Kepadamu, pria yang menyeka lukaku dengan penerimaan berbalut cinta.
Ini bukan sebuah surat selamat karena kamu memenangkan sesuatu. Bukan pula surat yang dapat kau tukarkan dengan sebuah hadiah. Ini bukan penyelamatan. Surat ini hanyalah teriakan tak bersuara mengenai rasa syukur betapa indahnya semakin lama mengenalmu.
Ratusan hari kita sudah saling menyelami, namun baru kini kamu melihat lagi sisi lainku yang terungkap tak tersengaja. Pena dengan tinta hitam yang kuukir selengkung demi selengkung di masa lalu mulai kamu baca lembar demi lembar halamannya. Kamu mulai mengenali tokoh-tokoh yang hadir mengisi buku dalam kehidupanku. Mereka bagianku, baik buruknya mereka akan menjadi elemen yang mengekoriku.
Membiarkanmu membaca buku berisi ceritaku merupakan sebuah tantangan yang melahirkan banyak tanya. "Bagaimana ritme degup jantungmu ketika membaca bukuku?" "Apa yang kamu lihat dariku begitu mengetahui asal usulku?" Entah pertanyaan apa lagi yang saat itu riang berlarian di pikiranku, aku tak lagi ingat karena kini semua sudah sirna seolah terusir oleh badai hujan. Ya, semua kecemasan berkedok pertanyaan lenyap. Sedetik setelah kamu menghujaniku dengan cinta, mereka tak lagi mengendap.
Adanya kamu menambah lagi rasa syukurku. Sendiri tak lagi menjadi namaku ketika kamu menjatuhkanku dalam pelukmu. Kamu menerimaku, berikut dengan segala kemalanganku. Kamu menguatkanku bahkan di waktu aku tak merasa lemah. Kamu semakin menambah bukti bahwa Tuhan tak pernah berhutang budi. Kuyakini, Tuhan mengirimmu untuk melengkapiku.
Terima kasih karena telah mencintaiku beserta lebih kurangku, berkat itu aku mencintaimu dengan terlanjur terlalu. Namun mengingat segala penerimaan yang menjadi milik bisa begitu mudahnya diambil kembali oleh Sang Empunya, aku hanya bisa berdoa. Menyerahkan dirimu ke dalam tanganNya adalah pilihan terbaik dari segala yang tepat. Terima kasih karena telah bersedia menjadi paket yang dikirim Tuhan sebagai hadiah atas kuatku selama kemarin dan kemarinnya lagi selama aku ditempa olehNya.
Terima kasih, Tuan S. Melalui dirimu aku jadi lebih mengerti.
Bahwa aku ditempa bukan untuk mati, melainkan untuk hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar