Rabu, 06 Agustus 2014

Cinta Dalam Diam

“...Gue ngga akan menyesal Cha, karena gue ngga mencintai lo dalam diam.” Kalimat yang sudah bertahun-tahun kudengar itu kembali terngiang di telingaku. Memecah konsentrasiku pada pekerjaan baruku ini.
 Chrys, tolong agak miring ke kanan sedikit badannya.” Aku mencoba mengarahkan gaya pria yang berdiri tegap beberapa langkah di depanku ini. Pria itu tersenyum manis kepadaku. Dia memiringkan badannya sedikit ke arah kanan sampai menyentuh lengan gadis yang berdiri persis di sampingnya. Gadis itu mendongakkan kepalanya untuk bisa melihat wajah pria itu. Mereka tersenyum saling berpandangan mesra. Aku menelan ludah melihat kemesraan yang mereka ciptakan.
“Oke, lihat ke arah kamera ya. Satu, dua, tiga. Cheers!”
*****
Dua setengah tahun sebelumnya…
“Seriusan lo tolak, Cha?”
“Iya serius, kenapa emangnya? Ngga harus diterima jugakan kalo emang ngga ada rasa?”
“Ah, parah sih lo Cha. Padahal dia perfect banget loh. Lo sih trauma lama masih aja dibawa-bawa.”
Trauma? Aku hanya tersenyum untuk membalas ucapan Mala, sahabat terdekatku di kampus. Dialah Diary berjalan yang selama ini selalu menjadi tempat aku menumpahkan semua cerita-ceritaku, khususnya tentang cinta. Dan dari seluruh cerita yang aku sampaikan, hanya satu kata yang menjadi kesimpulannya tentangku: trauma. Aku tak bisa langsung mengiyakan kesimpulannya itu. Karena aku tidak pernah menutup diri dari lelaki manapun, aku punya banyak teman laki-laki kok. Hanya saja aku sudah malas untuk jatuh cinta lagi. Ya, malas. Mungkin kata itu yang lebih tepat disematkan untukku. Aku malas harus menyesuaikan diri lagi dengan laki-laki yang menjadi pasanganku, aku malas harus membatasi diri lagi dengan teman-teman priaku, dan yang paling jadi alasan adalah aku malas menghadapi kegagalan lagi.
Kegagalan yang kemarin masih saja menjadi benteng yang harus dihadapi laki-laki yang mau mendekatiku. Jadi wajar saja, sulit untuk mereka masuk dalam ceritaku yang baru. Ceritaku yang lama terlampau memakan banyak waktuku. Empat tahun bukan waktu yang sebentar dalam mempertahankan suatu hubungan. Halaman demi halaman aku tulis, bersama dia, masa laluku. Sekian lama harusnya kisah ini cukup dimengertinya. Atau aku mestinya cukup untuk dia pahami. Namun cinta tak pernah sesederhana bayanganku. Pahit, iya. Empat tahun sudah aku lewati bersama dia, tapi dia tetap tidak mengerti bahwa tidak ada harapan yang dapat aku pertahankan dalam jarak sejauh itu. Janji-janji dan rencana mengenai pertunangan kami setelah kuliahku selesai sekarang hanya tersisa menjadi luka. Aku kalah melawan waktu dan jarak yang memisahkan kami. Aku putuskan begitu saja hubungan cinta kami secara sepihak karena kini cintanya hanya tinggal bayang-bayang saja dalam hatiku. Aku tau hatiku kini sudah kosong tanpa penghuni. Aku ingin sendiri.
Dalam kesendirian, aku seperti mati rasa. Dua tiga lelaki mencoba mendekati dan masuk ke dalam hati tapi tetap pintu hati ini ini tidak terbuka, bergeming saja tidak. Apa mungkin benar kata Mala kalau aku trauma? Entahlah.
Sekarang sudah bukan saatnya bagiku untuk memikirkan soal cinta. Aku masih punya tugas dan mimpi-mimpi yang belum terlaksana. Ah iya! Tugas! Aku lupa membawa tugasku untuk mata kuliah Pengantar Bisnis! Sudah seminggu yang lalu Dosen memberikan tugas pribadi kepadaku sebagai pengganti absensiku saat membolos dua kali pertemuan dalam mata kuliahnya. “Sudah bagus dikasih kesempatan sekarang aku malah lupa membawa tugasnya, aduh gimana ini!!! Tinggal sepuluh menit lagi sampai jam mata kuliahnya dimulai!” aku menggerutu sendiri dalam hati sambil kebingungan harus berbuat apa. Ketika aku hendak mengeluarkan hand phone untuk menghubungi Mala, tiba-tiba saja aku tersentak oleh teguran seseorang.
“Cha, ngapain disini? Yuk masuk, Bu Eva sebentar lagi masuk loh.” Seseorang yang sangat kuhapal garis wajahnya ini menegurku dengan lembut.
“Jo, aduh gini Jo…” Aku cemas tidak tau harus berkata apa pada Johan, salah satu teman sekelasku ini.
“Kenapa, Cha?” Tanya Johan menatapku dengan tatapannya yang teduh.
“Hmm gini Jo, lo ingetkan gue udah dua kali absen mata kuliahnya Bu Eva? Gue dikasih kesempatan buat ganti absen gue dengan tugas Jo. Tapi sekarang gue lupa bawa tugasnya. Aduh, gimana nih ya Jo? Gue pasti kena omel deh.”
“Loh Cha! Ayo cepetan kita ambil tugas lo itu!”
“Kita?” kataku seraya menunjuk ke arah Johan dan diriku sendiri.
“Iya, kita! Nggak mungkin kan lo balik ke rumah naik angkot. Makan waktu banyak Cha! Udah mending sekarang lo gue anter ke rumah buat ambil tugas lo itu.”
“Eh tapi, nanti kita...”
“Udah Cha, ayo cepetan! Jangan buang waktu!” belum selesai aku berkata-kata, Johan sudah menarikku ke arah parkiran motor.
Dalam perjalanan aku hanya bisa memikirkan bagaimana resiko kalau kami telat. Aku ingat betul peraturan yang diberikan oleh Bu Eva, beliau hanya mengkompromi Mahasiswa yang terlambat lima menit setelah ia masuk kelas. Selebihnya, jangan harap bisa ikut mata kuliahnya pada hari itu.
“Nggak usah takut, Cha. Kita pasti bisa masuk kelas kok.” Johan membuyarkan pikiranku, seolah-olah dia bisa membaca apa yang sedang aku pikirkan.
“Gue Cuma nggak enak aja sama lo, Jo. Gara-gara gue nanti lo bisa ikutan telat juga.”
“Ya ampun, Cha. Apa sih yang ngga buat lo?” Johan tertawa sembari melajukan sepeda motornya dengan kecepatan yang lebih tinggi.
Johan, pria yang punggungnya ada di hadapanku ini memang selalu menaruh perhatiannya padaku. Sudah tiga Minggu sejak Johan menyatakan perasaannya kepadaku dan memintaku untuk menjadi kekasihnya. Aku menolaknya, tapi entah mengapa sampai sekarang Johan masih tidak mengubah sikapnya kepadaku. Seperti biasa, aku masih tetap diistimewakannya. Padahal banyak wanita-wanita cantik di kampus kami yang mengaguminya, tapi Johan tidak pernah menggubrisnya. “Cinta butuh waktu, Cha.” Itulah yang Johan katakan padaku ketika aku menanyakan alasannya kenapa ia tidak pernah mau meladeni salah satu dari wanita yang mendekatinya.
Ya, cinta butuh waktu. Hal itulah yang juga aku katakan kepada Johan ketika aku menolaknya. Saat itu aku merasa hanya butuh waktu untuk benar-benar bisa melihat Johan sebagai seseorang yang lebih dari sekedar teman. Kalau dijalani beberapa waktu lagi, mungkin aku bisa mencintainya. Kenapa tidak? Johan adalah seseorang yang pantas untuk dicintai dan dimiliki. Dia tegas, pintar, baik, dan tampan. Hampir semua kriteria yang aku inginkan untuk menjadi pacar ada dalam dirinya. Hanya saja, aku tidak merasakan cinta dalam hatiku ketika aku berada di dekatnya. Perasaan yang juga aku rasakan pada dua pria yang mencoba mendekatiku setelah aku putus cinta. Sejak memutuskan untuk berpisah dengan Yansen, aku memang tidak pernah lagi merasakan debar-debar cinta yang menyenangkan seperti dulu.
“Cha, udah sampai. Buruan ambil tugas lo terus kita ngebut ke kampus”
“Oke” kataku tanpa pikir panjang.
Sesampainya di kampus, betul saja kami telat. Tapi berkat bujukan dan predikat Johan sebagai anak kesayangan Bu Eva, kami berhasil masuk mengikuti mata kuliah Pengantar Bisnis pada hari itu. Ini sudah ke sekian kalinya Johan menyelamatkan absensiku di kelas. Sebetulnya aku bukan termasuk Mahasiswi yang malas masuk kelas. Hanya saja kesibukanku dalam organisasi BEM akhir-akhir ini banyak mengharuskanku untuk meninggalkan kelas untuk sementara. Sebuah Festival musik yang dipercayakan untuk aku ketuai tinggal menghitung hari dan banyak persiapan yang harus aku lakukan untuk kesuksesan acara itu.
******
Hari yang aku tunggu akhirnya tiba, Festival Musik di kampusku akhirnya terlaksana. Aku juga mengundang semua teman-teman dekatku di kampus untuk ikut menghadiri Festival itu dari awal hingga akhir acara. Aku ingin mereka melihat hasil bolosku selama beberapa pekan terakhir ini. Johan juga ada disana, membawa kamera yang menggantung di lehernya. Aku tersenyum padanya, ia langsung memotretku. Di pertengahan acara, Johan memanggilku ke sebuah stand yang menjual berbagai jenis minuman segar. Kami duduk disana sambil menyeruput es buah di kedua tangan kami.
“Gimana Jo acara ini? Seru kan” tanyaku sambil membuka percakapan kami.
“Seru, Cha. Lo berhasil” senyum Johan merekah. Manis sekali. Tapi entah mengapa, sampai saat ini senyum Johan masih tidak menimbulkan reaksi apapun dalam diriku. Padahal, aku sudah berusaha untuk mencintainya.
“Cha, sampai saat ini masih Cuma lo yang ada di pikiran gue.” Johan berkata lembut, sambil menatapku. Ah, otakku langsung berpikir kemana muara arah pembicaraan ini.
“Apa nggak bisa lo coba untuk menerima gue?”,
“Nah kan! Betul tebakanku”, pikirku dalam hati.
“Cha…” Johan kembali menyebut namaku untuk meminta jawaban.
Aku memalingkan wajahku dari tatapan mata Johan yang memelas. Tepat di saat aku memalingkan wajah, aku menangkap sepasang mata sedang melihat ke arahku tajam. Seorang pria dengan setelan kaos dan blue jeans yang berdiri di antara kerumunan orang-orang itu menatap aku dengan cara yang aneh. Darahku berdesir. Apa ini?
            “Cha, jawab Chaa…” suara Johan membuatku otomatis berpaling lagi ke arahnya.
Aku masih terdiam, aku masih memikirkan perasaan aneh yang tiba-tiba merangsuk masuk ke dalam diriku. Reaksi aneh yang membuat degup jantungku berdetak lebih cepat. Aku pernah merasakan ini, terakhir aku merasakan ini ketika Yansen menggenggam erat tanganku di Airport saat ia hendak pergi ke Jerman, untuk melanjutkan kuliahnya. Saat itu aku masih mencintainya. Cinta? Apa reaksi barusan timbul karena aku mulai mencintai Johan? Aku mulai bertanya-tanya dengan pikiranku sendiri. Tidak! Aku yakin betul aku merasakan reaksi ini ketika aku memalingkan wajahku dari Johan. Iya, aku sempat menahan napas tepat ketika aku menangkap sepasang mata dari pria yang menatapku tadi. Tapi, siapa pria itu?
            “Cha, jadi bagaimana” Tanya Johan untuk ketiga kalinya
Aku membalas pertanyaan Johan dengan senyuman, aku tau betul isi hatiku, aku tidak mencintainya.
            “Jo, sekali lagi. Maaf.” Aku kembali tersenyum sebelum melanjutkan kata-kataku. “Gue nggak bisa nerima lo, lo teman yang baik buat gue.”
Johan terdiam mendengar ucapanku. Terlihat jelas kekecawaan dalam raut mukanya.
            “Kali ini, apa alasan lo nolak gue masih sama dengan sebelumnya Cha?”,
            “…”
            “Cha, lo perlu tau, sebetulnya gue nggak bisa terima alasan lo yang bilang cinta itu butuh waktu. Jujur Cha, percaya atau nggak, gue suka sama lo sejak pertama gue melihat lo perkenalin diri di kelas. Sejak saat itu gue selalu melihat lo, Cha. Tapi mungkin lo yang sampai sekarang nggak bisa melihat gue dengan cara yang sama.”
            Aku kembali tersenyum mendengar penjelasan Johan. “Jo, terima kasih. Lo teman yang baik.”
Johan hanya menunduk lesu, lalu ia mendongakkan kembali kepalanya dan menatapku “Ngga apa-apa Cha. Setidaknya gue bersyukur bisa mengungkapkan semuanya ke lo. Gue ngga akan menyesal Cha, karena gue ngga mencintai lo dalam diam.”
Aku hanya tersenyum, terpesona dengan ketegaran hati Johan. Penampilan Guest Star dalam Festival Musik ini akan segera dimulai, aku dengan sigap menarik Johan untuk segera pindah ke dekat panggung.
“Ayo Jo kita kesana biar lebih kelihatan!”, kataku berusaha memecah kebekuan di antara kami.
“Nggak, Cha. Lo aja. Gue masih mau disini,” Johan berkata dengan tatapan lesu. Ada perasaan bersalah yang menikam hatiku saat melihat Johan.
“Ya sudah, gue ke sana duluan ya! Nanti nyusul ya Jo!”
Johan hanya mengangkat jempolnya dan tersenyum ke arahku.
Aku berlari ke tengah kerumunan orang banyak yang asik terbawa alunan lagu yang dimainkan oleh bintang tamu kami. Aku berusaha menyelinap di antara kerumunan orang banyak untuk bisa menuju ke tenda di dekat panggung tempat panitia berkumpul.
Dengan susah payah akhirnya aku berhasil masuk ke tenda panitia. Di sana teman-temanku sedang berkumpul dan beberapa di antara mereka sibuk mengerjakan tugas yang menjadi bagian mereka.
Di tenda panitia aku melihat beberapa orang yang tidak aku kenal sedang bersantai berbincang dengan rekan-rekan panitiaku. Mataku langsung menangkap sosok pria jangkung yang tadi menatapku ketika aku sedang bersama Johan. Pria itu sedang berbicara dengan temanku yang juga merupakan panitia dalam acara ini.
“Cha, kemana aja dari tadi” Mala menepuk bahuku.
            “Eh, lo Mal. Tadi gue ngobrol sama Johan sebentar di sana,” kataku sambil menunjuk ke arah stand penjualan minuman. Aku lihat Johan masih duduk di sana ditemani dengan beberapa teman-teman sekelasku.
            “Johan nembak lo lagi ya Cha?” Tanya Mala sambil tersenyum menggodaku.
            “Iya Mal, dan lagi-lagi, gue nolak dia.”
            “Ah lo Cha! Apa sih kurangnya Johan Cha, gue yakin lo sebenernya juga sukalah sama dia, Cuma lo takut aja ngejalanin cinta yang baru lagi. Move on Cha! Move on! Udah nggak zamannya masa lalu ngiket kita!”
Aku hanya tersenyum geli melihat antusias Mala dalam mengucapkan kalimat barusan. Apa sahabatku ini masih nggak percaya kalau aku sudah berusaha membuka hatiku untuk Johan? Yaa sudahlah, aku saat ini tidak ingin membicarakan itu dengan Mala. Ada yang lebih menarik perhatianku hari ini.
            “Mal, itu mereka siapa ya yang lagi ngobrol sama Cliff?” tanyaku sambil mengarahkan pandangan ke arah kumpulan beberapa orang yang tidak kukenal itu.
            “Kok mereka bisa masuk ke tenda panitia? Kan udah gue bilang, selain panitia nggak ada yang boleh masuk ke sini.”
            “Oh itu Cha. Ya ampun, masa lo nggak tau Cha. Mereka itu anggota BEM Kampus kita juga Cha, tapi dari Kampus Cabang kita yang di Bekasi. Mereka diutus petinggi kampus untuk bantuin acara kita disini. Otomatis mereka panitia juga kan”
            “Oh gitu…”
            “Oia Cha, dari tadi kita nyariin lo, kita butuh password buat buka akun email kepanitiaan kita, Cuma lo kan yang tau passwordnya?”, Tanya Mala dengan sedikit tergesa-gesa.
            “Oh, itu gue catet kok di buku catetan gue,” aku merogoh kantongku dan tas kecil yang aku pakai untuk mencari buku catatanku. Tidak ada. Aku mulai panik dan membongkar seluruh isi tasku.
 “Gawat, buku catetan gue ilang Mal! Kayaknya jatoh deh pas tadi gue desak-desakan di kerumunan orang-orang”
“Ya ampun Cha, itukan penting banget. Terus gimana dong, pihak sponsor minta maksimal lusa kita sudah harus balas email dari mereka.” Mala mulai ikut merasakan kepanikanku.
“Iya Mal gue tau. Oke oke, gue cari dulu ya di tengah-tengah sana, siapa tau ketemu.” Kataku berusaha menenangkan Mala.
Sudah hampir seluruh tempat aku selusuri tapi sepertinya buku catatanku betul-betul hilang. Ini bisa gawat, semua hal-hal penting aku catat di dalam buku itu. Aku memang tipikal orang yang pelupa, jadi hal-hal yang memang penting selalu aku catat dalam buku catatan yang selalu aku bawa kemanapun aku pergi. Tapi sekarang buku itu hilang!
            “Icha?” suara berat seorang pria memaksaku untuk menoleh ke arahnya. Pria yang tadi menatapku.
            “Saya?” tanyaku heran. “Darimana orang ini tau namaku?” tanyaku dalam hati.
            “Nyari ini ya?” pria itu menyodorkan buku kecil bergambar Hello Kitty. Buku catatanku!
            “Ah iya! Itu buku catatan gue! Makasih ya!” aku segera mengambil buku catatanku dari tangan pria itu. Aku kembali menahan nafas ketika tanganku menyentuh jari-jari pria itu. “Aduh, perasaan apa ini!” gerutuku dalam hati.
            “Oh iya, kok lo bisa tau nama gue ya” tanyaku pada pria itu.
            “Itu, di name tag lo ada namanya.” kata pria itu menunjuk ke arah name tag yang aku kalungkan di leher.
Aku tesipu malu. Entah kenapa tatapan dari pria ini sungguh membuat aku merasa senang dan… nyaman. Apa-apaan ini, aku bukan orang yang percaya cinta pada pandangan pertama. Aku juga selalu percaya bahwa untuk mencintai seseorang kita memerlukan waktu yang tidak sebentar.
“Ah iya, makasih banget ya, oia…”
“Cha! Ketemu nggak bukunya?” Mala memanggilku dari kejauhan. Belum sempat aku menanyakan namanya, pria itu sudah permisi untuk pergi.
*****
Aku memperhatikan gadis itu, senyumnya, lekukan wajahnya, tatapan matanya. Ah, gadis itu indah. Sayang sekali tatapan mata dan senyumannya tidak ditujukan kepadaku. Gadis itu tersenyum pada pria tampan yang duduk di hadapannya. Kalau boleh kutebak, mungkin pria itu adalah pacarnya. Apa ya yang mereka bicarakan? Kalau kulihat dari raut wajah pria yang terus berbicara itu sepertinya pembicaraan mereka adalah sesuatu yang serius. Entahlah, itu bukan urusanku. Aku jauh-jauh datang ke sini hanya untuk membantu dan mengapresiasi kerja keras rekan-rekanku dalam menyelenggarakan acara ini. Tapi ternyata Tuhan memberikan kesempatan kepadaku untuk melihat sosok cantik itu. Astaga, aku harus bisa mengendalikan diriku. Gadis itu sudah mencuri perhatianku! Aku sudah berusaha mengendalikan diri, tapi tetap saja mata ini tidak mau beralih dari gadis itu, tepat ketika aku mau memalingkan wajahku, gadis itu menoleh ke arahku. Pandangan mata kami bertabrakan. Aku merasakan getaran-getaran yang menyenangkan dalam hatiku. Getaran yang pernah aku rasakan beberapa bulan yang lalu saat aku jatuh cinta dengan Grace. Jatuh cinta? Mustahil getaran ini adalah cinta! Baru saja aku dikecewakan oleh cinta, masakan aku bisa merasakan cinta lagi dalam waktu secepat ini. Lagipula siapa gadis itu? Aku saja tidak kenal dengannya.
Gadis itu beranjak pergi dari tempat duduknya, sebelum pergi ia tersenyum kepada pria yang sedari tadi berbicara dengannya. Tanpa disadari aku juga melangkah dari tempatku berdiri. Dengan sendirinya kakiku bergerak mengikuti arah gadis itu pergi, tak jauh dari tempatku semula, gadis itu menjatuhkan sebuah buku kecil. Aku memungut buku itu, buku kecil bergambar Hello Kitty. Sepertinya gadis itu tidak sadar sudah menjatuhkan buku ini. Aku tersenyum geli memikirkan buku yang lebih cocok untuk adikku yang masih SD ini ternyata dimiliki oleh seorang gadis cantik yang sepertinya seumuran denganku. Mataku menyapu kerumunan orang banyak. “Kemana gadis itu pergi?” tanyaku lebih kepada diri sendiri. Karena tidak berhasil menemukan gadis itu, akhirnya kuputuskan untuk ke tenda panitia tempat aku bisa menemukan Cliff, temanku. Di tenda panitia aku melihat gadis itu lagi. Sepertinya gadis itu salah satu panitia dalam acara in, pikirku dalam hati.
“Woi Chrys! Udah lama sampe?” suara Cliff membuyarkan pikiranku tentang gadis itu.
“Hei Cliff, ngga kok baru sampe nih gue.” Jawabku sambil menjabat tangan Cliff.
“Cliff, sorry nih. Hmm, lo kenal nggak sama cewe yang itu? Namanya siapa ya?” tanyaku tanpa berbasa-basi.
Cliff melirik ke gadis yang merenggut perhatianku itu. Tak lama senyum Cliff mengembang penuh arti.
“Lo suka yaa? Hahaha” Cliff memainkan alis dan matanya sembari menggodaku.
“Gue kan Cuma nanya aja Cliff” aku mencoba melontarkan nada kesal kepada Cliff. Tapi sepertinya sia-sia. Temanku yang satu ini memang pandai melihat situasi.
“Ngga usah bohong Chrys, kelihatan kali kalo lo naksir. Itu Icha, dia ketua pelaksana Festival Musik ini loh.”
Aku memandang lagi ke arah gadis itu, kini dia sedang merogoh tas yang dipakainya.
“Jadi namanya Icha.” Aku bergumam dalam hati.
“Iya namanya Icha, cantik ya? Tapi jangan dideketin deh Chrys. Udah banyak yang mau jadi pacar doi tapi ditolak mulu. Kayaknya doi trauma pacaran deh.” Cliff memberikan informasi yang tidak aku minta. Dan sepertinya tanpa sadar apa yang aku gumamkan dalam hati terucap juga oleh bibirku.
Mataku terfokus kembali pada gadis itu, sekarang gadis itu membongkar seluruh isi tasnya. Astaga! Gadis itu pasti mencari bukunya. Aku harus segera mengembalikannya. Aku segera menyudahi obrolanku dengan Cliff dan berlari keluar tenda karena gadis itu sudah tidak ada lagi disini. Aku mencari-cari gadis itu tapi mataku kehilangan sosok indah itu. Aku menjinjitkan kakiku untuk bisa melihat gadis itu di tengah keramaian ini. Aha! Itu dia! Aku berlari kecil menghampiri gadis yang terlihat cemas itu.
“Icha?” suaraku agak tercekat ketika memanggil nama gadis itu. Lantas gadis itu tersentak dan menoleh kepadaku.
            “Saya?” gadis itu bertanya dengan wajah heran. Gadis itu pasti bingung bagaimana aku bisa mengetahui namanya.
            “Nyari ini ya?” aku menyodorkan buku kecil bergambar Hello Kitty yang tadi dijatuhkannya.
            “Ah iya! Itu buku catatan gue! Makasih ya!” gadis itu segera mengambil buku catatannya dari tanganku dengan senyum yang terhias indah di wajahnya. Darahku berdesir. Aku bahkan sempat menahan nafas ketika tangannya tak sengaja menyentuh jari-jemariku. “Aduh, perasaan apa ini!” aku mendesah dalam hati.
            “Oh iya, kok lo bisa tau nama gue ya” gadis itu bertanya kepadaku, aku baru sadar gadis ini memiliki suara yang riang dan menyenangkan. Dan aku, aku suka mendengar suaranya.
            “Itu, di name tag lo ada namanya.” Kataku sembari menunjuk ke arah name tag yang ia kenakan. Aku terpaksa berbohong. Aku tidak mungkin bilang bahwa aku menanyakan namanya pada temanku karena dari awal gadis itu sudah merenggut perhatianku. Tidak mungkin. Mana ada orang yang percaya cinta pada pandangan pertama di zaman sekarang ini. Akupun bukan orang yang percaya akan hal itu. Walaupun sepertinya sebentar lagi aku akan mempercayainya, karena gadis itu sudah membuatku jatuh cinta di awal pandangan mata kami bertemu.
*****
            Di malam selesainya acara konser yang kutangani tersebut aku mendapat ucapan selamat dari nomor yang tak kukenal. Ternyata itu nomor Chrys, pria yang sempat membuat hatiku tersentak oleh tatapannya. Entah karena apa dan bagaimana, kami akhirnya jadi sering bahkan rutin berbalas-balasan pesan singkat. Bahkan tak jarang Chrys meneleponku selama berjam-jam hanya untuk mengobrolkan sesuatu yang mungkin tidak terlalu penting. Ya, kami cocok dalam banyak hal.
            Tak terasa sudah hampir lima bulan kami rutin berkomunikasi, aku seperti merasakan kembali perasaan yang dulu sempat kurasakan saat berpacaran dengan Yansen. Aku rasa aku mulai mencintai Chrys. Tidak! Aku yakin, aku memang mencintainya. Hanya saja hubungan yang ada di antara kami lebih tepat jika disebut sebagai persahabatan. Tak pernah ada kata cinta terucap dari masing-masing bibir kami. Aku sebagai wanita tentu hanya bisa menunggu Chrys yang mengatakan itu terlebih dahulu. Meski aku merasa yakin Chrys juga merasakan hal yang sama terhadapku tapi tetap saja, aku hanya bisa mencintainya dalam diam.
            Drrrd drrrrrd... Handphoneku yang kupegang bergetar menerima pesan singkat.
Received: Today, 07:45 AM
From: Chrys
Cha jadikan hari ini lo hunting foto? Oia sekalian ya gue mau ajak seseorang yang spesial buat gue kenalin ke lo. Ketemu di taman biasa ya, Cha! Jam 10 on time... See you J
“Seseorang? Spesial?” aku menggumamkan pikiranku. “Ah, paling adiknya yang suka fotografi juga.” Aku langsung berpikir cepat dan tersenyum sendiri karena Chrys mau mengajak adiknya untuk berkenalan denganku. Tiga bulan yang lalu aku mulai menyukai dunia fotografi dan tak terasa aku mulai menekuninya bukan hanya sebagai hobi di luar kegiatan kuliahku. Chrys tau itu, dan tak jarang ia menemaniku untuk mengambil gambar di tempat-tempat yang rupawan.
***
            Aku menghempaskan handphoneku dari genggaman. Sebetulnya aku tak menyangka hari ini akan terjadi. Bahkan aku masih mengingat jelas kejadian semalam saat Grace datang ke rumahku sambil menangis mengungkapkan perasaannya. Ini sudah kesekian kalinya Grace memintaku kembali padanya. Aku tau betul, ia mengorbankan segala keangkuhannya sebagai wanita sehingga ia mau menyatakan terlebih dahulu perasaannya itu. Tapi entahlah, sampai tadi malam bahkan sampai saat ini aku masih saja tak bisa melepas bayang Icha, gadis periang yang selama lima bulan ini berada di dekatku.
            Sudah lima bulan kami intens berkomunikasi, tapi aku tak tahu mengapa. Aku tak memiliki keberanian untuk mengungkapkan langsung perasaanku. Aku masih teringat perkatan Cliff saat pertama kali aku melihat Icha. Gadis itu masih trauma dengan masa lalunya. Bahkan mungkin gadis itu belum bisa melupakan cinta pertamanya. Aku masih saja mempertanyakan hal itu pada diriku sendiri tanpa berani bertanya langsung pada Icha. Meski lima bulan ini kami terbilang lebih dekat dari seorang sahabat. Topik pembicaraan kami tak pernah menyentuh kata cinta. Entah hanya karena perasaanku saja atau memang begitu kenyataannya, tapi tiap kali aku mengarahkan topik pembicaraan ke arah yang lebih sensitif, Icha selalu mengalihkan pembicaraan kami ke arah lain.
            Selalu begitu. Seharusnya selama lima bulan ini Icha tau persis bagaimana perasaanku kepadanya melalui perhatian dan segala macam sikapku. Tapi kenapa gadis itu tetap tak bergeming? Apa mungkin aku hanya dianggapnya sebagai pria-pria lain yang mengaguminya? Ah! Pikiran itu sungguh menggangguku. Hingga semalam akhirnya dengan nekat dan penuh kebohongan, aku menerima Grace sebagai pacarku lagi. Kupikir untuk dapat melupakan Icha aku harus beralih pada gadis lainnya.
            Akupun bersiap menuju kamar mandi dan segera berganti pakaian. Sebelum ke taman nanti, aku harus menjemput Grace. Aku harus segera berlomba dengan waktu.
***
“Cha, maaf gue telat.” Suara Chrys yang agak parau membuyarkan lamunanku. Aku yang sedang duduk di taman sembari membersihkan lensa kameraku dari debu segera menoleh ke arahnya. Di samping Chrys berdiri seorang gadis cantik yang menggandeng tangan Chrys. “Bukankah adik Chrys masih SMP, kenapa dewasa sekali tampilannya.” Pikirku dalam hati.
            Aku segera berdiri menyambut mereka. Baru saja aku hendak mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan gadis itu. Tiba-tiba Chrys mengucapkan kalimat yang menusuk hatiku, membunuh semua perasaanku. “Kenalin Cha, ini Grace, pacar gue.” Chrys memperkenalkan gadis di sampingnya itu. Entah bagaimana perasaanku, yang aku tau aku hampir pingsan saat mendengarnya. Aku memaksakan senyum dan menahan sebisa mungkin agar air mataku tidak turun mengalir di depan mereka. “Icha” kataku singkat sambil bersalaman dengan gadis itu.
            “Jadi gimana Cha, hari ini mau hunting foto dimana?” suara Chrys yang agak kaku membuatku tersadar kembali dengan kenyataan yang ada. “Ehm.. sorry Chrys, kayaknya hari ini gue ngga enak badan.” Dengan salah tingkah aku mulai berbohong. “Sorry banget Chrys. Gue balik duluan ya!” aku segera berlari meninggalkan mereka. Mungkin mereka bingung melihat sikapku yang aneh. Biar saja. Biar saja mereka bingung memikirkanku. Yang penting aku bisa segera lari dari hadapan mereka berdua.
            Sesampainya di rumah aku langsung menangis. Entah menangisi apa. Mungkin menangisi kebodohanku. Mungkin juga menangisi hubungan mereka. Bagaimana mungkin Chrys menganggap hubungan kami selama ini tanpa sesuatu yang spesial. Bagaimana mungkin aku dan Chrys tidak dapat melanjutkan hubungan kami ke suatu hubungan yang lebih istimewa? Apa ini karena salahku yang tidak mengungkapkan perasaanku secara langsung kepada Chrys? Apa ini semua salahku, karena hanya mencintai dalam diam?
            “...Gue ngga akan menyesal Cha, karena gue ngga mencintai lo dalam diam.” Kalimat yang pernah Johan katakan kepadaku tiba-tiba saja terdengar jelas di telingaku. Dan mungkin kalimat itu akan terus terngiang-ngiang di telingaku. Entah sampai kapan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar