Selasa, 21 Januari 2014

Harta dari Masa Lalu



Aku duduk di depan laptop kesayanganku. Sesekali aku menyeruput kopi panas yang kini telah dingin. “Ini sudah gelas ketiga tapi aku belum menyelesaikan tulisanku.” Selorohku dalam hati. Ini masih terlalu pagi untuk seseorang beranjak dari tempat tidur. Tapi tidak untukku, karena semalaman ini aku sama sekali tidak memejamkan mata untuk mengistirahatkan tubuhku. Aku melihat jam dinding yang terletak di samping tempat tidur. “Masih jam tiga, terlalu pagi untuk membuat sarapan.” Pikirku dalam hati.
Aku kembali berkutat dengan tulisanku. Pihak penerbit sudah cerewet meminta naskah novelku yang berikutnya untuk segera diserahkan. Ini adalah novel kelimaku, terhitung setelah aku serius dengan dunia tulis menulis, mungkin sudah hampir sepuluh tahun lamanya. Aku kembali mencari inspirasi untuk bisa membuat sesuatu yang baru dalam cerita di tulisanku. Tiba-tiba saja aku terbayang pada sosok lelaki remaja yang akhir-akhir ini sering kutemui, baru membayangkan wajahnya saja sudah membuat hatiku terasa hangat dan aku merasa bisa melakukan apapun yang terlihat mustahil. Ya, aku rasa aku bisa melakukan apapun asalkan aku bisa melihat inspirasiku itu dengan mata kepalaku sendiri. Akhirnya dengan lancar aku memainkan jari jemariku di atas laptop.
“Sayang, kamu belum membuatkan sarapan untukku?”
Aku menoleh ke belakang, terlihat seorang laki-laki yang tengah bercermin membetulkan dasi di kemejanya. Dia terlihat rapi dan tampan, sepertinya orang ini siap untuk berangkat bekerja.
“Belum Mas, maafkan aku, aku terlalu asik mengerjakan tulisanku sampai lupa waktu. Aku buatkan sekarang ya, Mas.” Aku beranjak dari kursi tempat aku semalaman duduk di sana berkutat dengan tulisanku. Aku menghampiri laki-laki itu dan membantu membetulkan dasinya. Dia tersenyum manis dan membelai lembut rambutku, mengecup keningku dan  menjatuhkan kecupannya di bibirku.
“Aku nanti pulang lebih awal, aku harap saat aku pulang aku bisa melihatmu membukakan pintu untukku.”
Aku langsung teringat bahwa malam ini aku sudah membuat janji dengan seseorang, seseorang yang sangat penting bagiku.
               “Maaf Mas, aku malam ini ada janji dengan seseorang yang ingin tulisannya dikomentari olehku.”
               “Haruskah malam ini? Aku sengaja menukar jadwal praktikku dengan Dokter Revo agar aku bisa pulang lebih awal malam ini.”
“Sekali lagi maaf Mas, ini janji yang betul-betul penting. Aku sudah membuat janji ini seminggu yang lalu, jika aku batalkan pasti orang yang akan kutemui itu akan kecewa.”
“Kalau aku boleh tau, siapa yang akan kau temui itu?”
Aku terdiam mendengar pertanyaan dari Mas Arya, suamiku.
               “Hanya penggemar dari novel-novelku.”
               “Kau yakin dia hanya peggemarmu?”
Aku memicingkan mataku menatap tajam ke arah Mas Arya.
               “Kau mencurigaiku?”
               “Aku bukan mencurigaimu, Sayang.” Mas Arya berkata dengan suara yang lebih lembut. Sambil memakan roti yang kubuatkan untuknya dia kembali melanjutkan perkataannnya.
               “Aku hanya heran dengan tingkahmu yang lebih sering keluar rumah akhir-akhir ini. Dan lagi aku sempat mendengar dari tetangga bahwa kau pulang diantar oleh seorang remaja laki-laki berseragam SMA dan itu bukan hanya sekali dua kali.”
Mas Arya membetulkan posisi duduknya untuk bisa melihat ke arahku.
           "Tapi aku percaya dia hanya penggemarmu.” Mas Arya kembali tersenyum sambil membelai rambutku. “Penggemar yang membuatmu melupakan alasanku untuk pulang lebih awal malam ini.” Aku tak langsung menjawab, terpaku beberapa saat dan menemukan bola mata Mas Arya benar-benar menyorot tajam mataku.
Aku terkesiap, “Tanggal 23! Dan ini bulan Oktober! Aku lupa kalau ini adalah hari jadi pernikahan kami!” Aku masih terdiam, tidak tau harus memberi tanggapan apa atas ucapan Mas Arya.
               “Mungkin kamu terlalu sibuk sampai lupa hari jadi pernikahan kita, Sayang.” Mas Arya bangkit berdiri mengambil Jas Putih kebesarannya, baju dinas kedokteran.
Aku lantas menghampirinya, mengambil Jas dan memakaikannya pada Mas arya. Aku masih terdiam, bibirku terlalu kelu untuk mengucapkan kalimat untuk membalas ucapan Mas Arya.
               “Aku rasa kita butuh liburan, Sayang. Aku sudah persiapkan semuanya, Minggu depan kita akan berangkat ke Italy. Aku harap kamu bisa mempersiapkan diri dari sekarang dan membereskan beberapa baju secukupnya.”
               “Tapi Mas…” Aku berusaha menyela pembicaraan Mas Arya, tapi telunjuk Mas Arya sudah menempel di bibirku.
               “Tidak ada kata tapi. Aku sudah membicarakan ini dengan editormu dan dia sudah memberimu izin untuk berlibur.”
               “Bukan itu Mas masalahnya…”
               “Cukup Dyla, tidak ada masalah di sini. Kita hanya berlibur. Dan aku yakin kamu sangat memerlukan itu.”
Mas Arya memeluk erat diriku dan menatap wajahku. “Dan satu lagi, Dyla. Ibuku sudah tidak sabar ingin menimang cucu.”
Mas Arya mengecup keningku dan masuk ke mobilnya.
Aku masih berdiri di ambang pintu sampai mobil Mas Arya sudah tidak terlihat lagi di balik tikungan.
Aku menghela napas ketika masuk dan menutup pintu. “Aku tidak butuh liburan.” Kataku lebih kepada diri sendiri. Aku kembali ke meja kerjaku dan duduk di kursi kesayanganku, tempatku bisa bebas menuangkan segala perasaan dan pikiran yang selama ini mengekangku. Suasana rumah yang sunyi semakin mendukung imajinasiku untuk bekerja mencari inspirasi baru untuk tulisan-tulisanku. Rumah yang sudah sepuluh tahun aku tempati bersama Mas Arya ini memang tidak pernah terdengar ramai. Rumah ini terlihat terlalu rapi dan terdengar sunyi. Tidak pernah terdengar tangisan bayi ataupun terlihat mainan anak-anak yang berserakan di lantai rumah kami.
Tring
Blackberry Messengerku berbunyi. Aku segera mengecek chat dari siapa yang masuk.
Nino.
Senyumku langsung merekah melihat nama itu terpampang di layar BBMku.

Tante, sore ini kita jadi ketemu kan?
Aku pulang sekolah jam 3 sore. Kita ketemu di Gramedia jam 4 sore ya tan.
See you :)
 
Tanganku dengan cepat membalas Message itu.

Iya Nino, kita jadi ketemu.
Kamu hati-hati ya pulang sekolahnya :)
See you.

Pesanku terkirim. Hatiku langsung berdegup memikirkan akan bertemu lagi dengan Nino, laki-laki remaja yang selalu memenuhi pikiranku. Bukan hanya itu, aku baru sadar, berkat Nino aku jadi melupakan kegalauanku akan liburanku dengan Mas Arya ke Italy. Sebetulnya, Ninolah yang membuatku enggan berlibur ke Italy. Setiap waktu kosongku di sela-sela kesibukanku menulis hanya ingin kuisi dengan bertemu dengan Nino. Walaupun itu hanya untuk membicarakan perkembangan novelku atau sekedar memberinya saran untuk mengembangkan bakatnya dalam menulis.

***

Aku kembali melihat jam tanganku. 16.30. “Kemana Nino?” Aku mulai cemas memikirkan keberadaan anak remaja itu. Kukeluarkan telepon genggamku dan mencoba menghubunginya. Tidak ada jawaban. Hatiku mulai kalut memikirkan hal yang buruk terjadi pada Nino. Sekali lagi aku mencoba meneleponnya untuk memastikan keberadaan Nino.
               “Tante, aku disini.” Tiba-tiba saja aku tersentak kaget melihat tubuh jangkung itu berdiri di belakangku. Aku lega melihat sosok Nino ada di dekatku. Rasanya aku ingin memeluk erat dirinya dan tidak melepaskannya. Tapi aku masih memiliki akal sehat untuk menahan diri ini melakukan hal itu.
               “Maaf Tan, aku terlambat. Tadi aku mengantarkan teman perempuanku ke rumahnya.” Nino tersipu malu sambil mengucapkan kalimat itu.
               “Teman perempuan?” tanyaku pelan sambil menutupi nada penuh selidik dari pertanyaanku.
               “Iya Tan, namanya Anggi. Sebetulnya dia pacarku. Hehehe…”
Wajah Nino memerah saat menyebut nama perempuan itu, mengingatkanku pada seseorang di masa laluku.
               “Wah, sepertinya Tante akan mendengar cerita baru darimu. Ayo kita minum kopi dulu di sana sambil mendengar ceritamu.”
Aku mengajak Nino untuk duduk bersantai di Coffee Shop depan Gramedia tempat kami bertemu.

***

Nino duduk di hadapanku, dengan semangat dia menceritakan segala awal seluk beluk percintaannya. Mulai dari ia menyukai gadis bernama Anggi itu sampai Nino menyatakan perasaannya dua hari yang lalu kepada Anggi. Semua ini di luar rencana kami, awalnya kami hanya berencana untuk membicarakan proyek kecil yang sedang digeluti Nino, sebuah Novel Remaja. Tapi setelah kami selesai membicarakan tulisan Nino, dengan sendirinya Nino bercerita mengenai hubungannya itu. Memang setiap bertemu selalu saja ada yang bisa kami bicarakan di luar tulisan kami. Entah itu mengenai kehidupan sekolah Nino sebagai ABG atau perjalananku dalam menghadiri undangan-undangan menjadi pembicara dalam Workshop menulis. Dan aku, aku senang bisa membicarakan semua ini dengan Nino.
Aku memperhatikan garis wajah Nino, lesung pipi yang muncul di wajahnya ketika tersenyum, rambut hitam kecoklatan yang dibiarkan begitu saja tanpa gel rambut, dagunya yang runcing dan suara Nino yang begitu menenangkan. Semua hal itu mengingatkanku pada sosok laki-laki di masa SMA-ku, Bagas.
               “Jadi, gimana menurut Tante? Apa novelku sudah pantas untuk diterbitkan?’
Suara nino membuyarkan lamunanku.
               “Tentu Nino, tulisanmu sudah tidak diragukan lagi.”
Aku berkata sambil tersenyum manis kepada Nino. Menit-menit tertukar habis dengan hitungan jam saat aku bersama Nino. Sungguh, tidak ada hal manis lain yang lebih menjanjikan yang ingin kutukar dengan kebahagiaan ini. Kebahagiaan sederhana yang hanya dapat aku rasakan ketika melihat Nino. Kesempurnaan sebagai seorang wanita aku dapati ketika aku melihat senyum Nino merekah indah di wajahnya. Aku membiarkan puluhan pesan singkat menggetarkan handphoneku, aku juga mengabaikan panggilan yang mengganggu kebahagiaanku ini. Aku masih ingin terus menikmati kebersamaanku dengan Nino, selama apapun waktu yang tersedia akan aku jalani jika bisa bersama Nino.
Tak lama terdengar alunan melodi dari handphone Nino. Dengan cepat Nino mengangkat panggilan itu.
“Iya Ma…” Nino terlihat fokus mendengar kalimat dari si penelepon di sebrang sana.
“Oh oke Ma.” Nino menutup teleponnya,
“Maaf Tante, aku harus pulang sekarang. Mamaku minta aku untuk makan malam di rumah.” Kata Nino sembari merapikan tas sekolahnya.
“Tidak perlu minta maaf Nino, kapan-kapan kita bisa bertemu lagi kan?” kataku kepada Nino, entah ada perasaan apa yang merasuki hatiku ketika Nino hendak pergi.
“Tentu Tante! Kalau ada respon dari penerbit, aku pasti akan segera menghubungi Tante!”
“Semoga sukses, Nino.” Kataku sambil memegang pundak Nino dan membiarkan lelaki remaja itu pergi dengan motornya.

***
 Aku masuk ke dalam rumah bercat putih ini, kulihat mobil Mas arya sudah terparkir rapi di garasi rumah kami. Tubuhku terasa lelah, mungkin akibat semalam aku tidak beristirahat sama sekali. Rasanya aku ingin sesegera mungkin merebahkan tubuhku di tempat tidur dan terlelap sampai besok pagi. Aku melewati meja makan, ada beberapa makanan kesukaanku tersedia di sana. Dua gelas yang terisi anggur merah terlihat belum tersentuh sama sekali. Mataku menyapu seisi ruang tengah, mencari sosok Mas arya. Tertangkap oleh mataku jam dinding rumah kami yang menunjukkan pukul Sembilan malam. “Belum terlambat untuk jam makan malam.” Pikirku sambil mencari sosok Mas arya.
Aku melihat ke kamar kami, di sana kutemukan Mas Arya tengah tertidur pulas masih dengan baju kerjanya. Aku sedikit merasa bersalah telah membiarkan pria ini menunggu kepulanganku. Melihat Mas Arya yang tertidur pulas, aku memutuskan untuk tidak membangunkannya. Karena tubuhku terlalu lelah, akupun juga tertidur di sampingnya.

***

Sinar matahari yang masuk melalui sela-sela jendela kamar menyilaukan mataku. Aku terbangun dan mendapati jam sudah pukul sepuluh. Aku tersentak kaget dan segera bangun, di sampingku sudah tidak kudapati sosok Mas arya. “Tumben Mas Arya tidak membangunkanku.” Aku berjalan keluar kamar dan kulihat Mas Arya sedang duduk di balkon rumah kami sambil menghisap rokok di tangan kanannya. Laki-laki itu bukan seperti Mas Arya yang selama ini kukenal, aku tau betul Mas Arya benci sekali dengan rokok. Rokoklah yang menyebabkan penyakit paru-paru ayah dari Mas Arya semakin parah, hingga dua tahun yang lalu di akhir hidupnya Ayah Mas Arya sama sekali belum bisa melepaskan kecanduannya dari rokok. Hal itulah yang semakin memotivasi Mas arya untuk lebih bersungguh-sungguh lagi dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang dokter. Kesunyian ini menusuk tubuhku, aku berusaha memberanikan diri untuk duduk di samping Mas Arya, suamiku.
“Mas, kamu marah karena aku semalam pulang terlambat?”
Mas Arya tidak menjawab pertanyaanku, ia malah menghisap rokoknya dalam-dalam dan menhembuskannya ke atas.
“Mas, kalau kamu butuh waktu sendiri, aku tidak akan mengganggu. Aku hanya ingin mengucapkan maaf karena semalam telah membuatmu menunggu.” Kataku sambil beranjak berdiri.
Belum sempat aku berbalik, Mas Arya memegang tanganku. Tarikan tangannya secara tidak langsung menyuruhku untuk duduk kembali di sampingnya.
“Aku ingin bicara denganmu, Dyla.” Sambil mematikan rokoknya aku mendengar suara Mas Arya yang terdengar lebih berat dari biasanya. Di asbak terlihat puluhan puntung rokok yang sepertinya habis dihisap Mas Arya.
“Aku kemarin pergi dengan ibuku,” Mas Arya memulai pembicaraannya dengan wajah yang sangat kalut. “Aku berencana untuk membelikanmu sebuah buku sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kita.”  Mas Arya menoleh ke arahku, tatapan matanya menyentuh bola mataku yang semakin membulat.
“Dan saat aku hendak memasuki toko buku itu, aku dan Ibu melihatmu. Bukan hanya melihatmu, aku juga melihat laki-laki remaja yang bersamamu itu. Jelaskan padaku, Dyla! Siapa dia?! Tidak mungkin kamu tertawa dan tersenyum seperti itu dengan laki-laki yang hanya kamu anggap sebagai penggemarmu!”
Tubuhku kaku mendengar ucapan Mas Arya.
“Sudah sepuluh tahun aku bersamamu tapi kamu tidak pernah menunjukkan tawa dan senyum yang seperti itu kepadaku!” 
Mas Arya berusaha merapikan aturan napasnya yang memburu akibat emosinya kepadaku.
“Ibuku marah besar melihat peristiwa kemarin.” Kembali Mas Arya mencoba mengatur tarikan napasnya, “Ibu menyuruhku untuk menceraikanmu dan beliau akan menjodohkanku dengan wanita pilihannya.”
Aku tetap tak bergeming mendengar ucapan suamiku itu, entah mengapa aku sama sekali tidak takut menghadapi perceraian dengan Mas Arya.
Dengan lembut Mas Arya membelai rambutku, ia melumat bibirku dan berkata pelan sambil erat memelukku. “Tapi aku percaya padamu, Dyla. Aku sudah berjanji untuk terus bersamamu seumur hidupku. Soal anak, aku percaya Tuhan akan menganugerahkannya pada kita jika kita lebih bersatu lagi. Aku akan meyakinkan Ibu bahwa kamu tidak bersalah, semua akan kulakukan Dyla. Tapi kumohon, jangan pernah temui lagi penggemarmu itu.”
Tubuhku menegang mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Mas Arya. Aku melepaskan pelukannya dan berdiri menghadapnya.
“Lebih baik kau ceraikan aku, Mas! Ibumu benar! Kamu pantas mendapatkan wanita yang lebih baik dariku!”
Mas Arya yang kaget mendengar ucapanku yang di luar dugaannya segera mencoba menahanku.
“Dyla, apa maksudmu?!”
“Ya, ibumu benar Mas. Lebih baik kamu ceraikan aku. Aku tidak bisa memberimu keturunan selama sepuluh tahun ini! Kamu pantas Mas mendapatkan yang lebih baik dariku.”
Aku pergi meninggalkan balkon dan mengunci kamar tanpa mempedulikan Mas Arya yang berusaha menahanku.
Aku memijit-mijit keningku yang terasa sakit setelah mendengar permohonan Mas arya yang memintaku untuk tidak menemui lagi penggemarku, Nino.
Ah, Nino! Aku teringat kalau hari ini Nino akan mendapat kabar dari penerbit yang menerima novelnya atas rekomendasiku. Kulihat layar ponselku, ada dua panggilan tidak terjawab dari Nino. Baru saja aku akan meneleponnya, tiba-tiba ponselku sudah berbunyi kembali. Panggilan dari Nino.
“Halo Tante!”
Terdengar suara riang Nino di sebrang sana.
“Iya Nino, bagaimana novelmu?”
“Tante, Novelku diterima penerbit! Minggu depan aku sudah mulai meeting dengan pihak penerbit.”
Aku tersenyum merasakan kebahagiaan yang terdengar dari suara Nino.
“Tante turut senang, Nino.” Kataku tulus kepada Nino
“Terima kasih ya atas bimbingan Tante selama ini. Oia, Tante adalah orang kedua yang aku ceritakan mengenai hal ini setelah Ibuku.”
Mendengar ucapan Nino membuat sayatan dalam di hatiku. Tapi aku hanya bisa tersenyum sambil menahan air mata yang memaksa jatuh dari mataku.
“Oya? Bagaimana tanggapan Ibumu, No?” aku berusaha menutupi kepedihan yang ada di dalam hatiku.
“Ibu senang sekali Tante, Ibu tidak menyangka hobiku dalam menulis bisa menghasilkan sesuatu yang bisa menjadi pekerjaanku. Sebetulnya aku sendiri heran, dari mana aku mewarisi bakat menulis ini karena kedua orangtuaku tidak ada yang terjun dalam dunia sastra.”
Jantungku berdegup lebih kencang, seiring dengan itu air mataku jatuh mendengar suara Nino yang riang.
“Ayah juga bingung, bagaimana aku bisa memberanikan diri menyerahkan naskahku ke penerbit. Kuceritakan pada mereka semua ini berkat Tante, sejak menyukai novel-novel Tante dan berkonsultasi dengan Tante yang seorang Penulis terkenal, keberanianku mulai berkembang. Untuk itu mereka mengundang Tante untuk makan bersama kami siang ini di rumah, Tante ada waktukah?”
Aku mencoba menata suaraku agar terdengar stabil, “Iya Nino, Tante akan ke rumahmu.”
Aku menutup sambungan teleponku dengan Nino. Aku membuka pintu kamar dan mendapati Mas Arya di hadapanku. Mas Arya hanya terdiam, ia tidak berkata apa-apa saat melihatku. Aku hanya bisa mencium pipinya dan berkata maaf padanya. “Maafkan aku, Mas.”

***

Saat aku menyetir mobil menuju rumah Nino, kembali terngiang suara Nino yang tadi aku dengar. Suara khasnya yang masih sedikit cadel dan kaku dalam menyebut huruf “R” membawaku ke masa lalu. Mengingatkan pada laki-laki yang sangat kucintai di usiaku yang ke tujuh belas, Bagas.
Bagas, cinta pertamaku yang kini entah berada di mana itu masih saja menggelayuti  pikiranku. Kenangan  indah yang kami buat berdua di masa SMA masih membekas dalam hatiku, bahkan semakin menguat ketika aku bertemu dengan Nino, buah cinta kami yang pernah aku tinggalkan di depan sebuah panti asuhan tempat kampung halaman Ayahku. Manusia memang tidak pernah merencanakan sebuah pertemuan, itu tugas Tuhan. Manusia hanya bisa menerima, menjalani dan memaknai segala hal terjadi. Begitu juga yang ku alami ketika bertemu dengan Nino. Dia sendiri yang menghampiriku untuk memintaku membubuhi Novel ketigaku yang dibelinya dengan tanda tangan dan kata-kata motivasi dariku. Sejak saat itu dengan sendirinya waktu membawa kami dalam sebuah persahabatan sebagai Penulis dan pembaca, sampai pada satu waktu aku mencari tau bagaimana aku bisa tertarik pada pria muda yang umurnya setengah dari umurku ini. Dan aku mengetahui kenyataan bahwa Nino adalah buah hatiku, kenangan yang tersisa dari masa laluku.
Aku yang dulu telah tertipu oleh buaian cinta yang ditawarkan Bagas. Setelah tau aku mengandung anaknya, Bagas menghilang bagai ditelan bumi. Sampai sekarangpun aku tidak tau dimana keberadaannya. Lalu orangtuaku memutuskan untuk menutup aib ini dengan menyerahkan anakku ke panti asuhan. Aku disekolahkan di Bandung dan dijodohkan dengan seorang Dokter muda yang tampan, Mas Arya. Kehidupan kami baik-baik saja, kami hidup serba berkecukupan dan kami jarang sekali bertengkar. Mas Arya pria yang baik, dia selalu mengerti  setiap kondisi dan apapun yang kuinginkan dipenuhinya. Hanya saja sampai sepuluh tahun ini kami masih belum memiliki anak, bukannya kami tidak berusaha. Mungkin saja Tuhan belum memberiku kesempatan untuk memiliki anak lagi setelah aku begitu saja membuang anakku tanpa memperjuangkannya. Sebagai anak laki-laki satu-satunya tentu saja Ibu dari Mas Arya ingin anaknya segera memiliki keturunan, mungkin hal itu jugalah yang membuat Ibu marah ketika melihatku kemarin bersama Nino. Nino, mengingat pembicaraan kami di telepon tadi membuatu tersenyum miris. “…Sebetulnya aku sendiri heran, dari mana aku mewarisi bakat menulis ini karena kedua orangtuaku tidak ada yang terjun dalam dunia sastra.”  Seandainya aku bisa memberi tau Nino bahwa keahlian itu dia warisi dariku, tapi apa daya. Di sini aku hanyalah seorang Idola baginya. Tapi itu saja sudah cukup bagiku. Melihatnya tumbuh besar dan bahagia sudah menjadi hartaku yang paling berharga, walaupun bukan sebagai Ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar