Rabu, 06 Agustus 2014

Tarian Kunang-Kunang


 “Aku bisa sendiri, Ra!” Anton menghempaskan tanganku yang mencoba membantunya berdiri. “Kamu yakin, Ton? Biar aku bantu mengarahkan ke kamarmu.” Kataku kepada Anton, pasien korban kecelakaan yang mengalami patah tulang dan benturan di matanya. Ketika aku masuk ke kamar ini kulihat Anton tengah mengelus lembut tangan seorang gadis remaja. Sangat lembut dan perlahan, seolah-olah sentuhannya itu dapat menyakiti gadis manis yang sedang terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur, gadis itu koma. “Baiklah…” kata Anton pasrah, “Kamu boleh memapahku sampai kamar, biar bagaimanapun itu tugasmu kan?” ujar Anton sambil tersenyum tanpa menatapku.
Sesampainya di kamar tempat Anton selama tiga minggu ini dirawat, aku melihat sesosok wanita, wanita yang selama ini selalu setia menemui Anton di tengah masa perawatannya. Maya, itulah nama dari wanita yang selalu nampak cantik itu. Sejauh ini aku masih belum paham apakah cinta hanyalah ruang untuk dua orang atau bisa juga untuk tiga orang bahkan lebih. Saat aku tengah sibuk berbagi cinta melalui pekerjaanku sebagai seorang Suster, aku memperoleh sebuah cinta yang lain dari pasienku, Anton.
Kami pertama kali bertemu di bangku taman Rumah Sakit, ketika aku sedang beristirahat dan melakukan kebiasaanku, memandang kunang-kunang yang menari di bawah lampu penerangan. Awalnya kami hanya berbincang sederhana, Anton yang tidak bisa melihat karena perban menutupi matanya merasa bosan karena belum diizinkan pulang oleh dokter. Bahkan Anton belum diizinkan untuk turun dari tempat tidurnya, hanya saja keras kepalanya itu mampu merobohkan pantangan dokter yang melarangnya untuk berjalan dulu. Dengan keteguhannya, Anton berusaha untuk pulih kembali. Sambil berlatih berjalan, ia rajin bolak-balik dari kamarnya yang merupakan kamar rawat inap biasa ke ruang ­Intensive Care Unit, tempat adiknya dirawat. Aku yang sering merasa kelelahan akibat pekerjaankupun tak jarang selalu terhibur ketika bertemu dan tertawa bersama Anton.
Dua minggu berlalu sejak pertemuan pertamaku dengan Anton. Entah sejak kapan kami menjadi begitu akrab dan aku juga tidak mengerti bagaimana caranya kata “Saya” dan “Anda” di antara kami sudah berganti menjadi “Aku” dan “Kamu”. Di sela-sela jam istirahatku, aku selalu meluangkan waktu untuk menemui Anton. Atau jika ia sedang tertidur saat aku datang, aku menyempatkan diri berdoa di sampingnya agar ia segera pulih dari sakitnya.
Hubungan kami memang terlihat sederhana jika dilihat dari sudut pandang manapun. Kami hanya seorang suster dengan pasien Rumah Sakit yang menjalin sebuah pertemanan pada umumnya. Namun tak sesederhana itu bagi sudut pandang hatiku. Aku yang sudah lama menutup diri dari cinta mulai merasakan kembali debar-debar yang menyenangkan ketika bersama Anton. Sifatnya yang memang terbilang humoris mampu dengan cepat menyelusup ke dalam hatiku. Aku mulai memandang Anton dengan cara yang berbeda, bukan hanya sekedar suster dengan pasiennya. Bukan hanya sekedar itu.
*****
Siang ini cerah sekali, matahari yang menyinari bumi rasanya terlalu ramah untuk menyengat kulit manusia yang berlalu lalang di bawah singgasana langit tempat matahari bertahta. Aku yang sudah dua hari ini mendapat jadwal libur dengan riang menyusuri lorong rumah sakit. Langkahku terasa ringan dan bersemangat. Aku sangat tak sabar ingin bertemu dengan Anton. Sudah dua hari ini aku merindukan moment duduk di bangku taman dan bercengkrama dengannya. Langkahku tiba-tiba terhenti ketika melihat kejadian di lorong seberang. Mataku membulat melihat kejadian yang baru saja terjadi.
Tubuh Hanna kulihat terlempar membentur tiang lorong rumah sakit, Hanna memegang pipinya yang sepertinya terkena pukulan pasien yang mengamuk itu. Pasien itu meraung-raung menangis sambil memberontak. “Astaga! Itu Anton!” pekikku dalam hati. Dengan sigap aku segera berlari ke lorong seberang melewati hamparan rumput hijau di taman Rumah sakit. “Kamu baik-baik saja, Han?” aku panik memeriksa sekilah tubuh teman sekerjaku itu. “Ba.. Baik Ra...” Hanna menjawabku ragu. “Aku baik-baik saja, tapi, tapi Pak Anton sejak tadi tak bisa dikendalikan.”
Aku langsung mengalihkan perhatianku kepada Anton. Dua dokter dan beberapa suster lainnya mencoba menenangkan Anton yang menangis sambil memukul tembok. “Ginaaaa... Ginaaaaaaa.....” teriakan Anton membuat prihatin seluruh orang yang sedang berlalu lalang di lorong Rumah Sakit. Terlebih lagi aku, hatiku terasa pilu mendengar teriakan Anton yang lirih. Teriak dan tangis yang menandakan keputusasaan. “Gina, maafkan kakak...” anton tersedu menangis dengan penuh penyesalan. Aku seolah ikut merasakan apa yang Anton rasakan. Aku berlutut merangkul tubuh Anton. Seluruh sukacitaku hari ini lenyap seketika saat melihat Anton menangis seperti ini.
Anton masih tidak mau beranjak mesti sudah kubujuk berkali-kali untuk kembali ke kamarnya, ia masih saja menangis dan memanggil-manggil nama Gina. Tak lama Maya datang dengan tergopoh-gopoh. Maya langsung memeluk Anton. Mengusap-usap wajah Anton dan kembali memeluknya erat. Aku segera menyingkir, berdiri menatap mereka berdua. Mereka menangis bersama sambil bersimpuh di lantai. Tak peduli seluruh orang di lorong Rumah Sakit ini memperhatikan mereka. Tak peduli dengan seorang wanita yang sedang menahan sakit di dadanya ketika melihat mereka berpelukan.
*****
Sudah pukul delapan. Sudah waktunya aku pulang ke rumah. Aku yang sudah berganti pakaian, dari seragam suster yang serba putih menjadi pakaian santai yang nyaman untuk membungkus tubuhku dari hawa malam yang dingin agar tidak menusuk kulitku. Sebelum mencapai gerbang Rumah Sakit mataku menangkap sosok seseorang yang sedang duduk sendirian di bangku taman. Orang itu Anton. Anton terlihat hanya duduk saja, tanpa daya, tanpa gerakan apapun. Seolah-olah ia sedang tersihir menjadi patung hiasan taman Rumah Sakit.
Aku yang tanpa sadar melangkahkan kakiku menuju ke bangku taman itupun berhenti. Aku teringat kejadian tadi siang, tepatnya ketika Anton berpelukan dengan Maya. Mungkin memang itu bukan pelukan mesra, itu pelukan berduka. Namun tetap saja kejadian itu masih jelas terpatri di otakku dan menusuk-nusuk perasaanku. “Apa seharusnya aku menjauh dari Anton?” tanyaku pada diri sendiri. Namun belum sepatah katapun hatiku menjawab pertanyaan itu, kakiku sudah lebih dulu melangkah mendekati bangku tempat Anton duduk termenung.
“Tak sepantasnya kamu menyalahkan diri sendiri.” Tiba-tiba saja bukan hanya kakiku yang lancang, namun juga suaraku yang entah dikendalikan oleh apa langsung saja melancarkan kalimat barusan. Anton hanya diam, bahkan tak bergeming sedikitpun dengan kehadiranku. “Aku tau kamu sedih, tapi setidaknya cobalah untuk kuat mengahadapi kenyataan hidup. Ada hikmah yang bisa kita ambil, setidaknya Gina tak perlu lagi merasa sakit. Ia pasti sudah bahagia di Surga.” Kali ini mulutku berbicara dalam kendaliku. Kebisuan Anton membuatku tak tahan untuk menghiburnya. Lebih baik aku melihatnya menangis atau apapun. Asalkan ia tidak diam seperti ini, diamnya Anton membuatku merasa asing. Ya, bukankah sejatinya diam adalah bahasa asing yang tak mampu diterjemahkan oleh kamus manapun?
“Bersyukurlah Gina tak perlu lagi merasakan sakitnya berjuang melawan luka-luka akibat kecelakaan itu.” Aku menghela nafas panjang melihat Anton yang tetap diam tak menganggapku ada. “Bersyukurlah, Ton. Tuhan menyayangi adikmu.” Aku tulus mengucapkan ini. Rasanya aku tak kuasa jika harus melihat Anton terus seperti ini, diam dalam keputusasaan.
“Dia suka kunang-kunang, Ra.” Anton akhirnya membuka suaranya. Aku menoleh melihat anton yang kini menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi taman. “Gadis remaja seusia Gina seharusnya tak lagi tertarik pada hewan-hewan kecil yang sudah jarang terlihat itu.” Anton menahan suaranya yang mulai terisak. “Karena tau kesukaannya itu, aku hendak membawanya ke hutan kota di belakang Rumah Sakit ini. Aku ingin menunjukkan padanya tarian kunang-kunang yang indah itu.” Kini Anton mulai tak dapat menahan isak tangisnya. Dengan suaranya yang mulai serak ia melanjutkan bercerita, “Namun aku lalai Ra, aku mencelakai adikku satu-satunya itu dengan menabrakkan mobil kami ke arah pohon besar untuk menghindari mobil lain yang melawan arah.”
Anton terisak dengan tangisnya. Sambil menggenggam tangan anton aku mencoba menguatkannya. Sungguh, aku turut merasakan apa yang dirasakan oleh Anton. “Seharusnya aku yang mati, Ra. Bukan Gina!” anton kembali tersedu. Aku spontan memeluk anton. Menguatkannya dengan kata-kata yang kuharap dapat menghibur. Mengeratkan pelukanku agar ia tau, ia tak sendiri. Aku disini juga ikut merasakan kepedihan yang dialaminya. Aku disini bahkan bersedia mengobati lukanya dengan cintaku.
“Apa kau tau,” aku meregangkan pelukanku, memindahkan tanganku hingga tertaut pada lengan Anton. “Aku juga sangat suka memandang kunang-kunang.” aku berkata kepada Anton dengan nada yang sedikit lebih riang. Dan satu hal, kalimat barusan bukan hanya sekedar kalimat penghibur. Aku memang betul-betul suka memandangi kunang-kunang. Banyak kunang-kunang yang berhabitat di hutan taman kota yang terbang hingga ke taman Rumah Sakit ini. Tiap malam saat aku istirahat ataupun sudah selesai jam kerja, aku sering menyempatkan diri untuk sekedar duduk di kursi taman ini sambil memandangi kunang-kunang yang gerakannya seolah sedang melakukan tarian.
“Aku tak berbohong.” Kataku mencoba meyakinkan Anton yang terlihat ragu. “Kamu ingat saat pertama kali kamu menyapaku di sini? Saat itu aku sedang memandangi kunang-kunang. Aku sedang menikmati tarian mereka yang terlihat indah dan menenangkan.” Aku menatap Anton yang terlihat menungguku melanjutkan ceritaku. “Aku baru sadar, saat itu kunang-kunang beterbangan lebih indah dari biasanya. Pasti mereka menyambut kedatangan Gina, adikmu. Tidakkah kamu juga percaya akan hal itu?” aku mempererat genggaman tanganku di jemari Anton.
“Seandainya saat ini kamu bisa melihat, kunang-kunang itu beterbangan hampir tanpa daya. Mereka seperti tak bergairah.” Aku mulai melebih-lebihkan kalimatku agar Anton sedikit terhibur. “Aku juga yakin, kunang-kunang itu juga sedih atas kepergian adikmu. Tapi kuberitau kepadamu satu hal, mereka tidak berhenti beterbangan. Karena mereka tau, manusia yang menyukai mereka bukan hanya adikmu. Masih banyak manusia lain yang ingin melihat tarian mereka, aku misalnya.”
Aku meregangkan kakiku sembari melanjutkan pembicaraan ini. “Aku harap, kau bisa seperti kunang-kunang itu, Ton.” Aku mendongakkan kepalaku memandangi kunang-kunang yang sedang menari di bawah sinar lampu taman. “Ketahuilah, adikmu akan lebih bahagia jika kamu tidak menyalahkan diri sendiri atas kejadian ini. Masih banyak yang membutuhkanmu, Ton.” Aku menghela nafas panjang. “Aku bersedia menemanimu menghadapi ini, Ton. Lagipula, Maya juga pasti membutuhkanmu.” Aku tercekat oleh kata-kataku sendiri. Menyebut sekaligus mendengar nama Maya terucap dari bibirku membuatku refleks menarik tangan dari lengan Anton.
Sakit rasanya jika mengingat ada Maya di sisi Anton. Terlebih jika aku ingat akan perasaan ini. Perasaan yang tanpa izin dariku mulai bertumbuh liar menjalari hati dan pikiranku. Melawan pikiran dan logikaku yang menolak perasaan ini. Perasaan ini tumbuh dengan sendirinya, tanpa kuminta, bahkan tanpa kukehendaki. Tak dapat kupungkiri. Meski hanya dalam waktu singkat Anton sudah membuatku tersesat dalam dunia yang indah namun penuh dengan bahasa asing itu. Diam-diam, aku mencintainya. Aku sangat mencintai Anton. Tanpa kusadari Anton meraba-raba bangku taman, ternyata ia mencoba mencari tanganku. Saat tangannya berhasil meraih tanganku, Anton erat menggenggam jemariku. “Terima kasih, Ra.” Anton tersenyum manis kepadaku. Jantungku berlonjak ketika jemari Anton hangat menggenggamku. “Astaga, perasaan ini sungguh berbahaya...” desisku dalam hati.
*****
Akhir-akhir ini aku mendapat jadwal bertugas di Shift malam. Sejak obrolan kami di bangku taman malam itu, Anton jauh lebih bergairah dan bersemangat menjalani proses penyembuhannya. Bahkan lebih sering dirinyalah yang membuatku tertawa seolah akulah yang lebih membutuhkan hiburan dibanding dirinya. Aku juga tak tau kenapa sejak kematian Gina, Maya jadi jarang terlihat menemani Anton. Ia hanya sesekali terlihat untuk membawakan baju ganti serta makanan pesanan Anton. Mungkin hubungan mereka sedang renggang? Entahlah, aku tak mau memikirkan apalagi menanyakan hal itu langsung kepada Anton.
Bagiku, cukup dengan bersama Anton saja sudah membuatku merasa senang walaupun ada batas yang menghalangi kebahagiaanku ini. Setiap kali Anton membuatku tertawa itu sangatlah membuatku merasa nyaman, aku tak mau merusaknya dengan menanyakan kabar Maya atau apa kesibukan Maya akhir-akhir ini. Aku tak mau merusak kebahagiaan ini, kebahagiaan kami; aku dan Anton. Tapi, apakah ini kebahagiaan yang sebenarnya? Aku tidak tau.
Aku melihat arloji di tangan kiriku. Aku masih punya waktu satu jam lagi sebelum waktuku bertugas dimulai. Akupun mengambil kesempatan ini untuk menemui Anton. Aku ketuk perlahan pintu kamarnya. “Masuk.” Kata Anton dari dalam kamar. Akupun masuk ke dalam. “Gimana keadaan kamu?” tanyaku sambil mengecek botol infusnya. “Baik, bahkan jauh lebih baik ketika mendengar suaramu.” Refleks aku langsung menahan nafas ketika mendengar perkataan Anton.
“Hahaha..” tiba-tiba terdengar suara tawa Anton yang renyah. “Kenapa kamu tertawa?” tanyaku sambil mengerutkan dahi. “Tidak apa-apa Ra, aku hanya merasa aneh saja. Suaramu betul-betul terdengar selalu riang di telingaku. Persis seperti suara Gina, almarhumah adikku. Suaramu betul-betul menyenangkan, Ra. Aku penasaran bagaimana wajah dengan suara yang selalu membuatku merasa lebih baik itu.” Suara Anton yang awalnya riang mulai berubah ketika menyebut nama Gina.
Jantungku mungkin bisa saja melompat keluar saking bahagianya ketika mendengar ucapan Anton. Meski harus disamakan terlebih dahulu dengan Gina, aku cukup merasa senang karena suaraku dapat memberi perasaan postif pada Anton. Walaupun mungkin perasaan positif itu bukanlah cinta. Walau tak suka, aku tak pernah keberatan jika Anton menyamakanku dengan Gina. Gina adalah adik Anton yang ikut dalam kecelakaan mobil yang menyebabkan Anton dirawat di Rumah Sakit ini.
Aku jadi teringat saat Anton memberontak hebat ketika Dokter menginformasikan kematian Gina. Anton yang kala itu seharusnya masih dalam keadaan boleh bangun dari tempat tidur memaksakan diri untuk melihat Gina. Bahkan dengan memberontak hebat Anton mencoba melepas perban yang melilit matanya. Hanna teman kerjaku sesama suster sempat terkena pukulan Anton yang secara gusar memberontak orang-orang yang menahannya.
“Ada kabar baik, Ra. Besok setelah perban di mataku ini dibuka, aku sudah diizinkan pulang oleh Dokter.” Suara Anton memecahkan lamunanku. Dadaku merasa sesak ketika mendengar itu. Padahal itu kabar yang sangat baik, tapi aku tau itu adalah petaka bagiku. Karena aku dan Anton tidak dapat bertemu lagi setelah ini. “Aku ngga sabar mau lihat wajahmu, Ra.” Perkataan Anton membuatku menghela napas. “Kalau kamu sembuh, kita tidak akan bisa bertemu lagi ya Ton?” kataku sedih. Anton hanya menjawab pertanyaanku dengan senyumnya, membuatku dadaku semakin sesak dan membuatku semakin menyadari bahwa aku telah mencintainya.
Keesokan harinya perban Anton sudah dibuka. Aku tidak menemuinya karena tadi kulihat Maya juga ikut mendampingi pelepasan perban di mata Anton. Aku memutuskan untuk duduk saja di bangku taman Rumah Sakit dan menenangkan hatiku. Aku terus mengenang kebersamaanku dengan Anton yang sangat singkat ini. Tanpa sadar aku mulai terisak, aku menangis karena aku sadar telah mencintai orang yang salah.
“Jangan menangis…” tiba-tiba aku tersentak oleh suara yang berasal dari Anton. Ia duduk di sebelahku. Sudah tidak ada lagi perban yang biasanya menutup matanya. Ia terlihat lebih tampan sekarang. Air mataku mengalir lebih deras setelah melihatnya. “Jangan menangis terus, nanti air matamu habis dan kau tak akan bisa melihat kunang-kunang lagi. Kau lihat? Di bawah lampu penerangan itu.” Akupun menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Anton. Seketika aku terkesiap menyadari apa yang baru saja terjadi. “Anton! Kamu bisa melihat?” teriakku sambil memegang lengan Anton. Anton hanya tersenyum dan menjawab pertanyaanku dengan anggukan kecil. Tangisku kini bercampur dengan tawa bahagia.
 Tanpa sadar aku langsung menghambur memeluk tubuh Anton yang masih terlilit perban di beberapa bagian. Anton meringis berpura-pura kesakitan. “Aduh, sakit Ra! Kamu mau aku terluka lagi?” katanya sambil terkekeh. Saking bahagianya, aku sampai lupa mengendalikan sikapku.
“Aduh!” Anton berteriak kesakitan. Kali ini mukanya menunjukkan bahwa ia benar-benar merasa sakit. Mungkin pelukanku yang terlalu erat telah memberi reaksi pada luka-lukanya yang ditutup perban. “Ton, kamu ngga apa-apa kan?” tanyaku khawatir. Anton masih merintih kesakitan sambil memegang lengannya. Jantungku langsung berdetak cepat, aku tidak mau terjadi sesuatu yang berbahaya pada Anton. Masih dengan penuh kecemasan aku mencoba menatap wajah Anton yang menunduk karena kesakitan.
Tiba-tiba saja Anton berhenti merintih dan tersenyum nakal. Ternyata kesakitannya itu hanya sandiwara saja. “Antoooon! Aku betul-betul takut kamu sakit tauuuu…” kataku sebal. Anton tertawa sambil menaruh sebelah tangannya yang bebas dari perban ke kepalaku. Ia membelai lembut rambutku lalu tangannya turun melingkari pundakku. Dengan tatapannya yang hangat ia berkata lembut kepadaku. “Kamu ternyata cantik sekali Lyra. Mirip sekali dengan adikku, sayangnya aku tak dapat melihat lagi kecantikan adikku. Aku tak dapat mendengar lagi tawa riangnya. Seperti yang kamu bilang, Ra. Gina pasti sudah bahagia di surga sana.” Anton tertunduk menahan tangisnya.
Aku yang hanya terdiam entah mengapa tiba-tiba merasa sesak mendengar kalimat Anton. “Saat aku tau kenyataan bahwa adikku meninggal aku sangat merasa bersalah Ra, aku bahkan merasa lebih baik aku buta saja sebagai hukuman dari Tuhan karena aku telah membawa celaka adikku.” Anton menghela nafas panjang. “Namun saat aku mulai putus asa kamu hadir Ra, terima kasih atas kesabaranmu dalam merawat dan mendoakanku selama aku sakit.”
Anton mengubah posisi duduknya menghadapku. Aku segera saja merasa tegang karena tatapan Anton yang begitu mendebarkan hatiku. Perlahan Anton Mengangkat tangannya yang bebas dari perban, ia menarik tubuhku dalam dekapannya. Sambil memelukku, suara Anton semakin lama terdengar semakin lirih. “Terima kasih, Lyra. Kamu teman yang baik” Anton meregangkan pelukannya. Rasanya ada hentakan hebat yang memukul dadaku ketika mendengar kalimat terakhir Anton. Seperti ada ribuan pisau yang menusuk hatiku saat ini bahkan tubuhku menolak untuk melepas pelukannya. Anton, pria yang baru saja kucintai itu hanya menganggapku sebagai temannya.
Anton menatap mataku lekat-lekat, aku menangkap ada rasa terima kasih yang sangat besar di matanya Tak lama ada sebulir air mata yang kembali mengalir di pelupuk mataku. Aku menangis. Anton yang tak tega melihatku, turut merasakan kesedihanku, ia ikut menangis. Di taman rumah sakit tempat kami pertama kali bertemu ini, kami sama-sama menangis. Anton menghapus air mataku dengan jemarinya yang hangat.
“Jangan menangis lagi Lyra, kita pasti akan bertemu lagi. Ini bukan pertemuan terakhir bukan? Kabarilah jika kamu libur, aku akan mengundangmu untuk sekedar makan malam di rumahku. Anton mencoba mengiburku yang masih saja menangis. “Bukan, bukan itu yang aku tangisi. Aku menangis karena aku mencintaimu. Aku tak rela melepasmu pergi dariku.” Aku berteriak dalam hati. Aku tak mampu mengatakannya langsung kepada Anton. Bagaimana mungkin aku mengatakan hal itu di saat Anton sudah harus pergi dari sisiku. Terlebih lagi, Anton hanya menganggapku temannya, atau mungkin pengganti adiknya.
Aku hanya bisa menangis dalam pelukannya. Sampai tiba-tiba sayup-sayup kudengar teriakan seorang gadis kecil. “Papa… Papaaa… Ma, itu Papa disana! Ayo kita kesana jemput Papa!” dari kejauhan kulihat seorang gadis kecil berlari sambil menggandeng tangan ibunya. Secara bersamaan, aku dan Anton sama-sama melepas pelukan kami. Dengan tergesa-gesa aku segera menghapus air mataku. Sambil memaksakan untuk tersenyum akupun membalikkan badanku dan ikut menyambut keluarga kecil Anton.
Anton segera berjalan menghampiri keluarganya, sambil berjongkok iapun merangkul erat putri kecilnya itu. Dengan langkah yang berat akupun ikut menghampiri mereka. “Suster, terima kasih karena telah merawat suami saya.” Wanita cantik itu berkata dengan penuh ketulusan kepadaku, tanpa ia tau, aku sangat mencintai suaminya.”Maaf Suster, saya jarang datang karena sibuk merawat anak kami yang sedang sakit. Sekali lagi terima kasih karena suster telah membantu merawat suamiku dengan baik.” Antonpun menolehkan wajahnya menghadapku. “Suster Lyra, terima kasih. Saya izin pamit pulang dulu.” Suara Anton sungguh berbeda dari yang terakhir kudengar. Tidak terpancar kesedihan dari raut mukanya saat menjabat tanganku. Aku berusaha untuk tidak menangis, walaupun air mata sudah mendesakku untuk menumpahkannya. “Sama-sama, Pak Anton”, jawabku kepadanya. Akhirnya dengan susah payah aku berhasil mengucapkan kalimat itu tanpa perlu menangis.
Aku menjabat tangan Anton dan Istrinya, lalu mereka berbalik membelakangiku. Kulihat mereka bahagia berjalan keluar ke arah gerbang Rumah Sakit. Anton menoleh memandangku, aku mencoba sekuat tenaga untuk melambaikan tanganku kepadanya. Setelah punggung Anton sudah tak tertangkap lagi oleh mataku, aku terduduk lunglai di bangku taman Rumah Sakit. Aku terisak, menangis sendiri di bawah kelamnya malam yang tidak sekelam hatiku saat ini. Napasku masih tercekat. Sambil mengadahkan wajahku ke atas aku memandang kunang-kunang yang terbang menari seolah berusaha menghiburku. Dan sembari membekap luka ini sambil menahan perih, aku berdoa pada Tuhan agar mempertemukanku kembali pada jodohku, yang tidak beristri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar