmu mulai menggelora hampir tanpa kendali. Erupsimu telah menyebabkan beberapa manusia penghunimu berpulang ke asalnya; dari debu kembali menjadi debu. Awan panasmu menjadi ketakutan bagi mereka yang biasa merengkuh erat dirimu, kini mereka mengungsi untuk menyelamatkan diri. Tapi percayalah, kelak jika dirimu sudah lebih tenang, mereka akan kembali padamu; pada keindahan dan kekayaanmu. Jangan takut kehilangan para pendayung yang tiap hari bersama perahu mereka menyusuri kakimu yang berupa danau. Mereka pasti akan kembali lagi menikmati hawa sejuk di danaumu itu.
Dan untuk kalian yang saat ini sedang bersusah hati karena Sinabung, kuatlah!
Percayalah bahwa Tuhan tidak sedang bermain-main dengan Sinabung. Awan panas yang disemburkan Sinabung bukanlah ancaman dari Tuhan untuk kalian. Ketahuilah, ini proses alami yang memang harus terjadi. Kuatlah kalian dalam menjalaninya. Doa dari banyak orang terhampar luas di sisi kalian.

Manado,
Kamu yang menjadi ibu dari provinsi Sulawesi Utara ini sangat kental dengan budaya dan keindahan pantainya. Siapa sangka, kamu yang sangat mempesona dengan panorama airmu justru juga diluluhlantahkan oleh bencana air. Banjir bandang yang melandamu tentu sangat memberi kejutan pahit. Kekhasan alammu yang menawan beberapa terhempas lenyap oleh kekejian longsor serta banjir bandang. Harta rakyatmu ikut terhanyut terbawa aliran air yang tak tahu diri itu.
Ah, habis kataku melihat kemalangan kalian.
Doaku untuk kalian korban bencana Manado, semoga kalian cepat pulih dari keterkejutan ini. Banjir boleh menghanyutkan harta kalian, tapi jangan sampai hal itu juga menghanyutkan cita-cita mereka yang masih muda; tunas-tunas yang nantinya akan mengangkat kembali Manado dari keterpurukan sementara ini.
Pulihlah, Manado!

Jakarta,
Siapa yang tak kenal dirimu? Kota yang dengan bangga menyandang predikat ibu kota Negara. Tempat berkumpulnya para petinggi yang mengurus kepentingan rakyat. Kota metropolitan yang kental dengan gemerlap dunia malam. Terus terang, ini bukan kali pertama aku mendengar dirimu kebanjiran disana-sini. Bahkan sejak aku kecil aku sudah sering melihatmu tergenang air keruh dan bertumpuk sampah dimana-mana. Meski begitu, tetap saja aku bergetar setiap berita tentang banjirmu melalang buana di layar televisiku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika aku yang berada di posisi para korban banjir yang tersorot dalam kamera stasiun televisi itu. Para korban banjir Jakarta, aku tau kalian kedinginan, kalian kelaparan, dan kalian merindukan kehangatan. Memang, aku tak bisa mengerti sampai kedalaman hati kalian. Tapi melalui berita di televisi dapat kulihat jelas penderitaan kalian. Bertahun-tahun problema banjir ini tak pernah menemukan titik temu solusinya. Jakarta, bertekunlah dalam kesabaran. Taruh pengharapan kalian di dalam Tuhan yang punya segala cara untuk memungkinkan apa yang mustahil.
Aku percaya, kelak Jakarta akan bebas dari banjir yang sudah menjadi langganan. Iya, aku percaya.
Kamu juga percaya itu kan, Jakarta?

Kelud,
Jujur, sebelum hari ini aku tidak pernah mendengar namamu, Kelud. Namamu baru saja kulihat tadi subuh ketika di timeline twitterku berkeliaran namamu. Terucap ribuan doa untukmu bahkan dari kenalanku di luar negeri. Aku jadi terheran-heran dan penasaran dengan dirimu. Dengan sengaja kuluangkan waktu untuk berselancar di dunia maya demi mencari tau siapa dirimu sebenarnya. Aha! Aku tau. Ternyata dirimu adalah sebuah gunung yang tengah berproses secara alami. Kamu mengeluarkan erupsi sebagaimana semestinya kamu menjalankan tugasmu. Baiklah, mungkin untuk kali ini erupsimu terlalu berlebihan hingga menyebabkan letusan hujan abu sampai ke kota tetanggamu. Anehnya, proses alamimu yang berlebihan ini juga memancing orang-orang untuk membicarakanmu secara berlebihan. Ya, itu menurut pandanganku. Entah yang lain.
Segelintir orang mengaitkanmu dengan ramalan, mereka bilang ini pertanda bahwa dunia sudah lelah berputar lagi; tanda kiamat. Sebagian membuat lelucon tak lucu dengan berkata bahwa ini adalah ancaman alam yang menolak kepemimpinan presiden SBY. Sisanya mengambil sisi positif dengan beranggapan bahwa ini teguran untuk lebih dekat dengan Tuhan.
Apapun itu, aku yakin ini adalah proses alami yang memang harus terjadi padamu. Hanya saja, tolonglah jangan terlalu lama bererupsi. Kasihan mereka yang menjadi korban abu panasmu.
Dimanapun kalian korban meletusnya Gunung Kelud, semoga Tuhan terus melindungi kalian. Berserahlah padaNya, karena Dialah sumber segala kehidupan kita.

Surat ini akan kuselesaikan. Tapi doa dari seluruh umat akan terus mengalir deras kepada kalian, korban bencana Sinabung, Manado, Jakarta dan Kelud.
Jujur, surat ini sempat terhenti karena gangguan sinyal internet. Tapi percayalah, tangan Tuhan tak akan pernah berhenti bergerak untuk menolong kalian. Tuhan tidak tinggal diam.

Sekian dariku,
salah satu pendoa kalian.

Cokelat

Surat ini kutulis ketika berita tentang bencana Gunung Kelud beredar dimana-mana.
Di saat kebanyakan orang-orang di dunia bersuka merayakan hari Valentine dan bumi pertiwi kita tengah berduka.
Ketika kita baru saja beristirahat sejenak dari perjalanan melelahkan tanpa hasil, Depok-Bogor-Depok.
Kamu berada tepat di hadapanku ketika huruf demi huruf dalam surat ini mulai lahir dan siap bertautan dengan huruf lainnya sehingga membentuk kata lanjut rangkaian kalimat yang semoga indah untuk dibaca.
Lucu memang, menuliskan sebuah surat untuk seseorang yang bahkan bisa kugapai dengan jangkauan tanganku. Tapi tak apalah, anggap saja ini salah satu cara unik yang kumiliki untuk membalas pemberian cokelatmu yang masih tersimpan manis di dalam tasku.

Untukmu, Tuan kesayanganku yang senyumnya mahal.

Halo Tuan, pertama-tama kuucapkan terima kasih untuk cokelat yang kamu berikan sekitar satu jam yang lalu. Maaf jika responku tidak sesuai dengan ekspetasi yang kau kemas rapi menyertai cokelat itu. Aku hanya terlalu terkejut dengan hal manis yang kau bungkus dengan sederhana itu. Karena jujur, mungkin ini bukan pertama kalinya aku mendapatkan cokelat dari seorang laki-laki di hari Valentine. Tapi ini adalah kali pertama dimana pria yang menjadi kekasihku dengan sangat manis memberikan sebuah cokelat di hari yang diagungkan orang banyak sebagai hari kasih sayang.

Kuberitahu sedikit. Saat kecil dulu aku selalu bertanya-tanya mengapa makanan yang dipilih untuk menjadi simbol hari kasih sayang ini adalah cokelat. Kini dengan pemikiranku sendiri aku mengambil kesimpulan. Kenapa hari Valentine itu diidentikan dengan cokelat karena rasa coklat yang pahit namun manis dan seringkali membuat ketagihan. Selain karena cokelat dapat mengembalikan emosi seseorang yang kesal dapat membaik secara perlahan, hal yang pertama itulah yang mungkin menjadi alasan yang masuk akal (bagiku). 

Ya, sama halnya dengan cokelat, begitu jugalah cinta yang sedang kita bangun bersama. Meski kita tau ada hal pahit yang akan kita rasakan bila kita berani untuk jatuh cinta pada seseorang, namun ada hal manis yang menggelitik rasa penasaran kita untuk mencicipi cinta itu. Kita tau, apapun bentuknya cinta pasti akan berujung pada hal pahit yang sulit untuk kita terima; perpisahan. Bagaimanapun caranya suatu saat nanti kita akan berpisah dengan orang yang kita cintai. Entah itu melalui orang ketiga, ketidakcocokan, pertengkaran, ataupun maut. Tapi indahnya, meskipun kita tau resiko yang kita terima saat mencintai seseorang itu pahit rasanya. Namun kita tak pernah kapok untuk kembali  lagi mencintai orang lain, kembali lagi berteman dengan cinta. Kenapa? Karena sama seperti cokelat, rasa manis yang ada akan mampu menutupi dan mendominasi rasa pahit pada cokelat; pada cinta.

Ah, sepertinya aku mulai terlalu banyak berteori sendiri. Kamu yang sekarang berada di depanku sudah jelas terlihat sangat bosan menungguku selesai berurusan dengan laptopku ini. 
Baiklah, kuselesaikan dulu suratku untuk hari ini. Sepertinya akan jauh lebih baik kalau aku berbicara langsung denganmu.

Aku menyayangimu Suno Christiawan.
Jika diberi hak untuk menamai hari, setiap hari akan kunamakan hari kasih sayang.
Namun terlalu egois, karena hal itu hanya beralaskan kamu tanpa memikirkan orang-orang lainnya.
Apapun nama hari ini, aku bersyukur masih bisa menyayangimu, begitu juga sebaliknya.
Semoga di surat berikutnya ada hal yang lebih menyenangkan yang dapat kita bahas.
Kuakhiri surat ini dengan penuh ucapan syukur kepada Tuhan yang telah mempertemukan kita.

Dariku, Nona yang sedang menanti senyummu hari ini.
 

Kamis, 13 Februari 2014

Penantian

Untukmu yang selalu kunantikan...
 
Sosokmu hadir, kembali mengusik ketenangan jiwa
Seperti tetesan embun memecah keheningan pagi

Aku lelah,
Karena mencintaimu dalam penantian
Kurebahkan nurani mati semenjak nafasku karatan
Kelebat rinduku kini mengumandangkan nada minor

Aku lelah,
Karena mencintai dalam ketiadaanmu di sisiku
Bahkan cermin bisu ini tidak akan pernah mengerti
Tentang apa yang tersembunyi di balik senyum yang selalu berseri

Aku lelah,
Merapihkan kembali hati yang retak akibat kegundahan rasa
Bertanya dalam penantian,
"Kapan aku bisa meraih kita dalam sebuah asa?"

Aku lelah,
Karena sesungguhnya kehancuran hati ini tidak akan bertepi
Bagai malam tanpa kehadiran bulan
Tak setitik cahaya dapat mendamaikan kegelapan dalam hati ini

Kini, hanya kebisuan waktu yang bercerita
Sembari menerjemahkan kematian hati yang kurasa

Dengan segenap ketegaran yang tersisa
Kumohon kepadamu, dengan tulus dan penuh keikhlasan
Berikan aku segenggam kepastian, walau dibungkam keraguan
Agar aku bisa tetap mencintaimu dalam resahnya penantian

Dariku yang selalu menantimu...

Rabu, 12 Februari 2014

Rabu Rindu

Selamat siang, Tuan kesayanganku...

Aku merindukanmu. 
Ah, kalau kalimat pertamaku ini sudah tertangkap matamu, kamu pasti akan tersenyum nakal.
Aku akui tebakanmu benar, aku memang rindu.
Rindu padamu membuat kram di tangan dan otakku, sehingga aku agak kesulitan dalam merajut kata demi kata hari ini.
Ya, semoga saja kamu bisa mengerti apa yang kuucap dalam surat ini. Tapi, bukankah kamu selalu mengerti dan paham apapun yang dimaksud dalam sebuah ucapan?

Oia, mengenai pertemuan kita sebelumnya, bukannya aku tidak menepati perkataanku. Namun, bukankah kata tak selalu harus disertai suara? Aku menyampaikan perkataanku, isi hatiku, melalui satu cara saat bibir terkatup: memandang matamu. Entahlah, aku selalu suka menatap lekat-lekat matamu meskipun di saat kamu sedang marah. Semua itu kulakukan dengan harapan isi hatiku bisa tersampaikan melalui ruang dimana tatapan kita saling bersinggungan.

Dan kalau bicara soal pesanmu. Tenang saja, kita lihat saja nanti bagaimana Tuhan memprosesku untuk lebih dewasa. Setidaknya untuk bisa lebih sepadan denganmu yang menurutku telalu dewasa sebelum waktunya. Maklumi saja, aku yang anak bungsu ini tentu masih perlu bimbingan darimu, si sulung dari tiga bersaudara.

Sayang, tak banyak yang bisa aku tuangkan dalam surat hari ini. 
Aku lelah. 
Lelah pada rindu yang terus menerus menggerogoti hatiku.
Kapan kita bisa bertemu? Kamu harus segera bertanggung jawab untuk menemuiku sebelum aku jatuh sakit karena rindu yang sungguh keterlaluan ini.

Lekas, jawablah pertanyaanku melalui suratmu yang berikutnya.
Aku tunggu.

Dengan penuh kerinduan,
Nona yang ingin menemuimu sesegera mungkin.

Menanti Lamaran

Surat ini kutulis atas dasar cinta yang menggebu kepadamu.
Rindu yang menyatu dengan lelahnya penantian membuatku berani menuliskan surat ini.

Kepadamu yang kucintai setulus hati,
calon suamiku.

Aku mencintaimu, itu kalimat pertama yang ingin aku ucapkan kepadamu. Perasaan pertama yang muncul ketika kusebut namamu. Entah sejak kapan datangnya perasaan yang sekarang tumbuh liar ini. Aku bahkan tak ingat kapan sesungguhnya aku pertama kali melihatmu. Yang aku ingat ini hanya perasaan biasa yang bisa terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Bukan sebuah heran jika ada wanita jatuh cinta pada ketampananmu. Bukan juga bimbang jika tak jarang wanita menanggapi gurauan candamu. Tapi ini mengherankan jika terjadi padaku.
Aku, yang selalu selektif dalam memilih teman dekat.
Aku, yang masih menikmati kekosongan hati tanpa penghuni.
Aku, yang tidak pernah menduga akan terperangkap dalam jebakan cintamu yang akhirnya membuatku luluh dan menyerah pada perasaan yang melawan logika ini. Jujur, aku terlalu banyak berpikir saat mencintaimu. Itu sangat menggangguku. Aku ingin mencintaimu dengan bebas, sebebas saat aku mencintai mantan pacarku dulu. 

Sudah beberapa pekan ini kita tidak saling mengobat rindu dengan temu. Hanya beberapa pesan singkat dan telepon darimu saja yang hingga kini mampu membuatku bertahan. Bagaimana urusan pekerjaanmu selama tak bertemu aku? Lancarkah?
Aku sendiri jujur tidak bisa melakukan pekerjaanku sebaik dulu. Sebaik saat aku belum mencintaimu. Banyak sekali pikiran tentangmu dan tentang kita yang mengusik pikiranku.
Saat tak bertemu seperti ini, seringkali muncul berbagai tanya dalam benakku.
"Mengapa kamu?"
"Akankah kita bersatu?"
"Sampai kapan aku harus menunggu?"
Semua pertanyaan itu makin hari makin sering berkeliaran dalam pikiranku.  Padahal, apa yang salah dengan kita? Aku tidak pernah dengan sengaja jatuh cinta denganmu. Kamu juga tidak pernah memiliki ambisi untuk membuatku terjatuh dalam cintamu. Tapi, bukan begitukah seharusnya cinta terjadi? Tanpa alasan dan tanpa rekayasa. Dan untuk memenangkan cinta yang hebat, kita memang perlu berpikir untuk mengatur strategi, bukan? Karena yang harus kulawan disini adalah seisi dunia dan yang menjadi musuh terbesarku adalah rasa takut di dalam diri ini.

Sayangku, aku memberanikan diri menulis surat ini kepadamu juga atas dasar cinta yang mendalam. Sudah kuputuskan untuk terus mencintaimu, seumur hidupku. Untuk itu aku ingin memastikan, kapan kamu bisa meminangku? Kapan keberanian yang ada padaku ini juga menulari dirimu? Dan sudah siapkah kamu jujur pada dunia mengenai kita yang saling mencinta?
Aku menanti kepastianmu. Aku menanti lamaranmu, Sayang. Sampai kapanpun itu.
Dan sampaikan maafku padanya karena telah menyakiti.

Dengan penuh cinta (yang salah),
calon istri mudamu.

Selasa, 11 Februari 2014

Hai Adik, Berlarilah!

Ketika aku tengah berjalan santai menyusuri pinggiran pantai Pulau Pari; salah satu keindahan milik Kepulauan Seribu, aku melihatmu. Lensa kamera milik temanku itu menangkap sosok mungilmu di tengah keramaian anak-anak seusiamu. Entahlah, di antara puluhan teman-temanmu, aku begitu tertarik padamu. Di Sekolah Dasar yang hanya ada satu-satunya di pulau itu, kobaran api semangatmu terlihat lebih membara dibanding teman-temanmu.

Surat ini kutujukan untukmu, gadis kecil penghuni Pulau Pari.

Hai, Adik! Bolehkah aku memanggilmu demikian? Kuharap jawabannya boleh, karena dilihat dari sisi manapun sudah jelas nyata bahwa usiaku lebih dewasa darimu. Jikalau kamu tidak berkenan kupanggil Adik, kumohon maafkan aku. Bukannya aku tidak mau memanggilmu dengan namamu. Hanya saja pagar sekolahmu membatasi ruang di antara kita untuk sekedar berjabat tangan sembari mengucap nama satu sama lain.

Hai, Adik! Melalui potret yang menjadi sangkarmu ini kulihat dirimu begitu bersemangat dalam aktivitasmu. Apa gerangan yang membuat semangatmu perlahan tampak tanpa kendali itu? Ketika teman-temanmu yang lain duduk beristirahat dan beberapa meregangkan otot kaki mereka, kamu malah membetulkan sepatumu kembali untuk bersiap berlari lagi. Apa kamu tidak lelah?

Hai, Adik! Aku perhatikan kulitmu lebih terlihat gelap dibanding teman-temanmu. Apa sang raja siang begitu terlalu cemburu dengan semangatmu sehingga dengan tega ia membakar perlahan kulitmu? Tapi tenang saja, Adik. Warna kulitmu itu tak mengurangi kecantikan yang terkemas rapi pada wajah manismu kok, sungguh.

Hai, Adik! Apa rahasiamu dalam memelihara semangat yang seperti itu? Tidakkah kamu lelah dan hendak berhenti sejenak guna mengistirahatkan sepasang kaki kecilmu itu? Ah, lupakanlah! Aku menghujammu dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah pasti tak sampai sasaran. Jangankan menjawab pertanyaanku, kamu melihat ke arahku saja tidak. Tanpa mempedulikan sekelilingmu, kamu begitu fokus dengan apa yang ada di depanmu. Bahkan ketika tanganmu sibuk membetulkan posisi sepatumu, matamu terlihat tajam menatap sesuatu. Apa yang kamu tatap, Adik? Entahlah, aku hanya bisa menduga-duga. Mungkin kau sedang berkompromi dengan strategi untuk segera berlari menghadang lintasan di depan sana. Ya, mungkin saja.

Hai, Adik! Mungkin kamu tidak tau kalau semangatmu yang membara itu telah mengetuk perlahan kedua kelopak mataku. Kamu menyadarkanku dari mimpi yang sudah terlanjur terbang tinggi dan mengejutkanku dengan kenyataan. Ya, kamu mengajariku bahwa setelah bermimpi aku harus berjalan lanjut berlari hingga mimpi dapat kuraih. Karena kusadari, selama ini aku sudah terlalu lama beristirahat dan terlena oleh buaian hidup santai.

Hai, Adik! Aku ingin sekali mengirimkan surat ini kepadamu sebagai tanda terima kasih, tapi sampai kalimat ini kuketikkanpun aku tidak tau siapa namamu. Harapku kepadamu hanya satu. Kelak  jika kamu mengenal internet semoga Semesta bergerak untuk membawamu ke dalam halaman maya dimana surat untukmu ini tersimpan rapi.

Hai, Adik! Kulihat kini sepatumu sudah terpasang apik di kaki kecilmu. Kerutan di dahimu mulai terkuak oleh tumpukan semangatmu. Barisan gigimu yang rapi terlihat ketika kau tersenyum manis seraya menghangatkan dunia yang mungkin akan semakin kejam menghantammu. Tatapan matamu kian tajam pertanda kau sudah siap dengan segala rintangan di depan.

Hai, Adik! Kedua kakimu kini telah siap melangkah pergi. Majulah, berjalanlah dan teruslah berlari! Kubungkus ekspetasi tinggi terhadapmu dalam wujud doa. Dia yang bernama masa depan telah tak sabar menanti kehadiranmu. Pastikan lagi sepatumu terpasang dengan benar agar pijakan tajam di depan sana tidak melukai kakimu. Lekas, berlarilah!

Dariku, seorang pengunjung asing yang menangkap sosokmu dalam lensa kamera.