Aku duduk di
depan laptop kesayanganku. Sesekali aku menyeruput kopi panas yang kini telah
dingin. “Ini sudah gelas ketiga tapi aku
belum menyelesaikan tulisanku.” Selorohku dalam hati. Ini masih terlalu
pagi untuk seseorang beranjak dari tempat tidur. Tapi tidak untukku, karena
semalaman ini aku sama sekali tidak memejamkan mata untuk mengistirahatkan
tubuhku. Aku melihat jam dinding yang terletak di samping tempat tidur. “Masih jam tiga, terlalu pagi untuk membuat
sarapan.” Pikirku dalam hati.
Aku kembali
berkutat dengan tulisanku. Pihak penerbit sudah cerewet meminta naskah novelku
yang berikutnya untuk segera diserahkan. Ini adalah novel kelimaku, terhitung
setelah aku serius dengan dunia tulis menulis, mungkin sudah hampir sepuluh
tahun lamanya. Aku kembali mencari inspirasi untuk bisa membuat sesuatu yang
baru dalam cerita di tulisanku. Tiba-tiba saja aku terbayang pada sosok lelaki
remaja yang akhir-akhir ini sering kutemui, baru membayangkan wajahnya saja
sudah membuat hatiku terasa hangat dan aku merasa bisa melakukan apapun yang
terlihat mustahil. Ya, aku rasa aku bisa melakukan apapun asalkan aku bisa
melihat inspirasiku itu dengan mata kepalaku sendiri. Akhirnya dengan lancar aku
memainkan jari jemariku di atas laptop.
“Sayang,
kamu belum membuatkan sarapan untukku?”
Aku
menoleh ke belakang, terlihat seorang laki-laki yang tengah bercermin
membetulkan dasi di kemejanya. Dia terlihat rapi dan tampan, sepertinya orang
ini siap untuk berangkat bekerja.
“Belum
Mas, maafkan aku, aku terlalu asik mengerjakan tulisanku sampai lupa waktu. Aku
buatkan sekarang ya, Mas.” Aku beranjak dari kursi tempat aku semalaman duduk
di sana berkutat dengan tulisanku. Aku menghampiri laki-laki itu dan membantu
membetulkan dasinya. Dia tersenyum manis dan membelai lembut rambutku, mengecup
keningku dan menjatuhkan kecupannya di
bibirku.
“Aku
nanti pulang lebih awal, aku harap saat aku pulang aku bisa melihatmu
membukakan pintu untukku.”
Aku langsung
teringat bahwa malam ini aku sudah membuat janji dengan seseorang, seseorang
yang sangat penting bagiku.
“Maaf Mas, aku malam ini ada
janji dengan seseorang yang ingin tulisannya dikomentari olehku.”
“Haruskah malam ini? Aku sengaja
menukar jadwal praktikku dengan Dokter Revo agar aku bisa pulang lebih awal malam
ini.”
“Sekali
lagi maaf Mas, ini janji yang betul-betul penting. Aku sudah membuat janji ini
seminggu yang lalu, jika aku batalkan pasti orang yang akan kutemui itu akan
kecewa.”
“Kalau
aku boleh tau, siapa yang akan kau temui itu?”
Aku terdiam
mendengar pertanyaan dari Mas Arya, suamiku.
“Hanya penggemar dari
novel-novelku.”
“Kau yakin dia hanya peggemarmu?”
Aku memicingkan
mataku menatap tajam ke arah Mas Arya.
“Kau mencurigaiku?”
“Aku bukan mencurigaimu, Sayang.”
Mas Arya berkata dengan suara yang lebih lembut. Sambil memakan roti yang
kubuatkan untuknya dia kembali melanjutkan perkataannnya.
“Aku hanya heran dengan tingkahmu
yang lebih sering keluar rumah akhir-akhir ini. Dan lagi aku sempat mendengar
dari tetangga bahwa kau pulang diantar oleh seorang remaja laki-laki berseragam
SMA dan itu bukan hanya sekali dua kali.”
Mas Arya
membetulkan posisi duduknya untuk bisa melihat ke arahku.
"Tapi aku percaya dia hanya
penggemarmu.” Mas Arya kembali tersenyum sambil membelai rambutku. “Penggemar
yang membuatmu melupakan alasanku untuk pulang lebih awal malam ini.” Aku tak
langsung menjawab, terpaku beberapa saat dan menemukan bola mata Mas Arya
benar-benar menyorot tajam mataku.
Aku terkesiap, “Tanggal 23! Dan ini bulan Oktober! Aku lupa
kalau ini adalah hari jadi pernikahan kami!” Aku masih terdiam, tidak tau
harus memberi tanggapan apa atas ucapan Mas Arya.
“Mungkin kamu terlalu sibuk
sampai lupa hari jadi pernikahan kita, Sayang.” Mas Arya bangkit berdiri
mengambil Jas Putih kebesarannya, baju dinas kedokteran.
Aku lantas menghampirinya,
mengambil Jas dan memakaikannya pada Mas arya. Aku masih terdiam, bibirku
terlalu kelu untuk mengucapkan kalimat untuk membalas ucapan Mas Arya.
“Aku rasa kita butuh liburan,
Sayang. Aku sudah persiapkan semuanya, Minggu depan kita akan berangkat ke
Italy. Aku harap kamu bisa mempersiapkan diri dari sekarang dan membereskan
beberapa baju secukupnya.”
“Tapi Mas…” Aku berusaha menyela
pembicaraan Mas Arya, tapi telunjuk Mas Arya sudah menempel di bibirku.
“Tidak ada kata tapi. Aku sudah
membicarakan ini dengan editormu dan dia sudah memberimu izin untuk berlibur.”
“Bukan itu Mas masalahnya…”
“Cukup Dyla, tidak ada masalah di
sini. Kita hanya berlibur. Dan aku yakin kamu sangat memerlukan itu.”
Mas Arya memeluk
erat diriku dan menatap wajahku. “Dan satu lagi, Dyla. Ibuku sudah tidak sabar
ingin menimang cucu.”
Mas Arya
mengecup keningku dan masuk ke mobilnya.
Aku masih
berdiri di ambang pintu sampai mobil Mas Arya sudah tidak terlihat lagi di
balik tikungan.
Aku menghela
napas ketika masuk dan menutup pintu. “Aku
tidak butuh liburan.” Kataku lebih kepada diri sendiri. Aku kembali ke meja
kerjaku dan duduk di kursi kesayanganku, tempatku bisa bebas menuangkan segala
perasaan dan pikiran yang selama ini mengekangku. Suasana rumah yang sunyi
semakin mendukung imajinasiku untuk bekerja mencari inspirasi baru untuk
tulisan-tulisanku. Rumah yang sudah sepuluh tahun aku tempati bersama Mas Arya
ini memang tidak pernah terdengar ramai. Rumah ini terlihat terlalu rapi dan
terdengar sunyi. Tidak pernah terdengar tangisan bayi ataupun terlihat mainan
anak-anak yang berserakan di lantai rumah kami.
Tring
Blackberry Messengerku berbunyi. Aku
segera mengecek chat dari siapa yang
masuk.
Nino.
Senyumku
langsung merekah melihat nama itu terpampang di layar BBMku.
Tante, sore ini kita jadi ketemu kan?
Aku pulang sekolah jam 3 sore. Kita ketemu
di Gramedia jam 4 sore ya tan.
See you :)
Tanganku dengan
cepat membalas Message itu.
Iya Nino, kita jadi ketemu.
Kamu hati-hati ya pulang sekolahnya :)
See you.
Pesanku
terkirim. Hatiku langsung berdegup memikirkan akan bertemu lagi dengan Nino,
laki-laki remaja yang selalu memenuhi pikiranku. Bukan hanya itu, aku baru sadar,
berkat Nino aku jadi melupakan kegalauanku akan liburanku dengan Mas Arya ke
Italy. Sebetulnya, Ninolah yang membuatku enggan berlibur ke Italy. Setiap
waktu kosongku di sela-sela kesibukanku menulis hanya ingin kuisi dengan
bertemu dengan Nino. Walaupun itu hanya untuk membicarakan perkembangan novelku
atau sekedar memberinya saran untuk mengembangkan bakatnya dalam menulis.
***
Aku kembali
melihat jam tanganku. 16.30. “Kemana
Nino?” Aku mulai cemas memikirkan keberadaan anak remaja itu. Kukeluarkan
telepon genggamku dan mencoba menghubunginya. Tidak ada jawaban. Hatiku mulai
kalut memikirkan hal yang buruk terjadi pada Nino. Sekali lagi aku mencoba
meneleponnya untuk memastikan keberadaan Nino.
“Tante, aku disini.” Tiba-tiba
saja aku tersentak kaget melihat tubuh jangkung itu berdiri di belakangku. Aku
lega melihat sosok Nino ada di dekatku. Rasanya aku ingin memeluk erat dirinya
dan tidak melepaskannya. Tapi aku masih memiliki akal sehat untuk menahan diri
ini melakukan hal itu.
“Maaf Tan, aku terlambat. Tadi
aku mengantarkan teman perempuanku ke rumahnya.” Nino tersipu malu sambil
mengucapkan kalimat itu.
“Teman perempuan?” tanyaku pelan
sambil menutupi nada penuh selidik dari pertanyaanku.
“Iya Tan, namanya Anggi. Sebetulnya
dia pacarku. Hehehe…”
Wajah Nino
memerah saat menyebut nama perempuan itu, mengingatkanku pada seseorang di masa
laluku.
“Wah, sepertinya Tante akan
mendengar cerita baru darimu. Ayo kita minum kopi dulu di sana sambil mendengar
ceritamu.”
Aku mengajak
Nino untuk duduk bersantai di Coffee Shop
depan Gramedia tempat kami bertemu.
***
Nino duduk di
hadapanku, dengan semangat dia menceritakan segala awal seluk beluk
percintaannya. Mulai dari ia menyukai gadis bernama Anggi itu sampai Nino
menyatakan perasaannya dua hari yang lalu kepada Anggi. Semua ini di luar
rencana kami, awalnya kami hanya berencana untuk membicarakan proyek kecil yang
sedang digeluti Nino, sebuah Novel Remaja. Tapi setelah kami selesai
membicarakan tulisan Nino, dengan sendirinya Nino bercerita mengenai
hubungannya itu. Memang setiap bertemu selalu saja ada yang bisa kami bicarakan
di luar tulisan kami. Entah itu mengenai kehidupan sekolah Nino sebagai ABG atau perjalananku dalam menghadiri
undangan-undangan menjadi pembicara dalam Workshop
menulis. Dan aku, aku senang bisa membicarakan semua ini dengan Nino.
Aku
memperhatikan garis wajah Nino, lesung pipi yang muncul di wajahnya ketika
tersenyum, rambut hitam kecoklatan yang dibiarkan begitu saja tanpa gel rambut, dagunya yang runcing dan
suara Nino yang begitu menenangkan. Semua hal itu mengingatkanku pada sosok
laki-laki di masa SMA-ku, Bagas.
“Jadi, gimana menurut Tante? Apa
novelku sudah pantas untuk diterbitkan?’
Suara nino
membuyarkan lamunanku.
“Tentu Nino, tulisanmu sudah
tidak diragukan lagi.”
Aku berkata
sambil tersenyum manis kepada Nino. Menit-menit tertukar habis dengan hitungan
jam saat aku bersama Nino. Sungguh, tidak ada hal manis lain yang lebih
menjanjikan yang ingin kutukar dengan kebahagiaan ini. Kebahagiaan sederhana
yang hanya dapat aku rasakan ketika melihat Nino. Kesempurnaan sebagai seorang
wanita aku dapati ketika aku melihat senyum Nino merekah indah di wajahnya. Aku
membiarkan puluhan pesan singkat menggetarkan handphoneku, aku juga mengabaikan panggilan yang mengganggu kebahagiaanku
ini. Aku masih ingin terus menikmati kebersamaanku dengan Nino, selama apapun
waktu yang tersedia akan aku jalani jika bisa bersama Nino.
Tak lama
terdengar alunan melodi dari handphone
Nino. Dengan cepat Nino mengangkat panggilan itu.
“Iya Ma…” Nino
terlihat fokus mendengar kalimat dari si penelepon di sebrang sana.
“Oh oke Ma.” Nino
menutup teleponnya,
“Maaf Tante, aku
harus pulang sekarang. Mamaku minta aku untuk makan malam di rumah.” Kata Nino
sembari merapikan tas sekolahnya.
“Tidak perlu
minta maaf Nino, kapan-kapan kita bisa bertemu lagi kan?” kataku kepada Nino,
entah ada perasaan apa yang merasuki hatiku ketika Nino hendak pergi.
“Tentu Tante!
Kalau ada respon dari penerbit, aku pasti akan segera menghubungi Tante!”
“Semoga sukses,
Nino.” Kataku sambil memegang pundak Nino dan membiarkan lelaki remaja itu
pergi dengan motornya.
***
Aku masuk ke
dalam rumah bercat putih ini, kulihat mobil Mas arya sudah terparkir rapi di
garasi rumah kami. Tubuhku terasa lelah, mungkin akibat semalam aku tidak
beristirahat sama sekali. Rasanya aku ingin sesegera mungkin merebahkan tubuhku
di tempat tidur dan terlelap sampai besok pagi. Aku melewati meja makan, ada
beberapa makanan kesukaanku tersedia di sana. Dua gelas yang terisi anggur
merah terlihat belum tersentuh sama sekali. Mataku menyapu seisi ruang tengah,
mencari sosok Mas arya. Tertangkap oleh mataku jam dinding rumah kami yang
menunjukkan pukul Sembilan malam. “Belum
terlambat untuk jam makan malam.” Pikirku sambil mencari sosok Mas arya.
Aku melihat ke
kamar kami, di sana kutemukan Mas Arya tengah tertidur pulas masih dengan baju
kerjanya. Aku sedikit merasa bersalah telah membiarkan pria ini menunggu
kepulanganku. Melihat Mas Arya yang tertidur pulas, aku memutuskan untuk tidak
membangunkannya. Karena tubuhku terlalu lelah, akupun juga tertidur di
sampingnya.
***
Sinar matahari
yang masuk melalui sela-sela jendela kamar menyilaukan mataku. Aku terbangun
dan mendapati jam sudah pukul sepuluh. Aku tersentak kaget dan segera bangun,
di sampingku sudah tidak kudapati sosok Mas arya. “Tumben Mas Arya tidak membangunkanku.” Aku berjalan keluar kamar
dan kulihat Mas Arya sedang duduk di balkon rumah kami sambil menghisap rokok
di tangan kanannya. Laki-laki itu bukan seperti Mas Arya yang selama ini
kukenal, aku tau betul Mas Arya benci sekali dengan rokok. Rokoklah yang
menyebabkan penyakit paru-paru ayah dari Mas Arya semakin parah, hingga dua
tahun yang lalu di akhir hidupnya Ayah Mas Arya sama sekali belum bisa
melepaskan kecanduannya dari rokok. Hal itulah yang semakin memotivasi Mas arya
untuk lebih bersungguh-sungguh lagi dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang
dokter. Kesunyian ini menusuk tubuhku, aku berusaha memberanikan diri untuk
duduk di samping Mas Arya, suamiku.
“Mas, kamu marah
karena aku semalam pulang terlambat?”
Mas Arya tidak
menjawab pertanyaanku, ia malah menghisap rokoknya dalam-dalam dan
menhembuskannya ke atas.
“Mas, kalau kamu
butuh waktu sendiri, aku tidak akan mengganggu. Aku hanya ingin mengucapkan
maaf karena semalam telah membuatmu menunggu.” Kataku sambil beranjak berdiri.
Belum sempat aku
berbalik, Mas Arya memegang tanganku. Tarikan tangannya secara tidak langsung
menyuruhku untuk duduk kembali di sampingnya.
“Aku ingin
bicara denganmu, Dyla.” Sambil mematikan rokoknya aku mendengar suara Mas Arya yang
terdengar lebih berat dari biasanya. Di asbak terlihat puluhan puntung rokok
yang sepertinya habis dihisap Mas Arya.
“Aku kemarin
pergi dengan ibuku,” Mas Arya memulai pembicaraannya dengan wajah yang sangat
kalut. “Aku berencana untuk membelikanmu sebuah buku sebagai hadiah ulang tahun
pernikahan kita.” Mas Arya menoleh ke
arahku, tatapan matanya menyentuh bola mataku yang semakin membulat.
“Dan saat aku
hendak memasuki toko buku itu, aku dan Ibu melihatmu. Bukan hanya melihatmu,
aku juga melihat laki-laki remaja yang bersamamu itu. Jelaskan padaku, Dyla!
Siapa dia?! Tidak mungkin kamu tertawa dan tersenyum seperti itu dengan
laki-laki yang hanya kamu anggap sebagai penggemarmu!”
Tubuhku kaku
mendengar ucapan Mas Arya.
“Sudah sepuluh
tahun aku bersamamu tapi kamu tidak pernah menunjukkan tawa dan senyum yang
seperti itu kepadaku!”
Mas Arya
berusaha merapikan aturan napasnya yang memburu akibat emosinya kepadaku.
“Ibuku marah
besar melihat peristiwa kemarin.” Kembali Mas Arya mencoba mengatur tarikan
napasnya, “Ibu menyuruhku untuk menceraikanmu dan beliau akan menjodohkanku dengan
wanita pilihannya.”
Aku tetap tak
bergeming mendengar ucapan suamiku itu, entah mengapa aku sama sekali tidak
takut menghadapi perceraian dengan Mas Arya.
Dengan lembut
Mas Arya membelai rambutku, ia melumat bibirku dan berkata pelan sambil erat
memelukku. “Tapi aku percaya padamu, Dyla. Aku sudah berjanji untuk terus
bersamamu seumur hidupku. Soal anak, aku percaya Tuhan akan menganugerahkannya
pada kita jika kita lebih bersatu lagi. Aku akan meyakinkan Ibu bahwa kamu
tidak bersalah, semua akan kulakukan Dyla. Tapi kumohon, jangan pernah temui
lagi penggemarmu itu.”
Tubuhku menegang
mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Mas Arya. Aku melepaskan pelukannya
dan berdiri menghadapnya.
“Lebih baik kau
ceraikan aku, Mas! Ibumu benar! Kamu pantas mendapatkan wanita yang lebih baik
dariku!”
Mas Arya yang
kaget mendengar ucapanku yang di luar dugaannya segera mencoba menahanku.
“Dyla, apa
maksudmu?!”
“Ya, ibumu benar
Mas. Lebih baik kamu ceraikan aku. Aku tidak bisa memberimu keturunan selama
sepuluh tahun ini! Kamu pantas Mas mendapatkan yang lebih baik dariku.”
Aku pergi
meninggalkan balkon dan mengunci kamar tanpa mempedulikan Mas Arya yang
berusaha menahanku.
Aku
memijit-mijit keningku yang terasa sakit setelah mendengar permohonan Mas arya
yang memintaku untuk tidak menemui lagi penggemarku, Nino.
Ah, Nino! Aku
teringat kalau hari ini Nino akan mendapat kabar dari penerbit yang menerima
novelnya atas rekomendasiku. Kulihat layar ponselku, ada dua panggilan tidak
terjawab dari Nino. Baru saja aku akan meneleponnya, tiba-tiba ponselku sudah
berbunyi kembali. Panggilan dari Nino.
“Halo Tante!”
Terdengar suara
riang Nino di sebrang sana.
“Iya Nino,
bagaimana novelmu?”
“Tante, Novelku
diterima penerbit! Minggu depan aku sudah mulai meeting dengan pihak penerbit.”
Aku tersenyum
merasakan kebahagiaan yang terdengar dari suara Nino.
“Tante turut
senang, Nino.” Kataku tulus kepada Nino
“Terima kasih ya
atas bimbingan Tante selama ini. Oia, Tante adalah orang kedua yang aku
ceritakan mengenai hal ini setelah Ibuku.”
Mendengar ucapan
Nino membuat sayatan dalam di hatiku. Tapi aku hanya bisa tersenyum sambil
menahan air mata yang memaksa jatuh dari mataku.
“Oya? Bagaimana
tanggapan Ibumu, No?” aku berusaha menutupi kepedihan yang ada di dalam hatiku.
“Ibu senang
sekali Tante, Ibu tidak menyangka hobiku dalam menulis bisa menghasilkan
sesuatu yang bisa menjadi pekerjaanku. Sebetulnya aku sendiri heran, dari mana
aku mewarisi bakat menulis ini karena kedua orangtuaku tidak ada yang terjun
dalam dunia sastra.”
Jantungku
berdegup lebih kencang, seiring dengan itu air mataku jatuh mendengar suara
Nino yang riang.
“Ayah juga
bingung, bagaimana aku bisa memberanikan diri menyerahkan naskahku ke penerbit.
Kuceritakan pada mereka semua ini berkat Tante, sejak menyukai novel-novel
Tante dan berkonsultasi dengan Tante yang seorang Penulis terkenal, keberanianku
mulai berkembang. Untuk itu mereka mengundang Tante untuk makan bersama kami siang
ini di rumah, Tante ada waktukah?”
Aku mencoba
menata suaraku agar terdengar stabil, “Iya Nino, Tante akan ke rumahmu.”
Aku menutup
sambungan teleponku dengan Nino. Aku membuka pintu kamar dan mendapati Mas Arya
di hadapanku. Mas Arya hanya terdiam, ia tidak berkata apa-apa saat melihatku.
Aku hanya bisa mencium pipinya dan berkata maaf padanya. “Maafkan aku, Mas.”
***
Saat aku
menyetir mobil menuju rumah Nino, kembali terngiang suara Nino yang tadi aku
dengar. Suara khasnya yang masih sedikit cadel dan kaku dalam menyebut huruf “R”
membawaku ke masa lalu. Mengingatkan pada laki-laki yang sangat kucintai di
usiaku yang ke tujuh belas, Bagas.
Bagas, cinta
pertamaku yang kini entah berada di mana itu masih saja menggelayuti pikiranku. Kenangan indah yang kami buat berdua di masa SMA masih
membekas dalam hatiku, bahkan semakin menguat ketika aku bertemu dengan Nino,
buah cinta kami yang pernah aku tinggalkan di depan sebuah panti asuhan tempat kampung
halaman Ayahku. Manusia memang tidak pernah merencanakan sebuah pertemuan, itu
tugas Tuhan. Manusia hanya bisa menerima, menjalani dan memaknai segala hal
terjadi. Begitu juga yang ku alami ketika bertemu dengan Nino. Dia sendiri yang
menghampiriku untuk memintaku membubuhi Novel ketigaku yang dibelinya dengan
tanda tangan dan kata-kata motivasi dariku. Sejak saat itu dengan sendirinya
waktu membawa kami dalam sebuah persahabatan sebagai Penulis dan pembaca,
sampai pada satu waktu aku mencari tau bagaimana aku bisa tertarik pada pria
muda yang umurnya setengah dari umurku ini. Dan aku mengetahui kenyataan bahwa
Nino adalah buah hatiku, kenangan yang tersisa dari masa laluku.
Aku yang dulu telah
tertipu oleh buaian cinta yang ditawarkan Bagas. Setelah tau aku mengandung
anaknya, Bagas menghilang bagai ditelan bumi. Sampai sekarangpun aku tidak tau
dimana keberadaannya. Lalu orangtuaku memutuskan untuk menutup aib ini dengan
menyerahkan anakku ke panti asuhan. Aku disekolahkan di Bandung dan dijodohkan
dengan seorang Dokter muda yang tampan, Mas Arya. Kehidupan kami baik-baik
saja, kami hidup serba berkecukupan dan kami jarang sekali bertengkar. Mas Arya
pria yang baik, dia selalu mengerti
setiap kondisi dan apapun yang kuinginkan dipenuhinya. Hanya saja sampai
sepuluh tahun ini kami masih belum memiliki anak, bukannya kami tidak berusaha.
Mungkin saja Tuhan belum memberiku kesempatan untuk memiliki anak lagi setelah
aku begitu saja membuang anakku tanpa memperjuangkannya. Sebagai anak laki-laki
satu-satunya tentu saja Ibu dari Mas Arya ingin anaknya segera memiliki
keturunan, mungkin hal itu jugalah yang membuat Ibu marah ketika melihatku
kemarin bersama Nino. Nino, mengingat pembicaraan kami di telepon tadi membuatu
tersenyum miris. “…Sebetulnya aku sendiri
heran, dari mana aku mewarisi bakat menulis ini karena kedua orangtuaku tidak
ada yang terjun dalam dunia sastra.” Seandainya aku bisa memberi tau Nino bahwa
keahlian itu dia warisi dariku, tapi apa daya. Di sini aku hanyalah seorang
Idola baginya. Tapi itu saja sudah cukup bagiku. Melihatnya tumbuh besar dan
bahagia sudah menjadi hartaku yang paling berharga, walaupun bukan sebagai Ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar