“Aku bisa sendiri, Ra!” Anton menghempaskan tanganku yang mencoba
membantunya berdiri. “Kamu yakin, Ton? Biar aku bantu mengarahkan ke kamarmu.” Kataku kepada Anton, pasien korban kecelakaan yang mengalami patah
tulang dan benturan di matanya. Ketika aku masuk ke kamar ini kulihat Anton tengah mengelus lembut
tangan seorang gadis remaja. Sangat lembut dan perlahan, seolah-olah
sentuhannya itu dapat menyakiti gadis manis yang sedang terbaring tak sadarkan
diri di tempat tidur, gadis itu koma. “Baiklah…” kata Anton pasrah, “Kamu boleh memapahku sampai kamar, biar
bagaimanapun itu tugasmu kan?” ujar Anton sambil tersenyum tanpa menatapku.
Sesampainya di kamar tempat Anton selama tiga minggu
ini dirawat, aku melihat sesosok wanita, wanita yang selama ini selalu setia
menemui Anton di tengah masa perawatannya. Maya, itulah nama dari wanita yang
selalu nampak cantik itu. Sejauh ini aku masih belum paham apakah cinta
hanyalah ruang untuk dua orang atau bisa juga untuk tiga orang bahkan lebih.
Saat aku tengah sibuk berbagi cinta melalui pekerjaanku sebagai seorang Suster,
aku memperoleh sebuah cinta yang lain dari pasienku, Anton.
Kami pertama kali bertemu di bangku taman Rumah
Sakit, ketika aku sedang beristirahat dan melakukan
kebiasaanku, memandang kunang-kunang yang menari di
bawah lampu penerangan. Awalnya kami hanya berbincang sederhana, Anton yang
tidak bisa melihat karena perban menutupi matanya merasa bosan karena belum
diizinkan pulang oleh dokter. Bahkan Anton
belum diizinkan untuk turun dari tempat tidurnya, hanya saja keras kepalanya
itu mampu merobohkan pantangan dokter yang melarangnya untuk berjalan dulu.
Dengan keteguhannya, Anton berusaha untuk pulih kembali. Sambil berlatih
berjalan, ia rajin bolak-balik dari kamarnya yang merupakan kamar rawat inap
biasa ke ruang Intensive Care Unit, tempat
adiknya dirawat. Aku yang sering merasa kelelahan
akibat pekerjaankupun tak jarang selalu terhibur ketika bertemu dan tertawa
bersama Anton.
Dua minggu berlalu sejak pertemuan pertamaku dengan Anton.
Entah sejak kapan kami menjadi begitu akrab dan aku juga tidak mengerti
bagaimana caranya kata “Saya” dan “Anda” di antara kami sudah berganti menjadi
“Aku” dan “Kamu”. Di sela-sela jam istirahatku, aku selalu meluangkan waktu
untuk menemui Anton. Atau jika ia sedang tertidur saat aku datang, aku
menyempatkan diri berdoa di sampingnya agar ia segera pulih dari sakitnya.
Hubungan kami memang terlihat
sederhana jika dilihat dari sudut pandang manapun. Kami hanya seorang suster
dengan pasien Rumah Sakit yang menjalin sebuah pertemanan pada umumnya. Namun
tak sesederhana itu bagi sudut pandang hatiku. Aku yang sudah lama menutup diri
dari cinta mulai merasakan kembali debar-debar yang menyenangkan ketika bersama
Anton. Sifatnya yang memang terbilang humoris mampu dengan cepat menyelusup ke
dalam hatiku. Aku mulai memandang Anton dengan cara yang berbeda, bukan hanya
sekedar suster dengan pasiennya. Bukan hanya sekedar itu.
*****
Siang ini cerah sekali,
matahari yang menyinari bumi rasanya terlalu ramah untuk menyengat kulit
manusia yang berlalu lalang di bawah singgasana langit tempat matahari
bertahta. Aku yang sudah dua hari ini mendapat jadwal libur dengan riang
menyusuri lorong rumah sakit. Langkahku terasa ringan dan bersemangat. Aku
sangat tak sabar ingin bertemu dengan Anton. Sudah dua hari ini aku merindukan moment duduk di bangku taman dan bercengkrama dengannya.
Langkahku tiba-tiba terhenti ketika melihat kejadian di lorong seberang. Mataku
membulat melihat kejadian yang baru saja terjadi.
Tubuh Hanna kulihat terlempar
membentur tiang lorong rumah sakit, Hanna memegang pipinya yang sepertinya
terkena pukulan pasien yang mengamuk itu. Pasien itu meraung-raung menangis
sambil memberontak. “Astaga! Itu Anton!” pekikku dalam hati. Dengan sigap aku segera berlari
ke lorong seberang melewati hamparan rumput hijau di taman Rumah sakit. “Kamu
baik-baik saja, Han?” aku panik memeriksa sekilah tubuh teman sekerjaku itu. “Ba..
Baik Ra...” Hanna menjawabku ragu. “Aku baik-baik saja, tapi, tapi Pak Anton
sejak tadi tak bisa dikendalikan.”
Aku langsung mengalihkan
perhatianku kepada Anton. Dua dokter dan beberapa suster lainnya mencoba
menenangkan Anton yang menangis sambil memukul tembok. “Ginaaaa...
Ginaaaaaaa.....” teriakan Anton membuat prihatin seluruh orang yang sedang
berlalu lalang di lorong Rumah Sakit. Terlebih lagi aku, hatiku terasa pilu
mendengar teriakan Anton yang lirih. Teriak dan tangis yang menandakan keputusasaan.
“Gina, maafkan kakak...” anton tersedu menangis dengan penuh penyesalan. Aku
seolah ikut merasakan apa yang Anton rasakan. Aku berlutut merangkul tubuh
Anton. Seluruh sukacitaku hari ini lenyap seketika saat melihat Anton menangis
seperti ini.
Anton masih tidak mau beranjak
mesti sudah kubujuk berkali-kali untuk kembali ke kamarnya, ia masih saja
menangis dan memanggil-manggil nama Gina. Tak lama Maya datang dengan
tergopoh-gopoh. Maya langsung memeluk Anton. Mengusap-usap wajah Anton dan
kembali memeluknya erat. Aku segera menyingkir, berdiri menatap mereka berdua. Mereka
menangis bersama sambil bersimpuh di lantai. Tak peduli seluruh orang di lorong
Rumah Sakit ini memperhatikan mereka. Tak peduli dengan seorang wanita yang
sedang menahan sakit di dadanya ketika melihat mereka berpelukan.
*****
Sudah pukul delapan. Sudah
waktunya aku pulang ke rumah. Aku yang sudah berganti pakaian, dari seragam
suster yang serba putih menjadi pakaian santai yang nyaman untuk membungkus
tubuhku dari hawa malam yang dingin agar tidak menusuk kulitku. Sebelum
mencapai gerbang Rumah Sakit mataku menangkap sosok seseorang yang sedang duduk
sendirian di bangku taman. Orang itu Anton. Anton terlihat hanya duduk saja,
tanpa daya, tanpa gerakan apapun. Seolah-olah ia sedang tersihir menjadi patung
hiasan taman Rumah Sakit.
Aku yang tanpa sadar
melangkahkan kakiku menuju ke bangku taman itupun berhenti. Aku teringat
kejadian tadi siang, tepatnya ketika Anton berpelukan dengan Maya. Mungkin
memang itu bukan pelukan mesra, itu pelukan berduka. Namun tetap saja kejadian
itu masih jelas terpatri di otakku dan menusuk-nusuk perasaanku. “Apa
seharusnya aku menjauh dari Anton?” tanyaku pada diri sendiri. Namun belum
sepatah katapun hatiku menjawab pertanyaan itu, kakiku sudah lebih dulu
melangkah mendekati bangku tempat Anton duduk termenung.
“Tak sepantasnya kamu
menyalahkan diri sendiri.” Tiba-tiba saja bukan hanya kakiku yang lancang,
namun juga suaraku yang entah dikendalikan oleh apa langsung saja melancarkan
kalimat barusan. Anton hanya diam, bahkan tak bergeming sedikitpun dengan
kehadiranku. “Aku tau kamu sedih, tapi setidaknya cobalah untuk kuat
mengahadapi kenyataan hidup. Ada hikmah yang bisa kita ambil, setidaknya Gina
tak perlu lagi merasa sakit. Ia pasti sudah bahagia di Surga.” Kali ini mulutku
berbicara dalam kendaliku. Kebisuan Anton membuatku tak tahan untuk
menghiburnya. Lebih baik aku melihatnya menangis atau apapun. Asalkan ia tidak
diam seperti ini, diamnya Anton membuatku merasa asing. Ya, bukankah sejatinya
diam adalah bahasa asing yang tak mampu diterjemahkan oleh kamus manapun?
“Bersyukurlah Gina tak perlu
lagi merasakan sakitnya berjuang melawan luka-luka akibat kecelakaan itu.” Aku menghela
nafas panjang melihat Anton yang tetap diam tak menganggapku ada. “Bersyukurlah,
Ton. Tuhan menyayangi adikmu.” Aku tulus mengucapkan ini. Rasanya aku tak kuasa
jika harus melihat Anton terus seperti ini, diam dalam keputusasaan.
“Dia suka kunang-kunang, Ra.” Anton
akhirnya membuka suaranya. Aku menoleh melihat anton yang kini menyandarkan
punggungnya ke sandaran kursi taman. “Gadis remaja seusia Gina seharusnya tak
lagi tertarik pada hewan-hewan kecil yang sudah jarang terlihat itu.” Anton
menahan suaranya yang mulai terisak. “Karena tau kesukaannya itu, aku hendak
membawanya ke hutan kota di belakang Rumah Sakit ini. Aku ingin menunjukkan padanya
tarian kunang-kunang yang indah itu.” Kini Anton mulai tak dapat menahan isak
tangisnya. Dengan suaranya yang mulai serak ia melanjutkan bercerita, “Namun
aku lalai Ra, aku mencelakai adikku satu-satunya itu dengan menabrakkan mobil
kami ke arah pohon besar untuk menghindari mobil lain yang melawan arah.”
Anton terisak dengan
tangisnya. Sambil menggenggam tangan anton aku mencoba menguatkannya. Sungguh,
aku turut merasakan apa yang dirasakan oleh Anton. “Seharusnya aku yang mati,
Ra. Bukan Gina!” anton kembali tersedu. Aku spontan memeluk anton.
Menguatkannya dengan kata-kata yang kuharap dapat menghibur. Mengeratkan
pelukanku agar ia tau, ia tak sendiri. Aku disini juga ikut merasakan kepedihan
yang dialaminya. Aku disini bahkan bersedia mengobati lukanya dengan cintaku.
“Apa kau tau,” aku meregangkan
pelukanku, memindahkan tanganku hingga tertaut pada lengan Anton. “Aku juga
sangat suka memandang kunang-kunang.” aku berkata kepada Anton dengan nada yang
sedikit lebih riang. Dan satu hal, kalimat barusan bukan hanya sekedar kalimat
penghibur. Aku memang betul-betul suka memandangi kunang-kunang. Banyak
kunang-kunang yang berhabitat di hutan taman kota yang terbang hingga ke taman
Rumah Sakit ini. Tiap malam saat aku istirahat ataupun sudah selesai jam kerja,
aku sering menyempatkan diri untuk sekedar duduk di kursi taman ini sambil
memandangi kunang-kunang yang gerakannya seolah sedang melakukan tarian.
“Aku tak berbohong.” Kataku mencoba
meyakinkan Anton yang terlihat ragu. “Kamu ingat saat pertama kali kamu menyapaku
di sini? Saat itu aku sedang memandangi kunang-kunang. Aku sedang menikmati
tarian mereka yang terlihat indah dan menenangkan.” Aku menatap Anton yang
terlihat menungguku melanjutkan ceritaku. “Aku baru sadar, saat itu kunang-kunang
beterbangan lebih indah dari biasanya. Pasti mereka menyambut kedatangan Gina,
adikmu. Tidakkah kamu juga percaya akan hal itu?” aku mempererat genggaman
tanganku di jemari Anton.
“Seandainya saat ini kamu bisa
melihat, kunang-kunang itu beterbangan hampir tanpa daya. Mereka seperti tak
bergairah.” Aku mulai melebih-lebihkan kalimatku agar Anton sedikit terhibur. “Aku
juga yakin, kunang-kunang itu juga sedih atas kepergian adikmu. Tapi kuberitau
kepadamu satu hal, mereka tidak berhenti beterbangan. Karena mereka tau,
manusia yang menyukai mereka bukan hanya adikmu. Masih banyak manusia lain yang
ingin melihat tarian mereka, aku misalnya.”
Aku meregangkan kakiku sembari
melanjutkan pembicaraan ini. “Aku harap, kau bisa seperti kunang-kunang itu,
Ton.” Aku mendongakkan kepalaku memandangi kunang-kunang yang sedang menari di
bawah sinar lampu taman. “Ketahuilah, adikmu akan lebih bahagia jika kamu tidak
menyalahkan diri sendiri atas kejadian ini. Masih banyak yang membutuhkanmu,
Ton.” Aku menghela nafas panjang. “Aku bersedia menemanimu menghadapi ini, Ton.
Lagipula, Maya juga pasti membutuhkanmu.” Aku tercekat oleh kata-kataku
sendiri. Menyebut sekaligus mendengar nama Maya terucap dari bibirku membuatku
refleks menarik tangan dari lengan Anton.
Sakit rasanya jika mengingat
ada Maya di sisi Anton. Terlebih jika aku ingat akan perasaan ini. Perasaan
yang tanpa izin dariku mulai bertumbuh liar menjalari hati dan pikiranku.
Melawan pikiran dan logikaku yang menolak perasaan ini. Perasaan ini tumbuh
dengan sendirinya, tanpa kuminta, bahkan tanpa kukehendaki. Tak dapat
kupungkiri. Meski hanya dalam waktu singkat Anton sudah membuatku tersesat
dalam dunia yang indah namun penuh dengan bahasa asing itu. Diam-diam, aku
mencintainya. Aku sangat mencintai Anton. Tanpa kusadari Anton meraba-raba
bangku taman, ternyata ia mencoba mencari tanganku. Saat tangannya berhasil
meraih tanganku, Anton erat menggenggam jemariku. “Terima kasih, Ra.” Anton
tersenyum manis kepadaku. Jantungku berlonjak ketika jemari Anton hangat
menggenggamku. “Astaga, perasaan ini sungguh berbahaya...” desisku dalam hati.
*****
Akhir-akhir ini aku mendapat jadwal bertugas
di Shift malam. Sejak obrolan
kami di bangku taman malam itu, Anton jauh lebih bergairah dan bersemangat
menjalani proses penyembuhannya. Bahkan lebih sering dirinyalah yang membuatku
tertawa seolah akulah yang lebih membutuhkan hiburan dibanding dirinya. Aku
juga tak tau kenapa sejak kematian Gina, Maya jadi jarang terlihat menemani
Anton. Ia hanya sesekali terlihat untuk membawakan baju ganti serta makanan
pesanan Anton. Mungkin hubungan mereka sedang renggang? Entahlah, aku tak mau
memikirkan apalagi menanyakan hal itu langsung kepada Anton.
Bagiku, cukup dengan bersama
Anton saja sudah membuatku merasa senang walaupun ada batas yang menghalangi
kebahagiaanku ini. Setiap kali Anton membuatku tertawa itu sangatlah membuatku
merasa nyaman, aku tak mau merusaknya dengan menanyakan kabar Maya atau apa
kesibukan Maya akhir-akhir ini. Aku tak mau merusak kebahagiaan ini,
kebahagiaan kami; aku dan Anton. Tapi, apakah ini kebahagiaan yang sebenarnya? Aku
tidak tau.
Aku melihat arloji di tangan
kiriku. Aku masih punya waktu satu jam lagi sebelum waktuku bertugas dimulai. Akupun
mengambil kesempatan ini untuk menemui Anton. Aku ketuk perlahan pintu
kamarnya. “Masuk.” Kata Anton dari dalam kamar. Akupun masuk ke dalam. “Gimana
keadaan kamu?” tanyaku sambil mengecek botol infusnya. “Baik, bahkan jauh lebih
baik ketika mendengar suaramu.” Refleks aku langsung menahan nafas ketika
mendengar perkataan Anton.
“Hahaha..” tiba-tiba terdengar
suara tawa Anton yang renyah. “Kenapa kamu tertawa?” tanyaku sambil mengerutkan
dahi. “Tidak apa-apa Ra, aku hanya merasa aneh saja. Suaramu betul-betul
terdengar selalu riang di telingaku. Persis seperti suara Gina, almarhumah
adikku. Suaramu betul-betul menyenangkan, Ra. Aku penasaran bagaimana wajah
dengan suara yang selalu membuatku merasa lebih baik itu.” Suara Anton yang
awalnya riang mulai berubah ketika menyebut nama Gina.
Jantungku mungkin bisa saja
melompat keluar saking bahagianya ketika mendengar ucapan Anton. Meski harus
disamakan terlebih dahulu dengan Gina, aku cukup merasa senang karena suaraku
dapat memberi perasaan postif pada Anton. Walaupun mungkin perasaan positif itu
bukanlah cinta. Walau tak suka, aku tak pernah keberatan jika Anton
menyamakanku dengan Gina. Gina adalah adik Anton yang ikut dalam kecelakaan
mobil yang menyebabkan Anton dirawat di Rumah Sakit ini.
Aku jadi teringat saat Anton
memberontak hebat ketika Dokter menginformasikan kematian Gina. Anton yang kala
itu seharusnya masih dalam keadaan boleh bangun dari tempat tidur memaksakan
diri untuk melihat Gina. Bahkan dengan memberontak hebat Anton mencoba melepas
perban yang melilit matanya. Hanna teman kerjaku sesama suster sempat terkena
pukulan Anton yang secara gusar memberontak orang-orang yang menahannya.
“Ada kabar baik, Ra. Besok setelah perban di
mataku ini dibuka, aku sudah diizinkan pulang oleh Dokter.” Suara Anton memecahkan lamunanku. Dadaku merasa sesak ketika mendengar itu. Padahal
itu kabar yang sangat baik, tapi aku tau itu adalah petaka bagiku. Karena aku
dan Anton tidak dapat bertemu lagi setelah ini. “Aku ngga sabar mau lihat
wajahmu, Ra.” Perkataan Anton membuatku menghela napas. “Kalau kamu sembuh,
kita tidak akan bisa bertemu lagi ya Ton?” kataku sedih. Anton hanya menjawab
pertanyaanku dengan senyumnya, membuatku dadaku semakin sesak dan membuatku
semakin menyadari bahwa aku telah mencintainya.
Keesokan harinya perban Anton sudah dibuka.
Aku tidak menemuinya karena tadi kulihat Maya juga ikut mendampingi pelepasan
perban di mata Anton. Aku memutuskan untuk duduk saja di bangku taman Rumah
Sakit dan menenangkan hatiku. Aku terus mengenang kebersamaanku dengan Anton
yang sangat singkat ini. Tanpa sadar aku mulai terisak, aku menangis karena aku
sadar telah mencintai orang yang salah.
“Jangan menangis…” tiba-tiba aku tersentak
oleh suara yang berasal dari Anton. Ia duduk di sebelahku. Sudah tidak ada lagi
perban yang biasanya menutup matanya. Ia terlihat lebih tampan sekarang. Air
mataku mengalir lebih deras setelah melihatnya. “Jangan menangis terus, nanti
air matamu habis dan kau tak akan bisa melihat kunang-kunang lagi. Kau lihat?
Di bawah lampu penerangan itu.” Akupun menoleh ke arah yang ditunjuk oleh
Anton. Seketika aku terkesiap menyadari apa yang baru saja terjadi. “Anton!
Kamu bisa melihat?” teriakku sambil memegang lengan Anton. Anton hanya
tersenyum dan menjawab pertanyaanku dengan anggukan kecil. Tangisku kini
bercampur dengan tawa bahagia.
Tanpa sadar aku langsung menghambur memeluk tubuh
Anton yang masih terlilit perban di beberapa bagian. Anton meringis berpura-pura kesakitan. “Aduh, sakit
Ra! Kamu mau aku terluka lagi?” katanya sambil terkekeh. Saking bahagianya, aku sampai lupa mengendalikan
sikapku.
“Aduh!” Anton berteriak kesakitan. Kali ini
mukanya menunjukkan bahwa ia benar-benar merasa sakit. Mungkin pelukanku yang terlalu erat telah memberi reaksi
pada luka-lukanya yang ditutup perban. “Ton, kamu ngga apa-apa kan?” tanyaku khawatir. Anton masih merintih
kesakitan sambil memegang lengannya. Jantungku langsung berdetak cepat, aku tidak
mau terjadi sesuatu yang berbahaya pada Anton. Masih dengan penuh kecemasan aku
mencoba menatap wajah Anton yang menunduk karena kesakitan.
Tiba-tiba saja Anton berhenti merintih dan
tersenyum nakal. Ternyata kesakitannya itu hanya sandiwara saja. “Antoooon! Aku
betul-betul takut kamu sakit tauuuu…” kataku sebal. Anton tertawa sambil menaruh
sebelah tangannya yang bebas dari perban ke kepalaku. Ia membelai lembut
rambutku lalu tangannya turun melingkari pundakku. Dengan tatapannya yang
hangat ia berkata lembut kepadaku. “Kamu ternyata cantik sekali Lyra. Mirip sekali dengan adikku, sayangnya aku tak dapat melihat lagi kecantikan adikku. Aku tak dapat
mendengar lagi tawa riangnya. Seperti yang kamu bilang, Ra. Gina pasti sudah
bahagia di surga sana.” Anton tertunduk menahan tangisnya.
Aku yang hanya terdiam entah
mengapa tiba-tiba merasa sesak mendengar kalimat Anton. “Saat aku tau kenyataan
bahwa adikku meninggal aku sangat merasa bersalah Ra, aku bahkan merasa lebih
baik aku buta saja sebagai hukuman dari Tuhan karena aku telah membawa celaka
adikku.” Anton menghela nafas panjang. “Namun saat aku mulai putus asa kamu
hadir Ra, terima kasih atas kesabaranmu
dalam merawat dan mendoakanku selama aku sakit.”
Anton mengubah posisi duduknya
menghadapku. Aku segera saja merasa tegang karena tatapan Anton yang begitu
mendebarkan hatiku. Perlahan Anton Mengangkat tangannya yang bebas dari perban,
ia menarik tubuhku dalam dekapannya. Sambil memelukku, suara Anton semakin lama terdengar semakin lirih. “Terima kasih, Lyra. Kamu teman
yang baik” Anton meregangkan
pelukannya. Rasanya ada hentakan hebat yang memukul dadaku ketika mendengar
kalimat terakhir Anton. Seperti ada ribuan pisau yang menusuk hatiku saat ini
bahkan tubuhku menolak untuk melepas pelukannya. Anton, pria yang baru saja kucintai itu hanya
menganggapku sebagai temannya.
Anton menatap mataku lekat-lekat, aku
menangkap ada rasa terima
kasih yang sangat besar di matanya Tak lama
ada sebulir air mata yang
kembali mengalir di pelupuk mataku. Aku menangis. Anton yang tak tega melihatku, turut merasakan kesedihanku, ia ikut
menangis. Di taman rumah sakit tempat
kami pertama kali bertemu ini, kami sama-sama menangis. Anton menghapus air
mataku dengan jemarinya yang hangat.
“Jangan menangis lagi Lyra, kita pasti akan bertemu lagi. Ini bukan pertemuan terakhir bukan? Kabarilah jika kamu libur, aku
akan mengundangmu untuk sekedar makan malam di rumahku.” Anton mencoba mengiburku yang masih saja menangis. “Bukan, bukan
itu yang aku tangisi. Aku menangis karena aku mencintaimu. Aku tak rela melepasmu
pergi dariku.” Aku berteriak
dalam hati. Aku tak mampu mengatakannya langsung kepada Anton. Bagaimana
mungkin aku mengatakan hal itu di saat Anton sudah harus pergi dari sisiku.
Terlebih lagi, Anton hanya menganggapku temannya, atau mungkin pengganti
adiknya.
Aku hanya bisa menangis dalam pelukannya. Sampai
tiba-tiba sayup-sayup kudengar teriakan seorang gadis kecil. “Papa… Papaaa… Ma,
itu Papa disana! Ayo kita kesana jemput Papa!” dari kejauhan kulihat seorang
gadis kecil berlari sambil menggandeng tangan ibunya. Secara bersamaan, aku dan
Anton sama-sama melepas pelukan kami. Dengan tergesa-gesa aku segera menghapus
air mataku. Sambil memaksakan untuk tersenyum akupun membalikkan badanku dan
ikut menyambut keluarga kecil Anton.
Anton segera berjalan menghampiri
keluarganya, sambil berjongkok iapun merangkul erat putri kecilnya itu. Dengan
langkah yang berat akupun ikut menghampiri mereka. “Suster, terima kasih karena
telah merawat suami saya.” Wanita cantik itu berkata dengan penuh ketulusan
kepadaku, tanpa ia tau, aku sangat mencintai suaminya.”Maaf Suster, saya jarang datang karena sibuk
merawat anak kami yang sedang sakit. Sekali lagi terima kasih karena suster
telah membantu merawat suamiku dengan baik.” Antonpun menolehkan wajahnya menghadapku. “Suster Lyra, terima kasih.
Saya izin pamit pulang dulu.” Suara Anton sungguh berbeda dari yang terakhir
kudengar. Tidak terpancar kesedihan dari raut mukanya saat menjabat tanganku.
Aku berusaha untuk tidak menangis, walaupun air mata sudah mendesakku untuk
menumpahkannya. “Sama-sama, Pak Anton”, jawabku kepadanya. Akhirnya dengan
susah payah aku berhasil mengucapkan kalimat itu tanpa perlu menangis.
Aku menjabat tangan Anton dan Istrinya, lalu
mereka berbalik membelakangiku. Kulihat mereka bahagia berjalan keluar ke arah
gerbang Rumah Sakit. Anton menoleh memandangku, aku mencoba sekuat
tenaga untuk melambaikan tanganku kepadanya. Setelah punggung Anton sudah tak
tertangkap lagi oleh mataku, aku terduduk lunglai di bangku taman Rumah Sakit.
Aku terisak, menangis sendiri di bawah kelamnya malam yang tidak sekelam hatiku
saat ini. Napasku masih tercekat. Sambil mengadahkan wajahku ke atas aku
memandang kunang-kunang yang terbang menari seolah berusaha menghiburku. Dan
sembari membekap luka ini sambil menahan perih, aku berdoa pada Tuhan agar
mempertemukanku kembali pada jodohku, yang tidak beristri.