“...Gue
ngga akan menyesal Cha, karena gue ngga mencintai lo dalam diam.” Kalimat yang sudah bertahun-tahun kudengar itu kembali
terngiang di telingaku. Memecah konsentrasiku pada pekerjaan baruku ini.
“Chrys, tolong agak miring ke
kanan sedikit badannya.” Aku mencoba
mengarahkan gaya pria yang berdiri tegap beberapa langkah di depanku ini. Pria itu tersenyum
manis kepadaku. Dia
memiringkan badannya
sedikit ke arah kanan sampai menyentuh lengan gadis yang berdiri
persis di sampingnya. Gadis itu mendongakkan kepalanya untuk bisa melihat
wajah pria itu. Mereka tersenyum
saling berpandangan mesra. Aku menelan ludah melihat kemesraan yang mereka
ciptakan.
“Oke, lihat ke arah kamera ya. Satu, dua, tiga.
Cheers!”
*****
Dua
setengah tahun sebelumnya…
“Seriusan lo tolak, Cha?”
“Iya serius, kenapa emangnya? Ngga harus diterima
jugakan kalo emang ngga ada rasa?”
“Ah, parah sih lo Cha. Padahal dia perfect banget loh. Lo sih trauma lama
masih aja dibawa-bawa.”
Trauma?
Aku hanya tersenyum untuk membalas ucapan Mala, sahabat terdekatku di kampus.
Dialah Diary berjalan yang selama ini
selalu menjadi tempat aku menumpahkan semua cerita-ceritaku, khususnya tentang
cinta. Dan dari seluruh cerita yang aku sampaikan, hanya satu kata yang menjadi
kesimpulannya tentangku: trauma. Aku tak bisa langsung mengiyakan kesimpulannya
itu. Karena aku tidak pernah menutup diri dari lelaki manapun, aku punya banyak
teman laki-laki kok. Hanya saja aku sudah malas untuk jatuh cinta lagi. Ya,
malas. Mungkin kata itu yang lebih tepat disematkan untukku. Aku malas harus
menyesuaikan diri lagi dengan laki-laki yang menjadi pasanganku, aku malas
harus membatasi diri lagi dengan teman-teman priaku, dan yang paling jadi
alasan adalah aku malas menghadapi kegagalan lagi.
Kegagalan
yang kemarin masih saja menjadi benteng yang harus dihadapi laki-laki yang mau
mendekatiku. Jadi wajar saja, sulit untuk mereka masuk dalam ceritaku yang
baru. Ceritaku yang lama terlampau memakan banyak waktuku. Empat tahun bukan
waktu yang sebentar dalam mempertahankan suatu hubungan. Halaman demi halaman
aku tulis, bersama dia, masa laluku. Sekian lama harusnya kisah ini cukup
dimengertinya. Atau aku mestinya cukup untuk dia pahami. Namun cinta tak pernah
sesederhana bayanganku. Pahit, iya. Empat tahun sudah aku lewati bersama dia,
tapi dia tetap tidak mengerti bahwa tidak ada harapan yang dapat aku
pertahankan dalam jarak sejauh itu. Janji-janji dan rencana mengenai
pertunangan kami setelah kuliahku selesai sekarang hanya tersisa menjadi luka.
Aku kalah melawan waktu dan jarak yang memisahkan kami. Aku putuskan begitu
saja hubungan cinta kami secara sepihak karena kini cintanya hanya tinggal
bayang-bayang saja dalam hatiku. Aku tau hatiku kini sudah kosong tanpa
penghuni. Aku ingin sendiri.
Dalam
kesendirian, aku seperti mati rasa. Dua tiga lelaki mencoba mendekati dan masuk
ke dalam hati tapi tetap pintu hati ini ini tidak terbuka, bergeming saja
tidak. Apa mungkin benar kata Mala kalau aku trauma? Entahlah.
Sekarang
sudah bukan saatnya bagiku untuk memikirkan soal cinta. Aku masih punya tugas
dan mimpi-mimpi yang belum terlaksana. Ah iya! Tugas! Aku lupa membawa tugasku
untuk mata kuliah Pengantar Bisnis! Sudah seminggu yang lalu Dosen memberikan
tugas pribadi kepadaku sebagai pengganti absensiku saat membolos dua kali
pertemuan dalam mata kuliahnya. “Sudah bagus dikasih kesempatan sekarang aku
malah lupa membawa tugasnya, aduh gimana ini!!! Tinggal sepuluh menit lagi
sampai jam mata kuliahnya dimulai!” aku menggerutu sendiri dalam hati sambil
kebingungan harus berbuat apa. Ketika aku hendak mengeluarkan hand phone untuk menghubungi Mala,
tiba-tiba saja aku tersentak oleh teguran seseorang.
“Cha,
ngapain disini? Yuk masuk, Bu Eva sebentar lagi masuk loh.” Seseorang yang
sangat kuhapal garis wajahnya ini menegurku dengan lembut.
“Jo,
aduh gini Jo…” Aku cemas tidak tau harus berkata apa pada Johan, salah satu
teman sekelasku ini.
“Kenapa,
Cha?” Tanya Johan menatapku dengan tatapannya yang teduh.
“Hmm
gini Jo, lo ingetkan gue udah dua kali absen mata kuliahnya Bu Eva? Gue dikasih
kesempatan buat ganti absen gue dengan tugas Jo. Tapi sekarang gue lupa bawa
tugasnya. Aduh, gimana nih ya Jo? Gue pasti kena omel deh.”
“Loh
Cha! Ayo cepetan kita ambil tugas lo itu!”
“Kita?”
kataku seraya menunjuk ke arah Johan dan diriku sendiri.
“Iya,
kita! Nggak mungkin kan lo balik ke rumah naik angkot. Makan waktu banyak Cha!
Udah mending sekarang lo gue anter ke rumah buat ambil tugas lo itu.”
“Eh
tapi, nanti kita...”
“Udah
Cha, ayo cepetan! Jangan buang waktu!” belum selesai aku berkata-kata, Johan sudah
menarikku ke arah parkiran motor.
Dalam
perjalanan aku hanya bisa memikirkan bagaimana resiko kalau kami telat. Aku
ingat betul peraturan yang diberikan oleh Bu Eva, beliau hanya mengkompromi Mahasiswa
yang terlambat lima menit setelah ia masuk kelas. Selebihnya, jangan harap bisa
ikut mata kuliahnya pada hari itu.
“Nggak
usah takut, Cha. Kita pasti bisa masuk kelas kok.” Johan membuyarkan pikiranku,
seolah-olah dia bisa membaca apa yang sedang aku pikirkan.
“Gue
Cuma nggak enak aja sama lo, Jo. Gara-gara gue nanti lo bisa ikutan telat
juga.”
“Ya
ampun, Cha. Apa sih yang ngga buat lo?” Johan tertawa sembari melajukan sepeda
motornya dengan kecepatan yang lebih tinggi.
Johan,
pria yang punggungnya ada di hadapanku ini memang selalu menaruh perhatiannya padaku.
Sudah tiga Minggu sejak Johan menyatakan perasaannya kepadaku dan memintaku
untuk menjadi kekasihnya. Aku menolaknya, tapi entah mengapa sampai sekarang
Johan masih tidak mengubah sikapnya kepadaku. Seperti biasa, aku masih tetap
diistimewakannya. Padahal banyak wanita-wanita cantik di kampus kami yang
mengaguminya, tapi Johan tidak pernah menggubrisnya. “Cinta butuh waktu, Cha.”
Itulah yang Johan katakan padaku ketika aku menanyakan alasannya kenapa ia
tidak pernah mau meladeni salah satu dari wanita yang mendekatinya.
Ya,
cinta butuh waktu. Hal itulah yang juga aku katakan kepada Johan ketika aku
menolaknya. Saat itu aku merasa hanya butuh waktu untuk benar-benar bisa
melihat Johan sebagai seseorang yang lebih dari sekedar teman. Kalau dijalani
beberapa waktu lagi, mungkin aku bisa mencintainya. Kenapa tidak? Johan adalah
seseorang yang pantas untuk dicintai dan dimiliki. Dia tegas, pintar, baik, dan
tampan. Hampir semua kriteria yang aku inginkan untuk menjadi pacar ada dalam
dirinya. Hanya saja, aku tidak merasakan cinta dalam hatiku ketika aku berada
di dekatnya. Perasaan yang juga aku rasakan pada dua pria yang mencoba
mendekatiku setelah aku putus cinta. Sejak memutuskan untuk berpisah dengan
Yansen, aku memang tidak pernah lagi merasakan debar-debar cinta yang
menyenangkan seperti dulu.
“Cha,
udah sampai. Buruan ambil tugas lo terus kita ngebut ke kampus”
“Oke”
kataku tanpa pikir panjang.
Sesampainya
di kampus, betul saja kami telat. Tapi berkat bujukan dan predikat Johan
sebagai anak kesayangan Bu Eva, kami berhasil masuk mengikuti mata kuliah
Pengantar Bisnis pada hari itu. Ini sudah ke sekian kalinya Johan menyelamatkan
absensiku di kelas. Sebetulnya aku bukan termasuk Mahasiswi yang malas masuk
kelas. Hanya saja kesibukanku dalam organisasi BEM akhir-akhir ini banyak
mengharuskanku untuk meninggalkan kelas untuk sementara. Sebuah Festival musik
yang dipercayakan untuk aku ketuai tinggal menghitung hari dan banyak persiapan
yang harus aku lakukan untuk kesuksesan acara itu.
******
Hari
yang aku tunggu akhirnya tiba, Festival Musik di kampusku akhirnya terlaksana.
Aku juga mengundang semua teman-teman dekatku di kampus untuk ikut menghadiri
Festival itu dari awal hingga akhir acara. Aku ingin mereka melihat hasil
bolosku selama beberapa pekan terakhir ini. Johan juga ada disana, membawa
kamera yang menggantung di lehernya. Aku tersenyum padanya, ia langsung
memotretku. Di pertengahan acara, Johan memanggilku ke sebuah stand yang
menjual berbagai jenis minuman segar. Kami duduk disana sambil menyeruput es
buah di kedua tangan kami.
“Gimana Jo acara ini? Seru kan” tanyaku sambil
membuka percakapan kami.
“Seru, Cha. Lo berhasil” senyum Johan merekah. Manis
sekali. Tapi entah mengapa, sampai saat ini senyum Johan masih tidak
menimbulkan reaksi apapun dalam diriku. Padahal, aku sudah berusaha untuk
mencintainya.
“Cha, sampai saat ini masih Cuma lo yang ada di
pikiran gue.” Johan berkata lembut, sambil menatapku. Ah, otakku langsung
berpikir kemana muara arah pembicaraan ini.
“Apa nggak bisa lo coba untuk menerima gue?”,
“Nah kan! Betul tebakanku”, pikirku dalam hati.
“Cha…” Johan kembali menyebut namaku untuk meminta
jawaban.
Aku
memalingkan wajahku dari tatapan mata Johan yang memelas. Tepat di saat aku
memalingkan wajah, aku menangkap sepasang mata sedang melihat ke arahku tajam.
Seorang pria dengan setelan kaos dan blue
jeans yang berdiri di antara kerumunan orang-orang itu menatap aku dengan
cara yang aneh. Darahku berdesir. Apa ini?
“Cha, jawab Chaa…” suara Johan
membuatku otomatis berpaling lagi ke arahnya.
Aku
masih terdiam, aku masih memikirkan perasaan aneh yang tiba-tiba merangsuk
masuk ke dalam diriku. Reaksi aneh yang membuat degup jantungku berdetak lebih
cepat. Aku pernah merasakan ini, terakhir aku merasakan ini ketika Yansen
menggenggam erat tanganku di Airport
saat ia hendak pergi ke Jerman, untuk melanjutkan kuliahnya. Saat itu aku masih
mencintainya. Cinta? Apa reaksi barusan timbul karena aku mulai mencintai
Johan? Aku mulai bertanya-tanya dengan pikiranku sendiri. Tidak! Aku yakin betul
aku merasakan reaksi ini ketika aku memalingkan wajahku dari Johan. Iya, aku
sempat menahan napas tepat ketika aku menangkap sepasang mata dari pria yang
menatapku tadi. Tapi, siapa pria itu?
“Cha, jadi bagaimana” Tanya Johan
untuk ketiga kalinya
Aku
membalas pertanyaan Johan dengan senyuman, aku tau betul isi hatiku, aku tidak
mencintainya.
“Jo, sekali lagi. Maaf.” Aku kembali
tersenyum sebelum melanjutkan kata-kataku. “Gue nggak bisa nerima lo, lo teman
yang baik buat gue.”
Johan
terdiam mendengar ucapanku. Terlihat jelas kekecawaan dalam raut mukanya.
“Kali ini, apa alasan lo nolak gue
masih sama dengan sebelumnya Cha?”,
“…”
“Cha, lo perlu tau, sebetulnya gue
nggak bisa terima alasan lo yang bilang cinta itu butuh waktu. Jujur Cha,
percaya atau nggak, gue suka sama lo sejak pertama gue melihat lo perkenalin
diri di kelas. Sejak saat itu gue selalu melihat lo, Cha. Tapi mungkin lo yang
sampai sekarang nggak bisa melihat gue dengan cara yang sama.”
Aku kembali tersenyum mendengar
penjelasan Johan. “Jo, terima kasih. Lo teman yang baik.”
Johan hanya menunduk lesu, lalu ia mendongakkan kembali
kepalanya dan menatapku “Ngga apa-apa Cha. Setidaknya gue bersyukur bisa
mengungkapkan semuanya ke lo. Gue ngga akan menyesal Cha, karena gue ngga
mencintai lo dalam diam.”
Aku hanya tersenyum, terpesona dengan ketegaran hati
Johan. Penampilan Guest Star dalam Festival Musik ini akan segera dimulai, aku dengan
sigap menarik Johan untuk segera pindah ke dekat panggung.
“Ayo Jo kita kesana biar lebih kelihatan!”, kataku
berusaha memecah kebekuan di antara kami.
“Nggak, Cha. Lo aja. Gue masih mau disini,” Johan
berkata dengan tatapan lesu. Ada perasaan bersalah yang menikam hatiku saat
melihat Johan.
“Ya sudah, gue ke sana duluan ya! Nanti nyusul ya
Jo!”
Johan hanya mengangkat jempolnya dan tersenyum ke
arahku.
Aku
berlari ke tengah kerumunan orang banyak yang asik terbawa alunan lagu yang
dimainkan oleh bintang tamu kami. Aku berusaha menyelinap di antara kerumunan
orang banyak untuk bisa menuju ke tenda di dekat panggung tempat panitia
berkumpul.
Dengan
susah payah akhirnya aku berhasil masuk ke tenda panitia. Di sana teman-temanku
sedang berkumpul dan beberapa di antara mereka sibuk mengerjakan tugas yang
menjadi bagian mereka.
Di
tenda panitia aku melihat beberapa orang yang tidak aku kenal sedang bersantai
berbincang dengan rekan-rekan panitiaku. Mataku langsung menangkap sosok pria
jangkung yang tadi menatapku ketika aku sedang bersama Johan. Pria itu sedang
berbicara dengan temanku yang juga merupakan panitia dalam acara ini.
“Cha, kemana aja dari tadi” Mala menepuk bahuku.
“Eh,
lo Mal. Tadi gue ngobrol sama Johan sebentar di sana,” kataku sambil menunjuk
ke arah stand penjualan minuman. Aku
lihat Johan masih duduk di sana ditemani dengan beberapa teman-teman sekelasku.
“Johan nembak lo lagi ya Cha?” Tanya
Mala sambil tersenyum menggodaku.
“Iya Mal, dan lagi-lagi, gue nolak
dia.”
“Ah lo Cha! Apa sih kurangnya Johan
Cha, gue yakin lo sebenernya juga sukalah sama dia, Cuma lo takut aja
ngejalanin cinta yang baru lagi. Move on
Cha! Move on! Udah nggak zamannya
masa lalu ngiket kita!”
Aku
hanya tersenyum geli melihat antusias Mala dalam mengucapkan kalimat barusan.
Apa sahabatku ini masih nggak percaya kalau aku sudah berusaha membuka hatiku
untuk Johan? Yaa sudahlah, aku saat ini tidak ingin membicarakan itu dengan
Mala. Ada yang lebih menarik perhatianku hari ini.
“Mal, itu mereka siapa ya yang lagi
ngobrol sama Cliff?” tanyaku sambil mengarahkan pandangan ke arah kumpulan
beberapa orang yang tidak kukenal itu.
“Kok mereka bisa masuk ke tenda
panitia? Kan udah gue bilang, selain
panitia nggak ada yang boleh masuk ke sini.”
“Oh itu Cha. Ya ampun, masa lo nggak
tau Cha. Mereka itu anggota BEM Kampus kita juga Cha, tapi dari Kampus Cabang
kita yang di Bekasi. Mereka diutus petinggi kampus untuk bantuin acara kita
disini. Otomatis mereka panitia juga kan”
“Oh gitu…”
“Oia Cha, dari tadi kita nyariin lo,
kita butuh password buat buka akun email kepanitiaan kita, Cuma lo kan yang tau
passwordnya?”, Tanya Mala dengan sedikit tergesa-gesa.
“Oh, itu gue catet kok di buku
catetan gue,” aku merogoh kantongku dan tas kecil yang aku pakai untuk mencari
buku catatanku. Tidak ada. Aku mulai panik dan membongkar seluruh isi tasku.
“Gawat, buku
catetan gue ilang Mal! Kayaknya jatoh deh pas tadi gue desak-desakan di
kerumunan orang-orang”
“Ya ampun Cha, itukan penting banget. Terus gimana
dong, pihak sponsor minta maksimal lusa kita sudah harus balas email dari
mereka.” Mala mulai ikut merasakan kepanikanku.
“Iya Mal gue tau. Oke oke, gue cari dulu ya di tengah-tengah
sana, siapa tau ketemu.” Kataku berusaha menenangkan Mala.
Sudah
hampir seluruh tempat aku selusuri tapi sepertinya buku catatanku betul-betul
hilang. Ini bisa gawat, semua hal-hal penting aku catat di dalam buku itu. Aku
memang tipikal orang yang pelupa, jadi hal-hal yang memang penting selalu aku
catat dalam buku catatan yang selalu aku bawa kemanapun aku pergi. Tapi
sekarang buku itu hilang!
“Icha?” suara berat seorang pria
memaksaku untuk menoleh ke arahnya. Pria yang tadi menatapku.
“Saya?” tanyaku heran. “Darimana
orang ini tau namaku?” tanyaku dalam hati.
“Nyari ini ya?” pria itu menyodorkan
buku kecil bergambar Hello Kitty. Buku catatanku!
“Ah iya! Itu buku catatan gue!
Makasih ya!” aku segera mengambil buku catatanku dari tangan pria itu. Aku
kembali menahan nafas ketika tanganku menyentuh jari-jari pria itu. “Aduh,
perasaan apa ini!” gerutuku dalam hati.
“Oh iya, kok lo bisa tau nama gue
ya” tanyaku pada pria itu.
“Itu, di name tag lo ada namanya.” kata pria itu menunjuk ke arah name tag yang aku kalungkan di leher.
Aku
tesipu malu. Entah kenapa tatapan dari pria ini sungguh membuat aku merasa
senang dan… nyaman. Apa-apaan ini, aku bukan orang yang percaya cinta pada
pandangan pertama. Aku juga selalu percaya bahwa untuk mencintai seseorang kita
memerlukan waktu yang tidak sebentar.
“Ah
iya, makasih banget ya, oia…”
“Cha!
Ketemu nggak bukunya?” Mala memanggilku dari kejauhan. Belum sempat aku
menanyakan namanya, pria itu sudah permisi untuk pergi.
*****
Aku
memperhatikan gadis itu, senyumnya, lekukan wajahnya, tatapan matanya. Ah,
gadis itu indah. Sayang sekali tatapan mata dan senyumannya tidak ditujukan
kepadaku. Gadis itu tersenyum pada pria tampan yang duduk di hadapannya. Kalau
boleh kutebak, mungkin pria itu adalah pacarnya. Apa ya yang mereka bicarakan?
Kalau kulihat dari raut wajah pria yang terus berbicara itu sepertinya
pembicaraan mereka adalah sesuatu yang serius. Entahlah, itu bukan urusanku.
Aku jauh-jauh datang ke sini hanya untuk membantu dan mengapresiasi kerja keras
rekan-rekanku dalam menyelenggarakan acara ini. Tapi ternyata Tuhan memberikan
kesempatan kepadaku untuk melihat sosok cantik itu. Astaga, aku harus bisa
mengendalikan diriku. Gadis itu sudah mencuri perhatianku! Aku sudah berusaha
mengendalikan diri, tapi tetap saja mata ini tidak mau beralih dari gadis itu,
tepat ketika aku mau memalingkan wajahku, gadis itu menoleh ke arahku.
Pandangan mata kami bertabrakan. Aku merasakan getaran-getaran yang
menyenangkan dalam hatiku. Getaran yang pernah aku rasakan beberapa bulan yang
lalu saat aku jatuh cinta dengan Grace. Jatuh cinta? Mustahil getaran ini
adalah cinta! Baru saja aku dikecewakan oleh cinta, masakan aku bisa merasakan
cinta lagi dalam waktu secepat ini. Lagipula siapa gadis itu? Aku saja tidak
kenal dengannya.
Gadis
itu beranjak pergi dari tempat duduknya, sebelum pergi ia tersenyum kepada pria
yang sedari tadi berbicara dengannya. Tanpa disadari aku juga melangkah dari
tempatku berdiri. Dengan sendirinya kakiku bergerak mengikuti arah gadis itu
pergi, tak jauh dari tempatku semula, gadis itu menjatuhkan sebuah buku kecil.
Aku memungut buku itu, buku kecil bergambar Hello Kitty. Sepertinya gadis itu
tidak sadar sudah menjatuhkan buku ini. Aku tersenyum geli memikirkan buku yang
lebih cocok untuk adikku yang masih SD ini ternyata dimiliki oleh seorang gadis
cantik yang sepertinya seumuran denganku. Mataku menyapu kerumunan orang
banyak. “Kemana gadis itu pergi?” tanyaku lebih kepada diri sendiri. Karena
tidak berhasil menemukan gadis itu, akhirnya kuputuskan untuk ke tenda panitia
tempat aku bisa menemukan Cliff, temanku. Di tenda panitia aku melihat gadis
itu lagi. Sepertinya gadis itu salah satu panitia dalam acara in, pikirku dalam
hati.
“Woi
Chrys! Udah lama sampe?” suara Cliff membuyarkan pikiranku tentang gadis itu.
“Hei
Cliff, ngga kok baru sampe nih gue.” Jawabku sambil menjabat tangan Cliff.
“Cliff,
sorry nih. Hmm, lo kenal nggak sama cewe yang itu? Namanya siapa ya?” tanyaku
tanpa berbasa-basi.
Cliff
melirik ke gadis yang merenggut perhatianku itu. Tak lama senyum Cliff
mengembang penuh arti.
“Lo
suka yaa? Hahaha” Cliff memainkan alis dan matanya sembari menggodaku.
“Gue
kan Cuma nanya aja Cliff” aku mencoba melontarkan nada kesal kepada Cliff. Tapi
sepertinya sia-sia. Temanku yang satu ini memang pandai melihat situasi.
“Ngga
usah bohong Chrys, kelihatan kali kalo lo naksir. Itu Icha, dia ketua pelaksana
Festival Musik ini loh.”
Aku
memandang lagi ke arah gadis itu, kini dia sedang merogoh tas yang dipakainya.
“Jadi
namanya Icha.” Aku bergumam dalam hati.
“Iya
namanya Icha, cantik ya? Tapi jangan dideketin deh Chrys. Udah banyak yang mau
jadi pacar doi tapi ditolak mulu. Kayaknya doi trauma pacaran deh.” Cliff
memberikan informasi yang tidak aku minta. Dan sepertinya tanpa sadar apa yang
aku gumamkan dalam hati terucap juga oleh bibirku.
Mataku
terfokus kembali pada gadis itu, sekarang gadis itu membongkar seluruh isi
tasnya. Astaga! Gadis itu pasti mencari bukunya. Aku harus segera
mengembalikannya. Aku segera menyudahi obrolanku dengan Cliff dan berlari
keluar tenda karena gadis itu sudah tidak ada lagi disini. Aku mencari-cari
gadis itu tapi mataku kehilangan sosok indah itu. Aku menjinjitkan kakiku untuk
bisa melihat gadis itu di tengah keramaian ini. Aha! Itu dia! Aku berlari kecil
menghampiri gadis yang terlihat cemas itu.
“Icha?” suaraku agak tercekat ketika memanggil nama
gadis itu. Lantas gadis itu tersentak dan menoleh kepadaku.
“Saya?” gadis itu bertanya dengan
wajah heran. Gadis itu pasti bingung bagaimana aku bisa mengetahui namanya.
“Nyari ini ya?” aku menyodorkan buku
kecil bergambar Hello Kitty yang tadi dijatuhkannya.
“Ah iya! Itu buku catatan gue!
Makasih ya!” gadis itu segera mengambil buku catatannya dari tanganku dengan
senyum yang terhias indah di wajahnya. Darahku berdesir. Aku bahkan sempat
menahan nafas ketika tangannya tak sengaja menyentuh jari-jemariku. “Aduh,
perasaan apa ini!” aku mendesah dalam hati.
“Oh iya, kok lo bisa tau nama gue
ya” gadis itu bertanya kepadaku, aku baru sadar gadis ini memiliki suara yang
riang dan menyenangkan. Dan aku, aku suka mendengar suaranya.
“Itu, di name tag lo ada namanya.” Kataku sembari menunjuk ke arah name tag yang ia kenakan. Aku terpaksa
berbohong. Aku tidak mungkin bilang bahwa aku menanyakan namanya pada temanku
karena dari awal gadis itu sudah merenggut perhatianku. Tidak mungkin. Mana ada
orang yang percaya cinta pada pandangan pertama di zaman sekarang ini. Akupun
bukan orang yang percaya akan hal itu. Walaupun sepertinya sebentar lagi aku
akan mempercayainya, karena gadis itu sudah membuatku jatuh cinta di awal
pandangan mata kami bertemu.
*****
Di malam
selesainya acara konser yang kutangani tersebut aku mendapat ucapan selamat
dari nomor yang tak kukenal. Ternyata itu nomor Chrys, pria yang sempat membuat
hatiku tersentak oleh tatapannya. Entah karena apa dan bagaimana, kami akhirnya
jadi sering bahkan rutin berbalas-balasan pesan singkat. Bahkan tak jarang
Chrys meneleponku selama berjam-jam hanya untuk mengobrolkan sesuatu yang
mungkin tidak terlalu penting. Ya, kami cocok dalam banyak hal.
Tak
terasa sudah hampir lima bulan kami rutin berkomunikasi, aku seperti merasakan
kembali perasaan yang dulu sempat kurasakan saat berpacaran dengan Yansen. Aku
rasa aku mulai mencintai Chrys. Tidak! Aku yakin, aku memang mencintainya.
Hanya saja hubungan yang ada di antara kami lebih tepat jika disebut sebagai
persahabatan. Tak pernah ada kata cinta terucap dari masing-masing bibir kami.
Aku sebagai wanita tentu hanya bisa menunggu Chrys yang mengatakan itu terlebih
dahulu. Meski aku merasa yakin Chrys juga merasakan hal yang sama terhadapku
tapi tetap saja, aku hanya bisa mencintainya dalam diam.
Drrrd drrrrrd... Handphoneku yang
kupegang bergetar menerima pesan singkat.
Received: Today, 07:45
AM
From: Chrys
Cha jadikan
hari ini lo hunting foto? Oia sekalian ya gue mau ajak seseorang yang spesial
buat gue kenalin ke lo. Ketemu di taman biasa ya, Cha! Jam 10 on time... See
you J
“Seseorang? Spesial?” aku menggumamkan pikiranku. “Ah,
paling adiknya yang suka fotografi juga.” Aku langsung berpikir cepat dan
tersenyum sendiri karena Chrys mau mengajak adiknya untuk berkenalan denganku.
Tiga bulan yang lalu aku mulai menyukai dunia fotografi dan tak terasa aku
mulai menekuninya bukan hanya sebagai hobi di luar kegiatan kuliahku. Chrys tau
itu, dan tak jarang ia menemaniku untuk mengambil gambar di tempat-tempat yang
rupawan.
***
Aku
menghempaskan handphoneku dari genggaman. Sebetulnya aku tak menyangka hari ini
akan terjadi. Bahkan aku masih mengingat jelas kejadian semalam saat Grace
datang ke rumahku sambil menangis mengungkapkan perasaannya. Ini sudah kesekian
kalinya Grace memintaku kembali padanya. Aku tau betul, ia mengorbankan segala
keangkuhannya sebagai wanita sehingga ia mau menyatakan terlebih dahulu
perasaannya itu. Tapi entahlah, sampai tadi malam bahkan sampai saat ini aku
masih saja tak bisa melepas bayang Icha, gadis periang yang selama lima bulan
ini berada di dekatku.
Sudah
lima bulan kami intens berkomunikasi, tapi aku tak tahu mengapa. Aku tak
memiliki keberanian untuk mengungkapkan langsung perasaanku. Aku masih teringat
perkatan Cliff saat pertama kali aku melihat Icha. Gadis itu masih trauma
dengan masa lalunya. Bahkan mungkin gadis itu belum bisa melupakan cinta
pertamanya. Aku masih saja mempertanyakan hal itu pada diriku sendiri tanpa berani
bertanya langsung pada Icha. Meski lima bulan ini kami terbilang lebih dekat
dari seorang sahabat. Topik pembicaraan kami tak pernah menyentuh kata cinta.
Entah hanya karena perasaanku saja atau memang begitu kenyataannya, tapi tiap
kali aku mengarahkan topik pembicaraan ke arah yang lebih sensitif, Icha selalu
mengalihkan pembicaraan kami ke arah lain.
Selalu
begitu. Seharusnya selama lima bulan ini Icha tau persis bagaimana perasaanku
kepadanya melalui perhatian dan segala macam sikapku. Tapi kenapa gadis itu
tetap tak bergeming? Apa mungkin aku hanya dianggapnya sebagai pria-pria lain
yang mengaguminya? Ah! Pikiran itu sungguh menggangguku. Hingga semalam
akhirnya dengan nekat dan penuh kebohongan, aku menerima Grace sebagai pacarku
lagi. Kupikir untuk dapat melupakan Icha aku harus beralih pada gadis lainnya.
Akupun
bersiap menuju kamar mandi dan segera berganti pakaian. Sebelum ke taman nanti,
aku harus menjemput Grace. Aku harus segera berlomba dengan waktu.
***
“Cha, maaf gue telat.” Suara Chrys yang agak parau
membuyarkan lamunanku. Aku yang sedang duduk di taman sembari membersihkan
lensa kameraku dari debu segera menoleh ke arahnya. Di samping Chrys berdiri
seorang gadis cantik yang menggandeng tangan Chrys. “Bukankah adik Chrys masih
SMP, kenapa dewasa sekali tampilannya.” Pikirku dalam hati.
Aku
segera berdiri menyambut mereka. Baru saja aku hendak mengulurkan tangan untuk
berjabat tangan dengan gadis itu. Tiba-tiba Chrys mengucapkan kalimat yang
menusuk hatiku, membunuh semua perasaanku. “Kenalin Cha, ini Grace, pacar gue.”
Chrys memperkenalkan gadis di sampingnya itu. Entah bagaimana perasaanku, yang
aku tau aku hampir pingsan saat mendengarnya. Aku memaksakan senyum dan menahan
sebisa mungkin agar air mataku tidak turun mengalir di depan mereka. “Icha”
kataku singkat sambil bersalaman dengan gadis itu.
“Jadi
gimana Cha, hari ini mau hunting foto
dimana?” suara Chrys yang agak kaku membuatku tersadar kembali dengan kenyataan
yang ada. “Ehm.. sorry Chrys,
kayaknya hari ini gue ngga enak badan.” Dengan salah tingkah aku mulai
berbohong. “Sorry banget Chrys. Gue
balik duluan ya!” aku segera berlari meninggalkan mereka. Mungkin mereka
bingung melihat sikapku yang aneh. Biar saja. Biar saja mereka bingung
memikirkanku. Yang penting aku bisa segera lari dari hadapan mereka berdua.
Sesampainya
di rumah aku langsung menangis. Entah menangisi apa. Mungkin menangisi
kebodohanku. Mungkin juga menangisi hubungan mereka. Bagaimana mungkin Chrys
menganggap hubungan kami selama ini tanpa sesuatu yang spesial. Bagaimana
mungkin aku dan Chrys tidak dapat melanjutkan hubungan kami ke suatu hubungan
yang lebih istimewa? Apa ini karena salahku yang tidak mengungkapkan perasaanku
secara langsung kepada Chrys? Apa ini semua salahku, karena hanya mencintai
dalam diam?
“...Gue ngga akan menyesal Cha, karena gue
ngga mencintai lo dalam diam.” Kalimat yang pernah Johan katakan kepadaku
tiba-tiba saja terdengar jelas di telingaku. Dan mungkin kalimat itu akan terus
terngiang-ngiang di telingaku. Entah sampai kapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar