Rabu, 06 Agustus 2014

Tarian Kunang-Kunang


 “Aku bisa sendiri, Ra!” Anton menghempaskan tanganku yang mencoba membantunya berdiri. “Kamu yakin, Ton? Biar aku bantu mengarahkan ke kamarmu.” Kataku kepada Anton, pasien korban kecelakaan yang mengalami patah tulang dan benturan di matanya. Ketika aku masuk ke kamar ini kulihat Anton tengah mengelus lembut tangan seorang gadis remaja. Sangat lembut dan perlahan, seolah-olah sentuhannya itu dapat menyakiti gadis manis yang sedang terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur, gadis itu koma. “Baiklah…” kata Anton pasrah, “Kamu boleh memapahku sampai kamar, biar bagaimanapun itu tugasmu kan?” ujar Anton sambil tersenyum tanpa menatapku.
Sesampainya di kamar tempat Anton selama tiga minggu ini dirawat, aku melihat sesosok wanita, wanita yang selama ini selalu setia menemui Anton di tengah masa perawatannya. Maya, itulah nama dari wanita yang selalu nampak cantik itu. Sejauh ini aku masih belum paham apakah cinta hanyalah ruang untuk dua orang atau bisa juga untuk tiga orang bahkan lebih. Saat aku tengah sibuk berbagi cinta melalui pekerjaanku sebagai seorang Suster, aku memperoleh sebuah cinta yang lain dari pasienku, Anton.
Kami pertama kali bertemu di bangku taman Rumah Sakit, ketika aku sedang beristirahat dan melakukan kebiasaanku, memandang kunang-kunang yang menari di bawah lampu penerangan. Awalnya kami hanya berbincang sederhana, Anton yang tidak bisa melihat karena perban menutupi matanya merasa bosan karena belum diizinkan pulang oleh dokter. Bahkan Anton belum diizinkan untuk turun dari tempat tidurnya, hanya saja keras kepalanya itu mampu merobohkan pantangan dokter yang melarangnya untuk berjalan dulu. Dengan keteguhannya, Anton berusaha untuk pulih kembali. Sambil berlatih berjalan, ia rajin bolak-balik dari kamarnya yang merupakan kamar rawat inap biasa ke ruang ­Intensive Care Unit, tempat adiknya dirawat. Aku yang sering merasa kelelahan akibat pekerjaankupun tak jarang selalu terhibur ketika bertemu dan tertawa bersama Anton.
Dua minggu berlalu sejak pertemuan pertamaku dengan Anton. Entah sejak kapan kami menjadi begitu akrab dan aku juga tidak mengerti bagaimana caranya kata “Saya” dan “Anda” di antara kami sudah berganti menjadi “Aku” dan “Kamu”. Di sela-sela jam istirahatku, aku selalu meluangkan waktu untuk menemui Anton. Atau jika ia sedang tertidur saat aku datang, aku menyempatkan diri berdoa di sampingnya agar ia segera pulih dari sakitnya.
Hubungan kami memang terlihat sederhana jika dilihat dari sudut pandang manapun. Kami hanya seorang suster dengan pasien Rumah Sakit yang menjalin sebuah pertemanan pada umumnya. Namun tak sesederhana itu bagi sudut pandang hatiku. Aku yang sudah lama menutup diri dari cinta mulai merasakan kembali debar-debar yang menyenangkan ketika bersama Anton. Sifatnya yang memang terbilang humoris mampu dengan cepat menyelusup ke dalam hatiku. Aku mulai memandang Anton dengan cara yang berbeda, bukan hanya sekedar suster dengan pasiennya. Bukan hanya sekedar itu.
*****
Siang ini cerah sekali, matahari yang menyinari bumi rasanya terlalu ramah untuk menyengat kulit manusia yang berlalu lalang di bawah singgasana langit tempat matahari bertahta. Aku yang sudah dua hari ini mendapat jadwal libur dengan riang menyusuri lorong rumah sakit. Langkahku terasa ringan dan bersemangat. Aku sangat tak sabar ingin bertemu dengan Anton. Sudah dua hari ini aku merindukan moment duduk di bangku taman dan bercengkrama dengannya. Langkahku tiba-tiba terhenti ketika melihat kejadian di lorong seberang. Mataku membulat melihat kejadian yang baru saja terjadi.
Tubuh Hanna kulihat terlempar membentur tiang lorong rumah sakit, Hanna memegang pipinya yang sepertinya terkena pukulan pasien yang mengamuk itu. Pasien itu meraung-raung menangis sambil memberontak. “Astaga! Itu Anton!” pekikku dalam hati. Dengan sigap aku segera berlari ke lorong seberang melewati hamparan rumput hijau di taman Rumah sakit. “Kamu baik-baik saja, Han?” aku panik memeriksa sekilah tubuh teman sekerjaku itu. “Ba.. Baik Ra...” Hanna menjawabku ragu. “Aku baik-baik saja, tapi, tapi Pak Anton sejak tadi tak bisa dikendalikan.”
Aku langsung mengalihkan perhatianku kepada Anton. Dua dokter dan beberapa suster lainnya mencoba menenangkan Anton yang menangis sambil memukul tembok. “Ginaaaa... Ginaaaaaaa.....” teriakan Anton membuat prihatin seluruh orang yang sedang berlalu lalang di lorong Rumah Sakit. Terlebih lagi aku, hatiku terasa pilu mendengar teriakan Anton yang lirih. Teriak dan tangis yang menandakan keputusasaan. “Gina, maafkan kakak...” anton tersedu menangis dengan penuh penyesalan. Aku seolah ikut merasakan apa yang Anton rasakan. Aku berlutut merangkul tubuh Anton. Seluruh sukacitaku hari ini lenyap seketika saat melihat Anton menangis seperti ini.
Anton masih tidak mau beranjak mesti sudah kubujuk berkali-kali untuk kembali ke kamarnya, ia masih saja menangis dan memanggil-manggil nama Gina. Tak lama Maya datang dengan tergopoh-gopoh. Maya langsung memeluk Anton. Mengusap-usap wajah Anton dan kembali memeluknya erat. Aku segera menyingkir, berdiri menatap mereka berdua. Mereka menangis bersama sambil bersimpuh di lantai. Tak peduli seluruh orang di lorong Rumah Sakit ini memperhatikan mereka. Tak peduli dengan seorang wanita yang sedang menahan sakit di dadanya ketika melihat mereka berpelukan.
*****
Sudah pukul delapan. Sudah waktunya aku pulang ke rumah. Aku yang sudah berganti pakaian, dari seragam suster yang serba putih menjadi pakaian santai yang nyaman untuk membungkus tubuhku dari hawa malam yang dingin agar tidak menusuk kulitku. Sebelum mencapai gerbang Rumah Sakit mataku menangkap sosok seseorang yang sedang duduk sendirian di bangku taman. Orang itu Anton. Anton terlihat hanya duduk saja, tanpa daya, tanpa gerakan apapun. Seolah-olah ia sedang tersihir menjadi patung hiasan taman Rumah Sakit.
Aku yang tanpa sadar melangkahkan kakiku menuju ke bangku taman itupun berhenti. Aku teringat kejadian tadi siang, tepatnya ketika Anton berpelukan dengan Maya. Mungkin memang itu bukan pelukan mesra, itu pelukan berduka. Namun tetap saja kejadian itu masih jelas terpatri di otakku dan menusuk-nusuk perasaanku. “Apa seharusnya aku menjauh dari Anton?” tanyaku pada diri sendiri. Namun belum sepatah katapun hatiku menjawab pertanyaan itu, kakiku sudah lebih dulu melangkah mendekati bangku tempat Anton duduk termenung.
“Tak sepantasnya kamu menyalahkan diri sendiri.” Tiba-tiba saja bukan hanya kakiku yang lancang, namun juga suaraku yang entah dikendalikan oleh apa langsung saja melancarkan kalimat barusan. Anton hanya diam, bahkan tak bergeming sedikitpun dengan kehadiranku. “Aku tau kamu sedih, tapi setidaknya cobalah untuk kuat mengahadapi kenyataan hidup. Ada hikmah yang bisa kita ambil, setidaknya Gina tak perlu lagi merasa sakit. Ia pasti sudah bahagia di Surga.” Kali ini mulutku berbicara dalam kendaliku. Kebisuan Anton membuatku tak tahan untuk menghiburnya. Lebih baik aku melihatnya menangis atau apapun. Asalkan ia tidak diam seperti ini, diamnya Anton membuatku merasa asing. Ya, bukankah sejatinya diam adalah bahasa asing yang tak mampu diterjemahkan oleh kamus manapun?
“Bersyukurlah Gina tak perlu lagi merasakan sakitnya berjuang melawan luka-luka akibat kecelakaan itu.” Aku menghela nafas panjang melihat Anton yang tetap diam tak menganggapku ada. “Bersyukurlah, Ton. Tuhan menyayangi adikmu.” Aku tulus mengucapkan ini. Rasanya aku tak kuasa jika harus melihat Anton terus seperti ini, diam dalam keputusasaan.
“Dia suka kunang-kunang, Ra.” Anton akhirnya membuka suaranya. Aku menoleh melihat anton yang kini menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi taman. “Gadis remaja seusia Gina seharusnya tak lagi tertarik pada hewan-hewan kecil yang sudah jarang terlihat itu.” Anton menahan suaranya yang mulai terisak. “Karena tau kesukaannya itu, aku hendak membawanya ke hutan kota di belakang Rumah Sakit ini. Aku ingin menunjukkan padanya tarian kunang-kunang yang indah itu.” Kini Anton mulai tak dapat menahan isak tangisnya. Dengan suaranya yang mulai serak ia melanjutkan bercerita, “Namun aku lalai Ra, aku mencelakai adikku satu-satunya itu dengan menabrakkan mobil kami ke arah pohon besar untuk menghindari mobil lain yang melawan arah.”
Anton terisak dengan tangisnya. Sambil menggenggam tangan anton aku mencoba menguatkannya. Sungguh, aku turut merasakan apa yang dirasakan oleh Anton. “Seharusnya aku yang mati, Ra. Bukan Gina!” anton kembali tersedu. Aku spontan memeluk anton. Menguatkannya dengan kata-kata yang kuharap dapat menghibur. Mengeratkan pelukanku agar ia tau, ia tak sendiri. Aku disini juga ikut merasakan kepedihan yang dialaminya. Aku disini bahkan bersedia mengobati lukanya dengan cintaku.
“Apa kau tau,” aku meregangkan pelukanku, memindahkan tanganku hingga tertaut pada lengan Anton. “Aku juga sangat suka memandang kunang-kunang.” aku berkata kepada Anton dengan nada yang sedikit lebih riang. Dan satu hal, kalimat barusan bukan hanya sekedar kalimat penghibur. Aku memang betul-betul suka memandangi kunang-kunang. Banyak kunang-kunang yang berhabitat di hutan taman kota yang terbang hingga ke taman Rumah Sakit ini. Tiap malam saat aku istirahat ataupun sudah selesai jam kerja, aku sering menyempatkan diri untuk sekedar duduk di kursi taman ini sambil memandangi kunang-kunang yang gerakannya seolah sedang melakukan tarian.
“Aku tak berbohong.” Kataku mencoba meyakinkan Anton yang terlihat ragu. “Kamu ingat saat pertama kali kamu menyapaku di sini? Saat itu aku sedang memandangi kunang-kunang. Aku sedang menikmati tarian mereka yang terlihat indah dan menenangkan.” Aku menatap Anton yang terlihat menungguku melanjutkan ceritaku. “Aku baru sadar, saat itu kunang-kunang beterbangan lebih indah dari biasanya. Pasti mereka menyambut kedatangan Gina, adikmu. Tidakkah kamu juga percaya akan hal itu?” aku mempererat genggaman tanganku di jemari Anton.
“Seandainya saat ini kamu bisa melihat, kunang-kunang itu beterbangan hampir tanpa daya. Mereka seperti tak bergairah.” Aku mulai melebih-lebihkan kalimatku agar Anton sedikit terhibur. “Aku juga yakin, kunang-kunang itu juga sedih atas kepergian adikmu. Tapi kuberitau kepadamu satu hal, mereka tidak berhenti beterbangan. Karena mereka tau, manusia yang menyukai mereka bukan hanya adikmu. Masih banyak manusia lain yang ingin melihat tarian mereka, aku misalnya.”
Aku meregangkan kakiku sembari melanjutkan pembicaraan ini. “Aku harap, kau bisa seperti kunang-kunang itu, Ton.” Aku mendongakkan kepalaku memandangi kunang-kunang yang sedang menari di bawah sinar lampu taman. “Ketahuilah, adikmu akan lebih bahagia jika kamu tidak menyalahkan diri sendiri atas kejadian ini. Masih banyak yang membutuhkanmu, Ton.” Aku menghela nafas panjang. “Aku bersedia menemanimu menghadapi ini, Ton. Lagipula, Maya juga pasti membutuhkanmu.” Aku tercekat oleh kata-kataku sendiri. Menyebut sekaligus mendengar nama Maya terucap dari bibirku membuatku refleks menarik tangan dari lengan Anton.
Sakit rasanya jika mengingat ada Maya di sisi Anton. Terlebih jika aku ingat akan perasaan ini. Perasaan yang tanpa izin dariku mulai bertumbuh liar menjalari hati dan pikiranku. Melawan pikiran dan logikaku yang menolak perasaan ini. Perasaan ini tumbuh dengan sendirinya, tanpa kuminta, bahkan tanpa kukehendaki. Tak dapat kupungkiri. Meski hanya dalam waktu singkat Anton sudah membuatku tersesat dalam dunia yang indah namun penuh dengan bahasa asing itu. Diam-diam, aku mencintainya. Aku sangat mencintai Anton. Tanpa kusadari Anton meraba-raba bangku taman, ternyata ia mencoba mencari tanganku. Saat tangannya berhasil meraih tanganku, Anton erat menggenggam jemariku. “Terima kasih, Ra.” Anton tersenyum manis kepadaku. Jantungku berlonjak ketika jemari Anton hangat menggenggamku. “Astaga, perasaan ini sungguh berbahaya...” desisku dalam hati.
*****
Akhir-akhir ini aku mendapat jadwal bertugas di Shift malam. Sejak obrolan kami di bangku taman malam itu, Anton jauh lebih bergairah dan bersemangat menjalani proses penyembuhannya. Bahkan lebih sering dirinyalah yang membuatku tertawa seolah akulah yang lebih membutuhkan hiburan dibanding dirinya. Aku juga tak tau kenapa sejak kematian Gina, Maya jadi jarang terlihat menemani Anton. Ia hanya sesekali terlihat untuk membawakan baju ganti serta makanan pesanan Anton. Mungkin hubungan mereka sedang renggang? Entahlah, aku tak mau memikirkan apalagi menanyakan hal itu langsung kepada Anton.
Bagiku, cukup dengan bersama Anton saja sudah membuatku merasa senang walaupun ada batas yang menghalangi kebahagiaanku ini. Setiap kali Anton membuatku tertawa itu sangatlah membuatku merasa nyaman, aku tak mau merusaknya dengan menanyakan kabar Maya atau apa kesibukan Maya akhir-akhir ini. Aku tak mau merusak kebahagiaan ini, kebahagiaan kami; aku dan Anton. Tapi, apakah ini kebahagiaan yang sebenarnya? Aku tidak tau.
Aku melihat arloji di tangan kiriku. Aku masih punya waktu satu jam lagi sebelum waktuku bertugas dimulai. Akupun mengambil kesempatan ini untuk menemui Anton. Aku ketuk perlahan pintu kamarnya. “Masuk.” Kata Anton dari dalam kamar. Akupun masuk ke dalam. “Gimana keadaan kamu?” tanyaku sambil mengecek botol infusnya. “Baik, bahkan jauh lebih baik ketika mendengar suaramu.” Refleks aku langsung menahan nafas ketika mendengar perkataan Anton.
“Hahaha..” tiba-tiba terdengar suara tawa Anton yang renyah. “Kenapa kamu tertawa?” tanyaku sambil mengerutkan dahi. “Tidak apa-apa Ra, aku hanya merasa aneh saja. Suaramu betul-betul terdengar selalu riang di telingaku. Persis seperti suara Gina, almarhumah adikku. Suaramu betul-betul menyenangkan, Ra. Aku penasaran bagaimana wajah dengan suara yang selalu membuatku merasa lebih baik itu.” Suara Anton yang awalnya riang mulai berubah ketika menyebut nama Gina.
Jantungku mungkin bisa saja melompat keluar saking bahagianya ketika mendengar ucapan Anton. Meski harus disamakan terlebih dahulu dengan Gina, aku cukup merasa senang karena suaraku dapat memberi perasaan postif pada Anton. Walaupun mungkin perasaan positif itu bukanlah cinta. Walau tak suka, aku tak pernah keberatan jika Anton menyamakanku dengan Gina. Gina adalah adik Anton yang ikut dalam kecelakaan mobil yang menyebabkan Anton dirawat di Rumah Sakit ini.
Aku jadi teringat saat Anton memberontak hebat ketika Dokter menginformasikan kematian Gina. Anton yang kala itu seharusnya masih dalam keadaan boleh bangun dari tempat tidur memaksakan diri untuk melihat Gina. Bahkan dengan memberontak hebat Anton mencoba melepas perban yang melilit matanya. Hanna teman kerjaku sesama suster sempat terkena pukulan Anton yang secara gusar memberontak orang-orang yang menahannya.
“Ada kabar baik, Ra. Besok setelah perban di mataku ini dibuka, aku sudah diizinkan pulang oleh Dokter.” Suara Anton memecahkan lamunanku. Dadaku merasa sesak ketika mendengar itu. Padahal itu kabar yang sangat baik, tapi aku tau itu adalah petaka bagiku. Karena aku dan Anton tidak dapat bertemu lagi setelah ini. “Aku ngga sabar mau lihat wajahmu, Ra.” Perkataan Anton membuatku menghela napas. “Kalau kamu sembuh, kita tidak akan bisa bertemu lagi ya Ton?” kataku sedih. Anton hanya menjawab pertanyaanku dengan senyumnya, membuatku dadaku semakin sesak dan membuatku semakin menyadari bahwa aku telah mencintainya.
Keesokan harinya perban Anton sudah dibuka. Aku tidak menemuinya karena tadi kulihat Maya juga ikut mendampingi pelepasan perban di mata Anton. Aku memutuskan untuk duduk saja di bangku taman Rumah Sakit dan menenangkan hatiku. Aku terus mengenang kebersamaanku dengan Anton yang sangat singkat ini. Tanpa sadar aku mulai terisak, aku menangis karena aku sadar telah mencintai orang yang salah.
“Jangan menangis…” tiba-tiba aku tersentak oleh suara yang berasal dari Anton. Ia duduk di sebelahku. Sudah tidak ada lagi perban yang biasanya menutup matanya. Ia terlihat lebih tampan sekarang. Air mataku mengalir lebih deras setelah melihatnya. “Jangan menangis terus, nanti air matamu habis dan kau tak akan bisa melihat kunang-kunang lagi. Kau lihat? Di bawah lampu penerangan itu.” Akupun menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Anton. Seketika aku terkesiap menyadari apa yang baru saja terjadi. “Anton! Kamu bisa melihat?” teriakku sambil memegang lengan Anton. Anton hanya tersenyum dan menjawab pertanyaanku dengan anggukan kecil. Tangisku kini bercampur dengan tawa bahagia.
 Tanpa sadar aku langsung menghambur memeluk tubuh Anton yang masih terlilit perban di beberapa bagian. Anton meringis berpura-pura kesakitan. “Aduh, sakit Ra! Kamu mau aku terluka lagi?” katanya sambil terkekeh. Saking bahagianya, aku sampai lupa mengendalikan sikapku.
“Aduh!” Anton berteriak kesakitan. Kali ini mukanya menunjukkan bahwa ia benar-benar merasa sakit. Mungkin pelukanku yang terlalu erat telah memberi reaksi pada luka-lukanya yang ditutup perban. “Ton, kamu ngga apa-apa kan?” tanyaku khawatir. Anton masih merintih kesakitan sambil memegang lengannya. Jantungku langsung berdetak cepat, aku tidak mau terjadi sesuatu yang berbahaya pada Anton. Masih dengan penuh kecemasan aku mencoba menatap wajah Anton yang menunduk karena kesakitan.
Tiba-tiba saja Anton berhenti merintih dan tersenyum nakal. Ternyata kesakitannya itu hanya sandiwara saja. “Antoooon! Aku betul-betul takut kamu sakit tauuuu…” kataku sebal. Anton tertawa sambil menaruh sebelah tangannya yang bebas dari perban ke kepalaku. Ia membelai lembut rambutku lalu tangannya turun melingkari pundakku. Dengan tatapannya yang hangat ia berkata lembut kepadaku. “Kamu ternyata cantik sekali Lyra. Mirip sekali dengan adikku, sayangnya aku tak dapat melihat lagi kecantikan adikku. Aku tak dapat mendengar lagi tawa riangnya. Seperti yang kamu bilang, Ra. Gina pasti sudah bahagia di surga sana.” Anton tertunduk menahan tangisnya.
Aku yang hanya terdiam entah mengapa tiba-tiba merasa sesak mendengar kalimat Anton. “Saat aku tau kenyataan bahwa adikku meninggal aku sangat merasa bersalah Ra, aku bahkan merasa lebih baik aku buta saja sebagai hukuman dari Tuhan karena aku telah membawa celaka adikku.” Anton menghela nafas panjang. “Namun saat aku mulai putus asa kamu hadir Ra, terima kasih atas kesabaranmu dalam merawat dan mendoakanku selama aku sakit.”
Anton mengubah posisi duduknya menghadapku. Aku segera saja merasa tegang karena tatapan Anton yang begitu mendebarkan hatiku. Perlahan Anton Mengangkat tangannya yang bebas dari perban, ia menarik tubuhku dalam dekapannya. Sambil memelukku, suara Anton semakin lama terdengar semakin lirih. “Terima kasih, Lyra. Kamu teman yang baik” Anton meregangkan pelukannya. Rasanya ada hentakan hebat yang memukul dadaku ketika mendengar kalimat terakhir Anton. Seperti ada ribuan pisau yang menusuk hatiku saat ini bahkan tubuhku menolak untuk melepas pelukannya. Anton, pria yang baru saja kucintai itu hanya menganggapku sebagai temannya.
Anton menatap mataku lekat-lekat, aku menangkap ada rasa terima kasih yang sangat besar di matanya Tak lama ada sebulir air mata yang kembali mengalir di pelupuk mataku. Aku menangis. Anton yang tak tega melihatku, turut merasakan kesedihanku, ia ikut menangis. Di taman rumah sakit tempat kami pertama kali bertemu ini, kami sama-sama menangis. Anton menghapus air mataku dengan jemarinya yang hangat.
“Jangan menangis lagi Lyra, kita pasti akan bertemu lagi. Ini bukan pertemuan terakhir bukan? Kabarilah jika kamu libur, aku akan mengundangmu untuk sekedar makan malam di rumahku. Anton mencoba mengiburku yang masih saja menangis. “Bukan, bukan itu yang aku tangisi. Aku menangis karena aku mencintaimu. Aku tak rela melepasmu pergi dariku.” Aku berteriak dalam hati. Aku tak mampu mengatakannya langsung kepada Anton. Bagaimana mungkin aku mengatakan hal itu di saat Anton sudah harus pergi dari sisiku. Terlebih lagi, Anton hanya menganggapku temannya, atau mungkin pengganti adiknya.
Aku hanya bisa menangis dalam pelukannya. Sampai tiba-tiba sayup-sayup kudengar teriakan seorang gadis kecil. “Papa… Papaaa… Ma, itu Papa disana! Ayo kita kesana jemput Papa!” dari kejauhan kulihat seorang gadis kecil berlari sambil menggandeng tangan ibunya. Secara bersamaan, aku dan Anton sama-sama melepas pelukan kami. Dengan tergesa-gesa aku segera menghapus air mataku. Sambil memaksakan untuk tersenyum akupun membalikkan badanku dan ikut menyambut keluarga kecil Anton.
Anton segera berjalan menghampiri keluarganya, sambil berjongkok iapun merangkul erat putri kecilnya itu. Dengan langkah yang berat akupun ikut menghampiri mereka. “Suster, terima kasih karena telah merawat suami saya.” Wanita cantik itu berkata dengan penuh ketulusan kepadaku, tanpa ia tau, aku sangat mencintai suaminya.”Maaf Suster, saya jarang datang karena sibuk merawat anak kami yang sedang sakit. Sekali lagi terima kasih karena suster telah membantu merawat suamiku dengan baik.” Antonpun menolehkan wajahnya menghadapku. “Suster Lyra, terima kasih. Saya izin pamit pulang dulu.” Suara Anton sungguh berbeda dari yang terakhir kudengar. Tidak terpancar kesedihan dari raut mukanya saat menjabat tanganku. Aku berusaha untuk tidak menangis, walaupun air mata sudah mendesakku untuk menumpahkannya. “Sama-sama, Pak Anton”, jawabku kepadanya. Akhirnya dengan susah payah aku berhasil mengucapkan kalimat itu tanpa perlu menangis.
Aku menjabat tangan Anton dan Istrinya, lalu mereka berbalik membelakangiku. Kulihat mereka bahagia berjalan keluar ke arah gerbang Rumah Sakit. Anton menoleh memandangku, aku mencoba sekuat tenaga untuk melambaikan tanganku kepadanya. Setelah punggung Anton sudah tak tertangkap lagi oleh mataku, aku terduduk lunglai di bangku taman Rumah Sakit. Aku terisak, menangis sendiri di bawah kelamnya malam yang tidak sekelam hatiku saat ini. Napasku masih tercekat. Sambil mengadahkan wajahku ke atas aku memandang kunang-kunang yang terbang menari seolah berusaha menghiburku. Dan sembari membekap luka ini sambil menahan perih, aku berdoa pada Tuhan agar mempertemukanku kembali pada jodohku, yang tidak beristri.


Cinta Dalam Diam

“...Gue ngga akan menyesal Cha, karena gue ngga mencintai lo dalam diam.” Kalimat yang sudah bertahun-tahun kudengar itu kembali terngiang di telingaku. Memecah konsentrasiku pada pekerjaan baruku ini.
 Chrys, tolong agak miring ke kanan sedikit badannya.” Aku mencoba mengarahkan gaya pria yang berdiri tegap beberapa langkah di depanku ini. Pria itu tersenyum manis kepadaku. Dia memiringkan badannya sedikit ke arah kanan sampai menyentuh lengan gadis yang berdiri persis di sampingnya. Gadis itu mendongakkan kepalanya untuk bisa melihat wajah pria itu. Mereka tersenyum saling berpandangan mesra. Aku menelan ludah melihat kemesraan yang mereka ciptakan.
“Oke, lihat ke arah kamera ya. Satu, dua, tiga. Cheers!”
*****
Dua setengah tahun sebelumnya…
“Seriusan lo tolak, Cha?”
“Iya serius, kenapa emangnya? Ngga harus diterima jugakan kalo emang ngga ada rasa?”
“Ah, parah sih lo Cha. Padahal dia perfect banget loh. Lo sih trauma lama masih aja dibawa-bawa.”
Trauma? Aku hanya tersenyum untuk membalas ucapan Mala, sahabat terdekatku di kampus. Dialah Diary berjalan yang selama ini selalu menjadi tempat aku menumpahkan semua cerita-ceritaku, khususnya tentang cinta. Dan dari seluruh cerita yang aku sampaikan, hanya satu kata yang menjadi kesimpulannya tentangku: trauma. Aku tak bisa langsung mengiyakan kesimpulannya itu. Karena aku tidak pernah menutup diri dari lelaki manapun, aku punya banyak teman laki-laki kok. Hanya saja aku sudah malas untuk jatuh cinta lagi. Ya, malas. Mungkin kata itu yang lebih tepat disematkan untukku. Aku malas harus menyesuaikan diri lagi dengan laki-laki yang menjadi pasanganku, aku malas harus membatasi diri lagi dengan teman-teman priaku, dan yang paling jadi alasan adalah aku malas menghadapi kegagalan lagi.
Kegagalan yang kemarin masih saja menjadi benteng yang harus dihadapi laki-laki yang mau mendekatiku. Jadi wajar saja, sulit untuk mereka masuk dalam ceritaku yang baru. Ceritaku yang lama terlampau memakan banyak waktuku. Empat tahun bukan waktu yang sebentar dalam mempertahankan suatu hubungan. Halaman demi halaman aku tulis, bersama dia, masa laluku. Sekian lama harusnya kisah ini cukup dimengertinya. Atau aku mestinya cukup untuk dia pahami. Namun cinta tak pernah sesederhana bayanganku. Pahit, iya. Empat tahun sudah aku lewati bersama dia, tapi dia tetap tidak mengerti bahwa tidak ada harapan yang dapat aku pertahankan dalam jarak sejauh itu. Janji-janji dan rencana mengenai pertunangan kami setelah kuliahku selesai sekarang hanya tersisa menjadi luka. Aku kalah melawan waktu dan jarak yang memisahkan kami. Aku putuskan begitu saja hubungan cinta kami secara sepihak karena kini cintanya hanya tinggal bayang-bayang saja dalam hatiku. Aku tau hatiku kini sudah kosong tanpa penghuni. Aku ingin sendiri.
Dalam kesendirian, aku seperti mati rasa. Dua tiga lelaki mencoba mendekati dan masuk ke dalam hati tapi tetap pintu hati ini ini tidak terbuka, bergeming saja tidak. Apa mungkin benar kata Mala kalau aku trauma? Entahlah.
Sekarang sudah bukan saatnya bagiku untuk memikirkan soal cinta. Aku masih punya tugas dan mimpi-mimpi yang belum terlaksana. Ah iya! Tugas! Aku lupa membawa tugasku untuk mata kuliah Pengantar Bisnis! Sudah seminggu yang lalu Dosen memberikan tugas pribadi kepadaku sebagai pengganti absensiku saat membolos dua kali pertemuan dalam mata kuliahnya. “Sudah bagus dikasih kesempatan sekarang aku malah lupa membawa tugasnya, aduh gimana ini!!! Tinggal sepuluh menit lagi sampai jam mata kuliahnya dimulai!” aku menggerutu sendiri dalam hati sambil kebingungan harus berbuat apa. Ketika aku hendak mengeluarkan hand phone untuk menghubungi Mala, tiba-tiba saja aku tersentak oleh teguran seseorang.
“Cha, ngapain disini? Yuk masuk, Bu Eva sebentar lagi masuk loh.” Seseorang yang sangat kuhapal garis wajahnya ini menegurku dengan lembut.
“Jo, aduh gini Jo…” Aku cemas tidak tau harus berkata apa pada Johan, salah satu teman sekelasku ini.
“Kenapa, Cha?” Tanya Johan menatapku dengan tatapannya yang teduh.
“Hmm gini Jo, lo ingetkan gue udah dua kali absen mata kuliahnya Bu Eva? Gue dikasih kesempatan buat ganti absen gue dengan tugas Jo. Tapi sekarang gue lupa bawa tugasnya. Aduh, gimana nih ya Jo? Gue pasti kena omel deh.”
“Loh Cha! Ayo cepetan kita ambil tugas lo itu!”
“Kita?” kataku seraya menunjuk ke arah Johan dan diriku sendiri.
“Iya, kita! Nggak mungkin kan lo balik ke rumah naik angkot. Makan waktu banyak Cha! Udah mending sekarang lo gue anter ke rumah buat ambil tugas lo itu.”
“Eh tapi, nanti kita...”
“Udah Cha, ayo cepetan! Jangan buang waktu!” belum selesai aku berkata-kata, Johan sudah menarikku ke arah parkiran motor.
Dalam perjalanan aku hanya bisa memikirkan bagaimana resiko kalau kami telat. Aku ingat betul peraturan yang diberikan oleh Bu Eva, beliau hanya mengkompromi Mahasiswa yang terlambat lima menit setelah ia masuk kelas. Selebihnya, jangan harap bisa ikut mata kuliahnya pada hari itu.
“Nggak usah takut, Cha. Kita pasti bisa masuk kelas kok.” Johan membuyarkan pikiranku, seolah-olah dia bisa membaca apa yang sedang aku pikirkan.
“Gue Cuma nggak enak aja sama lo, Jo. Gara-gara gue nanti lo bisa ikutan telat juga.”
“Ya ampun, Cha. Apa sih yang ngga buat lo?” Johan tertawa sembari melajukan sepeda motornya dengan kecepatan yang lebih tinggi.
Johan, pria yang punggungnya ada di hadapanku ini memang selalu menaruh perhatiannya padaku. Sudah tiga Minggu sejak Johan menyatakan perasaannya kepadaku dan memintaku untuk menjadi kekasihnya. Aku menolaknya, tapi entah mengapa sampai sekarang Johan masih tidak mengubah sikapnya kepadaku. Seperti biasa, aku masih tetap diistimewakannya. Padahal banyak wanita-wanita cantik di kampus kami yang mengaguminya, tapi Johan tidak pernah menggubrisnya. “Cinta butuh waktu, Cha.” Itulah yang Johan katakan padaku ketika aku menanyakan alasannya kenapa ia tidak pernah mau meladeni salah satu dari wanita yang mendekatinya.
Ya, cinta butuh waktu. Hal itulah yang juga aku katakan kepada Johan ketika aku menolaknya. Saat itu aku merasa hanya butuh waktu untuk benar-benar bisa melihat Johan sebagai seseorang yang lebih dari sekedar teman. Kalau dijalani beberapa waktu lagi, mungkin aku bisa mencintainya. Kenapa tidak? Johan adalah seseorang yang pantas untuk dicintai dan dimiliki. Dia tegas, pintar, baik, dan tampan. Hampir semua kriteria yang aku inginkan untuk menjadi pacar ada dalam dirinya. Hanya saja, aku tidak merasakan cinta dalam hatiku ketika aku berada di dekatnya. Perasaan yang juga aku rasakan pada dua pria yang mencoba mendekatiku setelah aku putus cinta. Sejak memutuskan untuk berpisah dengan Yansen, aku memang tidak pernah lagi merasakan debar-debar cinta yang menyenangkan seperti dulu.
“Cha, udah sampai. Buruan ambil tugas lo terus kita ngebut ke kampus”
“Oke” kataku tanpa pikir panjang.
Sesampainya di kampus, betul saja kami telat. Tapi berkat bujukan dan predikat Johan sebagai anak kesayangan Bu Eva, kami berhasil masuk mengikuti mata kuliah Pengantar Bisnis pada hari itu. Ini sudah ke sekian kalinya Johan menyelamatkan absensiku di kelas. Sebetulnya aku bukan termasuk Mahasiswi yang malas masuk kelas. Hanya saja kesibukanku dalam organisasi BEM akhir-akhir ini banyak mengharuskanku untuk meninggalkan kelas untuk sementara. Sebuah Festival musik yang dipercayakan untuk aku ketuai tinggal menghitung hari dan banyak persiapan yang harus aku lakukan untuk kesuksesan acara itu.
******
Hari yang aku tunggu akhirnya tiba, Festival Musik di kampusku akhirnya terlaksana. Aku juga mengundang semua teman-teman dekatku di kampus untuk ikut menghadiri Festival itu dari awal hingga akhir acara. Aku ingin mereka melihat hasil bolosku selama beberapa pekan terakhir ini. Johan juga ada disana, membawa kamera yang menggantung di lehernya. Aku tersenyum padanya, ia langsung memotretku. Di pertengahan acara, Johan memanggilku ke sebuah stand yang menjual berbagai jenis minuman segar. Kami duduk disana sambil menyeruput es buah di kedua tangan kami.
“Gimana Jo acara ini? Seru kan” tanyaku sambil membuka percakapan kami.
“Seru, Cha. Lo berhasil” senyum Johan merekah. Manis sekali. Tapi entah mengapa, sampai saat ini senyum Johan masih tidak menimbulkan reaksi apapun dalam diriku. Padahal, aku sudah berusaha untuk mencintainya.
“Cha, sampai saat ini masih Cuma lo yang ada di pikiran gue.” Johan berkata lembut, sambil menatapku. Ah, otakku langsung berpikir kemana muara arah pembicaraan ini.
“Apa nggak bisa lo coba untuk menerima gue?”,
“Nah kan! Betul tebakanku”, pikirku dalam hati.
“Cha…” Johan kembali menyebut namaku untuk meminta jawaban.
Aku memalingkan wajahku dari tatapan mata Johan yang memelas. Tepat di saat aku memalingkan wajah, aku menangkap sepasang mata sedang melihat ke arahku tajam. Seorang pria dengan setelan kaos dan blue jeans yang berdiri di antara kerumunan orang-orang itu menatap aku dengan cara yang aneh. Darahku berdesir. Apa ini?
            “Cha, jawab Chaa…” suara Johan membuatku otomatis berpaling lagi ke arahnya.
Aku masih terdiam, aku masih memikirkan perasaan aneh yang tiba-tiba merangsuk masuk ke dalam diriku. Reaksi aneh yang membuat degup jantungku berdetak lebih cepat. Aku pernah merasakan ini, terakhir aku merasakan ini ketika Yansen menggenggam erat tanganku di Airport saat ia hendak pergi ke Jerman, untuk melanjutkan kuliahnya. Saat itu aku masih mencintainya. Cinta? Apa reaksi barusan timbul karena aku mulai mencintai Johan? Aku mulai bertanya-tanya dengan pikiranku sendiri. Tidak! Aku yakin betul aku merasakan reaksi ini ketika aku memalingkan wajahku dari Johan. Iya, aku sempat menahan napas tepat ketika aku menangkap sepasang mata dari pria yang menatapku tadi. Tapi, siapa pria itu?
            “Cha, jadi bagaimana” Tanya Johan untuk ketiga kalinya
Aku membalas pertanyaan Johan dengan senyuman, aku tau betul isi hatiku, aku tidak mencintainya.
            “Jo, sekali lagi. Maaf.” Aku kembali tersenyum sebelum melanjutkan kata-kataku. “Gue nggak bisa nerima lo, lo teman yang baik buat gue.”
Johan terdiam mendengar ucapanku. Terlihat jelas kekecawaan dalam raut mukanya.
            “Kali ini, apa alasan lo nolak gue masih sama dengan sebelumnya Cha?”,
            “…”
            “Cha, lo perlu tau, sebetulnya gue nggak bisa terima alasan lo yang bilang cinta itu butuh waktu. Jujur Cha, percaya atau nggak, gue suka sama lo sejak pertama gue melihat lo perkenalin diri di kelas. Sejak saat itu gue selalu melihat lo, Cha. Tapi mungkin lo yang sampai sekarang nggak bisa melihat gue dengan cara yang sama.”
            Aku kembali tersenyum mendengar penjelasan Johan. “Jo, terima kasih. Lo teman yang baik.”
Johan hanya menunduk lesu, lalu ia mendongakkan kembali kepalanya dan menatapku “Ngga apa-apa Cha. Setidaknya gue bersyukur bisa mengungkapkan semuanya ke lo. Gue ngga akan menyesal Cha, karena gue ngga mencintai lo dalam diam.”
Aku hanya tersenyum, terpesona dengan ketegaran hati Johan. Penampilan Guest Star dalam Festival Musik ini akan segera dimulai, aku dengan sigap menarik Johan untuk segera pindah ke dekat panggung.
“Ayo Jo kita kesana biar lebih kelihatan!”, kataku berusaha memecah kebekuan di antara kami.
“Nggak, Cha. Lo aja. Gue masih mau disini,” Johan berkata dengan tatapan lesu. Ada perasaan bersalah yang menikam hatiku saat melihat Johan.
“Ya sudah, gue ke sana duluan ya! Nanti nyusul ya Jo!”
Johan hanya mengangkat jempolnya dan tersenyum ke arahku.
Aku berlari ke tengah kerumunan orang banyak yang asik terbawa alunan lagu yang dimainkan oleh bintang tamu kami. Aku berusaha menyelinap di antara kerumunan orang banyak untuk bisa menuju ke tenda di dekat panggung tempat panitia berkumpul.
Dengan susah payah akhirnya aku berhasil masuk ke tenda panitia. Di sana teman-temanku sedang berkumpul dan beberapa di antara mereka sibuk mengerjakan tugas yang menjadi bagian mereka.
Di tenda panitia aku melihat beberapa orang yang tidak aku kenal sedang bersantai berbincang dengan rekan-rekan panitiaku. Mataku langsung menangkap sosok pria jangkung yang tadi menatapku ketika aku sedang bersama Johan. Pria itu sedang berbicara dengan temanku yang juga merupakan panitia dalam acara ini.
“Cha, kemana aja dari tadi” Mala menepuk bahuku.
            “Eh, lo Mal. Tadi gue ngobrol sama Johan sebentar di sana,” kataku sambil menunjuk ke arah stand penjualan minuman. Aku lihat Johan masih duduk di sana ditemani dengan beberapa teman-teman sekelasku.
            “Johan nembak lo lagi ya Cha?” Tanya Mala sambil tersenyum menggodaku.
            “Iya Mal, dan lagi-lagi, gue nolak dia.”
            “Ah lo Cha! Apa sih kurangnya Johan Cha, gue yakin lo sebenernya juga sukalah sama dia, Cuma lo takut aja ngejalanin cinta yang baru lagi. Move on Cha! Move on! Udah nggak zamannya masa lalu ngiket kita!”
Aku hanya tersenyum geli melihat antusias Mala dalam mengucapkan kalimat barusan. Apa sahabatku ini masih nggak percaya kalau aku sudah berusaha membuka hatiku untuk Johan? Yaa sudahlah, aku saat ini tidak ingin membicarakan itu dengan Mala. Ada yang lebih menarik perhatianku hari ini.
            “Mal, itu mereka siapa ya yang lagi ngobrol sama Cliff?” tanyaku sambil mengarahkan pandangan ke arah kumpulan beberapa orang yang tidak kukenal itu.
            “Kok mereka bisa masuk ke tenda panitia? Kan udah gue bilang, selain panitia nggak ada yang boleh masuk ke sini.”
            “Oh itu Cha. Ya ampun, masa lo nggak tau Cha. Mereka itu anggota BEM Kampus kita juga Cha, tapi dari Kampus Cabang kita yang di Bekasi. Mereka diutus petinggi kampus untuk bantuin acara kita disini. Otomatis mereka panitia juga kan”
            “Oh gitu…”
            “Oia Cha, dari tadi kita nyariin lo, kita butuh password buat buka akun email kepanitiaan kita, Cuma lo kan yang tau passwordnya?”, Tanya Mala dengan sedikit tergesa-gesa.
            “Oh, itu gue catet kok di buku catetan gue,” aku merogoh kantongku dan tas kecil yang aku pakai untuk mencari buku catatanku. Tidak ada. Aku mulai panik dan membongkar seluruh isi tasku.
 “Gawat, buku catetan gue ilang Mal! Kayaknya jatoh deh pas tadi gue desak-desakan di kerumunan orang-orang”
“Ya ampun Cha, itukan penting banget. Terus gimana dong, pihak sponsor minta maksimal lusa kita sudah harus balas email dari mereka.” Mala mulai ikut merasakan kepanikanku.
“Iya Mal gue tau. Oke oke, gue cari dulu ya di tengah-tengah sana, siapa tau ketemu.” Kataku berusaha menenangkan Mala.
Sudah hampir seluruh tempat aku selusuri tapi sepertinya buku catatanku betul-betul hilang. Ini bisa gawat, semua hal-hal penting aku catat di dalam buku itu. Aku memang tipikal orang yang pelupa, jadi hal-hal yang memang penting selalu aku catat dalam buku catatan yang selalu aku bawa kemanapun aku pergi. Tapi sekarang buku itu hilang!
            “Icha?” suara berat seorang pria memaksaku untuk menoleh ke arahnya. Pria yang tadi menatapku.
            “Saya?” tanyaku heran. “Darimana orang ini tau namaku?” tanyaku dalam hati.
            “Nyari ini ya?” pria itu menyodorkan buku kecil bergambar Hello Kitty. Buku catatanku!
            “Ah iya! Itu buku catatan gue! Makasih ya!” aku segera mengambil buku catatanku dari tangan pria itu. Aku kembali menahan nafas ketika tanganku menyentuh jari-jari pria itu. “Aduh, perasaan apa ini!” gerutuku dalam hati.
            “Oh iya, kok lo bisa tau nama gue ya” tanyaku pada pria itu.
            “Itu, di name tag lo ada namanya.” kata pria itu menunjuk ke arah name tag yang aku kalungkan di leher.
Aku tesipu malu. Entah kenapa tatapan dari pria ini sungguh membuat aku merasa senang dan… nyaman. Apa-apaan ini, aku bukan orang yang percaya cinta pada pandangan pertama. Aku juga selalu percaya bahwa untuk mencintai seseorang kita memerlukan waktu yang tidak sebentar.
“Ah iya, makasih banget ya, oia…”
“Cha! Ketemu nggak bukunya?” Mala memanggilku dari kejauhan. Belum sempat aku menanyakan namanya, pria itu sudah permisi untuk pergi.
*****
Aku memperhatikan gadis itu, senyumnya, lekukan wajahnya, tatapan matanya. Ah, gadis itu indah. Sayang sekali tatapan mata dan senyumannya tidak ditujukan kepadaku. Gadis itu tersenyum pada pria tampan yang duduk di hadapannya. Kalau boleh kutebak, mungkin pria itu adalah pacarnya. Apa ya yang mereka bicarakan? Kalau kulihat dari raut wajah pria yang terus berbicara itu sepertinya pembicaraan mereka adalah sesuatu yang serius. Entahlah, itu bukan urusanku. Aku jauh-jauh datang ke sini hanya untuk membantu dan mengapresiasi kerja keras rekan-rekanku dalam menyelenggarakan acara ini. Tapi ternyata Tuhan memberikan kesempatan kepadaku untuk melihat sosok cantik itu. Astaga, aku harus bisa mengendalikan diriku. Gadis itu sudah mencuri perhatianku! Aku sudah berusaha mengendalikan diri, tapi tetap saja mata ini tidak mau beralih dari gadis itu, tepat ketika aku mau memalingkan wajahku, gadis itu menoleh ke arahku. Pandangan mata kami bertabrakan. Aku merasakan getaran-getaran yang menyenangkan dalam hatiku. Getaran yang pernah aku rasakan beberapa bulan yang lalu saat aku jatuh cinta dengan Grace. Jatuh cinta? Mustahil getaran ini adalah cinta! Baru saja aku dikecewakan oleh cinta, masakan aku bisa merasakan cinta lagi dalam waktu secepat ini. Lagipula siapa gadis itu? Aku saja tidak kenal dengannya.
Gadis itu beranjak pergi dari tempat duduknya, sebelum pergi ia tersenyum kepada pria yang sedari tadi berbicara dengannya. Tanpa disadari aku juga melangkah dari tempatku berdiri. Dengan sendirinya kakiku bergerak mengikuti arah gadis itu pergi, tak jauh dari tempatku semula, gadis itu menjatuhkan sebuah buku kecil. Aku memungut buku itu, buku kecil bergambar Hello Kitty. Sepertinya gadis itu tidak sadar sudah menjatuhkan buku ini. Aku tersenyum geli memikirkan buku yang lebih cocok untuk adikku yang masih SD ini ternyata dimiliki oleh seorang gadis cantik yang sepertinya seumuran denganku. Mataku menyapu kerumunan orang banyak. “Kemana gadis itu pergi?” tanyaku lebih kepada diri sendiri. Karena tidak berhasil menemukan gadis itu, akhirnya kuputuskan untuk ke tenda panitia tempat aku bisa menemukan Cliff, temanku. Di tenda panitia aku melihat gadis itu lagi. Sepertinya gadis itu salah satu panitia dalam acara in, pikirku dalam hati.
“Woi Chrys! Udah lama sampe?” suara Cliff membuyarkan pikiranku tentang gadis itu.
“Hei Cliff, ngga kok baru sampe nih gue.” Jawabku sambil menjabat tangan Cliff.
“Cliff, sorry nih. Hmm, lo kenal nggak sama cewe yang itu? Namanya siapa ya?” tanyaku tanpa berbasa-basi.
Cliff melirik ke gadis yang merenggut perhatianku itu. Tak lama senyum Cliff mengembang penuh arti.
“Lo suka yaa? Hahaha” Cliff memainkan alis dan matanya sembari menggodaku.
“Gue kan Cuma nanya aja Cliff” aku mencoba melontarkan nada kesal kepada Cliff. Tapi sepertinya sia-sia. Temanku yang satu ini memang pandai melihat situasi.
“Ngga usah bohong Chrys, kelihatan kali kalo lo naksir. Itu Icha, dia ketua pelaksana Festival Musik ini loh.”
Aku memandang lagi ke arah gadis itu, kini dia sedang merogoh tas yang dipakainya.
“Jadi namanya Icha.” Aku bergumam dalam hati.
“Iya namanya Icha, cantik ya? Tapi jangan dideketin deh Chrys. Udah banyak yang mau jadi pacar doi tapi ditolak mulu. Kayaknya doi trauma pacaran deh.” Cliff memberikan informasi yang tidak aku minta. Dan sepertinya tanpa sadar apa yang aku gumamkan dalam hati terucap juga oleh bibirku.
Mataku terfokus kembali pada gadis itu, sekarang gadis itu membongkar seluruh isi tasnya. Astaga! Gadis itu pasti mencari bukunya. Aku harus segera mengembalikannya. Aku segera menyudahi obrolanku dengan Cliff dan berlari keluar tenda karena gadis itu sudah tidak ada lagi disini. Aku mencari-cari gadis itu tapi mataku kehilangan sosok indah itu. Aku menjinjitkan kakiku untuk bisa melihat gadis itu di tengah keramaian ini. Aha! Itu dia! Aku berlari kecil menghampiri gadis yang terlihat cemas itu.
“Icha?” suaraku agak tercekat ketika memanggil nama gadis itu. Lantas gadis itu tersentak dan menoleh kepadaku.
            “Saya?” gadis itu bertanya dengan wajah heran. Gadis itu pasti bingung bagaimana aku bisa mengetahui namanya.
            “Nyari ini ya?” aku menyodorkan buku kecil bergambar Hello Kitty yang tadi dijatuhkannya.
            “Ah iya! Itu buku catatan gue! Makasih ya!” gadis itu segera mengambil buku catatannya dari tanganku dengan senyum yang terhias indah di wajahnya. Darahku berdesir. Aku bahkan sempat menahan nafas ketika tangannya tak sengaja menyentuh jari-jemariku. “Aduh, perasaan apa ini!” aku mendesah dalam hati.
            “Oh iya, kok lo bisa tau nama gue ya” gadis itu bertanya kepadaku, aku baru sadar gadis ini memiliki suara yang riang dan menyenangkan. Dan aku, aku suka mendengar suaranya.
            “Itu, di name tag lo ada namanya.” Kataku sembari menunjuk ke arah name tag yang ia kenakan. Aku terpaksa berbohong. Aku tidak mungkin bilang bahwa aku menanyakan namanya pada temanku karena dari awal gadis itu sudah merenggut perhatianku. Tidak mungkin. Mana ada orang yang percaya cinta pada pandangan pertama di zaman sekarang ini. Akupun bukan orang yang percaya akan hal itu. Walaupun sepertinya sebentar lagi aku akan mempercayainya, karena gadis itu sudah membuatku jatuh cinta di awal pandangan mata kami bertemu.
*****
            Di malam selesainya acara konser yang kutangani tersebut aku mendapat ucapan selamat dari nomor yang tak kukenal. Ternyata itu nomor Chrys, pria yang sempat membuat hatiku tersentak oleh tatapannya. Entah karena apa dan bagaimana, kami akhirnya jadi sering bahkan rutin berbalas-balasan pesan singkat. Bahkan tak jarang Chrys meneleponku selama berjam-jam hanya untuk mengobrolkan sesuatu yang mungkin tidak terlalu penting. Ya, kami cocok dalam banyak hal.
            Tak terasa sudah hampir lima bulan kami rutin berkomunikasi, aku seperti merasakan kembali perasaan yang dulu sempat kurasakan saat berpacaran dengan Yansen. Aku rasa aku mulai mencintai Chrys. Tidak! Aku yakin, aku memang mencintainya. Hanya saja hubungan yang ada di antara kami lebih tepat jika disebut sebagai persahabatan. Tak pernah ada kata cinta terucap dari masing-masing bibir kami. Aku sebagai wanita tentu hanya bisa menunggu Chrys yang mengatakan itu terlebih dahulu. Meski aku merasa yakin Chrys juga merasakan hal yang sama terhadapku tapi tetap saja, aku hanya bisa mencintainya dalam diam.
            Drrrd drrrrrd... Handphoneku yang kupegang bergetar menerima pesan singkat.
Received: Today, 07:45 AM
From: Chrys
Cha jadikan hari ini lo hunting foto? Oia sekalian ya gue mau ajak seseorang yang spesial buat gue kenalin ke lo. Ketemu di taman biasa ya, Cha! Jam 10 on time... See you J
“Seseorang? Spesial?” aku menggumamkan pikiranku. “Ah, paling adiknya yang suka fotografi juga.” Aku langsung berpikir cepat dan tersenyum sendiri karena Chrys mau mengajak adiknya untuk berkenalan denganku. Tiga bulan yang lalu aku mulai menyukai dunia fotografi dan tak terasa aku mulai menekuninya bukan hanya sebagai hobi di luar kegiatan kuliahku. Chrys tau itu, dan tak jarang ia menemaniku untuk mengambil gambar di tempat-tempat yang rupawan.
***
            Aku menghempaskan handphoneku dari genggaman. Sebetulnya aku tak menyangka hari ini akan terjadi. Bahkan aku masih mengingat jelas kejadian semalam saat Grace datang ke rumahku sambil menangis mengungkapkan perasaannya. Ini sudah kesekian kalinya Grace memintaku kembali padanya. Aku tau betul, ia mengorbankan segala keangkuhannya sebagai wanita sehingga ia mau menyatakan terlebih dahulu perasaannya itu. Tapi entahlah, sampai tadi malam bahkan sampai saat ini aku masih saja tak bisa melepas bayang Icha, gadis periang yang selama lima bulan ini berada di dekatku.
            Sudah lima bulan kami intens berkomunikasi, tapi aku tak tahu mengapa. Aku tak memiliki keberanian untuk mengungkapkan langsung perasaanku. Aku masih teringat perkatan Cliff saat pertama kali aku melihat Icha. Gadis itu masih trauma dengan masa lalunya. Bahkan mungkin gadis itu belum bisa melupakan cinta pertamanya. Aku masih saja mempertanyakan hal itu pada diriku sendiri tanpa berani bertanya langsung pada Icha. Meski lima bulan ini kami terbilang lebih dekat dari seorang sahabat. Topik pembicaraan kami tak pernah menyentuh kata cinta. Entah hanya karena perasaanku saja atau memang begitu kenyataannya, tapi tiap kali aku mengarahkan topik pembicaraan ke arah yang lebih sensitif, Icha selalu mengalihkan pembicaraan kami ke arah lain.
            Selalu begitu. Seharusnya selama lima bulan ini Icha tau persis bagaimana perasaanku kepadanya melalui perhatian dan segala macam sikapku. Tapi kenapa gadis itu tetap tak bergeming? Apa mungkin aku hanya dianggapnya sebagai pria-pria lain yang mengaguminya? Ah! Pikiran itu sungguh menggangguku. Hingga semalam akhirnya dengan nekat dan penuh kebohongan, aku menerima Grace sebagai pacarku lagi. Kupikir untuk dapat melupakan Icha aku harus beralih pada gadis lainnya.
            Akupun bersiap menuju kamar mandi dan segera berganti pakaian. Sebelum ke taman nanti, aku harus menjemput Grace. Aku harus segera berlomba dengan waktu.
***
“Cha, maaf gue telat.” Suara Chrys yang agak parau membuyarkan lamunanku. Aku yang sedang duduk di taman sembari membersihkan lensa kameraku dari debu segera menoleh ke arahnya. Di samping Chrys berdiri seorang gadis cantik yang menggandeng tangan Chrys. “Bukankah adik Chrys masih SMP, kenapa dewasa sekali tampilannya.” Pikirku dalam hati.
            Aku segera berdiri menyambut mereka. Baru saja aku hendak mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan gadis itu. Tiba-tiba Chrys mengucapkan kalimat yang menusuk hatiku, membunuh semua perasaanku. “Kenalin Cha, ini Grace, pacar gue.” Chrys memperkenalkan gadis di sampingnya itu. Entah bagaimana perasaanku, yang aku tau aku hampir pingsan saat mendengarnya. Aku memaksakan senyum dan menahan sebisa mungkin agar air mataku tidak turun mengalir di depan mereka. “Icha” kataku singkat sambil bersalaman dengan gadis itu.
            “Jadi gimana Cha, hari ini mau hunting foto dimana?” suara Chrys yang agak kaku membuatku tersadar kembali dengan kenyataan yang ada. “Ehm.. sorry Chrys, kayaknya hari ini gue ngga enak badan.” Dengan salah tingkah aku mulai berbohong. “Sorry banget Chrys. Gue balik duluan ya!” aku segera berlari meninggalkan mereka. Mungkin mereka bingung melihat sikapku yang aneh. Biar saja. Biar saja mereka bingung memikirkanku. Yang penting aku bisa segera lari dari hadapan mereka berdua.
            Sesampainya di rumah aku langsung menangis. Entah menangisi apa. Mungkin menangisi kebodohanku. Mungkin juga menangisi hubungan mereka. Bagaimana mungkin Chrys menganggap hubungan kami selama ini tanpa sesuatu yang spesial. Bagaimana mungkin aku dan Chrys tidak dapat melanjutkan hubungan kami ke suatu hubungan yang lebih istimewa? Apa ini karena salahku yang tidak mengungkapkan perasaanku secara langsung kepada Chrys? Apa ini semua salahku, karena hanya mencintai dalam diam?
            “...Gue ngga akan menyesal Cha, karena gue ngga mencintai lo dalam diam.” Kalimat yang pernah Johan katakan kepadaku tiba-tiba saja terdengar jelas di telingaku. Dan mungkin kalimat itu akan terus terngiang-ngiang di telingaku. Entah sampai kapan.