Oke. Sudah jam enam sore. Kebetean akibat dibuat nunggu selama hampir tiga jam terbayarkan dengan setengah piring nasi goreng telor buatan si akang. Sakit kepala akibat bayangan kipas angin yang berputar-putar di lantai juga terbayarkan dengan seperempat gelas susu milo. Sayangnya, semua pembayaran itu diretur kembali dengan muntahan gue sebanyak dua kali. Ya, itu buang-buang uang, sayang sekali. Tapi disini gue ngga mau cerita tentang uang. Disini gue mau cerita tentang lirikan mata pak capres yang ngga bisa berhenti buat gue mau ngakak.
Rangkaian kalimat di atas tadi hanyalah sebuah flashback memory sebagai pengingat bagaimana gue akhirnya memutuskan untuk menuliskan surat ini.
Oke, Selamat malam Pak Capres!
Tadi saya terima message dari anda, anda bilang anda sedang bersama dengan partner anda. Betulkah itu? Hmm, sepertinya saya tidak perlu meragukan pernyataan anda Pak. Karena sebagai calon pasangan pemimpin, kalian berdua pasti harus lebih sering meluangkan waktu bersama untuk sharing mengenai proker anda berdua. Sebetulnya yang ingin saya tanyakan, kenapa anda sampai serepot itu menginformasikan keberadaan partner anda kepada saya? Memangnya saya siapanya beliau Pak? *ehm* *ini bukan kode ya Pak!* Maaf-maaf saja, saya bukan seorang penjual cinta dengan modal dusta, seperti rekan anda yang selalu gagal meraih cinta wanita. Ya sebut saja namanya Imam. *bukan nama asli*
Tadi saya terima message dari anda, anda bilang anda sedang bersama dengan partner anda. Betulkah itu? Hmm, sepertinya saya tidak perlu meragukan pernyataan anda Pak. Karena sebagai calon pasangan pemimpin, kalian berdua pasti harus lebih sering meluangkan waktu bersama untuk sharing mengenai proker anda berdua. Sebetulnya yang ingin saya tanyakan, kenapa anda sampai serepot itu menginformasikan keberadaan partner anda kepada saya? Memangnya saya siapanya beliau Pak? *ehm* *ini bukan kode ya Pak!* Maaf-maaf saja, saya bukan seorang penjual cinta dengan modal dusta, seperti rekan anda yang selalu gagal meraih cinta wanita. Ya sebut saja namanya Imam. *bukan nama asli*
Saya mau menjelaskan Pak, rentetan pertanyaan yang diangkat dari study kasus kemarin harusnya bisa saya selesaikan dengan mudah ditambah dengan nada-nada suara yang lugas dan meyakinkan. Sesuai seperti yang Bapak bilang, keahlian saya ada di bidang Public Relation dan Manajemen. Dengan modal kombinasi keahlian saya itu memang yang seharusnya terjadi di akhir pertemuan kita adalah kepuasan. Tapi pak, jujur aja nih ya. Karena dari awal lirikan Bapak sudah menggelitik saya untuk tertawa, jadi selama berjam-jam kita bicara kesimpulan yang dapat saya hasilkan adalah nol. Iya pak, nol! Karena saya tidak bisa sedikitpun mengutarakan semua jawaban yang sudah tersimulasi dalam pikiran saya. Tapi saya beritahu saja ya Pak, segala sesuatu tidak akan bisa dimulai kalau tidak berangkat dari angka nol. *membela diri*
Ngomong-ngomong Pak, apa sih arti lirikan mata anda? Kenapa anda sering sekali mencoba membujuk saya mengikuti arah mata anda melalui lirikan itu? Jangan begitu Pak, kan saya jadi tertawa terus. Bapak tau kan arti tawa saya? Iya Pak, saya grogi! Hahaha
Ngomong-ngomong Pak, apa sih arti lirikan mata anda? Kenapa anda sering sekali mencoba membujuk saya mengikuti arah mata anda melalui lirikan itu? Jangan begitu Pak, kan saya jadi tertawa terus. Bapak tau kan arti tawa saya? Iya Pak, saya grogi! Hahaha
Saya grogi kalau harus berbicara layaknya MC di depan partner anda. Terserah andalah pak mau mengartikan grogi saya tersebut sebagai apa. Entah kagum, tertarik atau malah takut. Tapi intinya saya grogi. Buktinya saya mulai bisa bicara serius saat partner anda menjauh dari posisi kita. Sayangnya saat pikiran dan perkataan saya mulai memanas, beliau balik lagi pak. Hahahaha... Kan saya jadi tertawa lagi pak. Sekali lagi anda taulah arti tawa saya itu. Otomatis pembicaraan yang mulai beranjak melewati angka 10 dari range 0-100 itu turun kembali lagi ke angka nol. Dan waktupun sudah memanggil-manggil saya untuk pulang pak. Jadi pembicaraan kita terlihat sia-sia. Tapi tidak kok buat saya. Dari pertanyaan dan pernyataan yang telah anda utarakan kepada saya, sudah terbaca kok oleh saya. Kalau kita satu visi dan misi. Sungguh. Saya disini tidak punya niat terselubung untuk berjualan kecap Pak, kan Bapak tau sendiri saya sudah sangat manis. Bicara tentang manis, menurut saya Bapak Capres ini manis loh, partner anda juga ngga kalah manis. Eh, jangan salah paham dulu Pak, maksud saya yang manis itu kinerjanya. Hahahaha *jadi grogi lagi kan tuh-_-
Ngomong-ngomong saat melirik ke partner anda itu sekilas mengingatkan saya kepada satu sosok Pak. Namanya Dedas, beliau adalah pemimpin saya di era kinerja saya selama berorganisasi di SMA. Sama seperti partner Bapak, garis rahangnya yang tegas semakin mempercantik karisma dan wibawa yang dimilikinya. Ka Dedas itu orang yang sangat saya hormati dan kagumi. Berwibawa, tegas, galak, tapi juga penuh dengan kasih. Ngga nyangka di balik wibawanya ternyata beliau cukup playboy di mata saya. Semoga saja partner anda tidak seperti itu ya Pak, supaya wibawanya tidak hilang sampai kapanpun. *amin*
Sampai disini dulu ya Pak, saya mau menghilangkan rasa kesal dulu nih akibat BBM yang pendingnya membabi buta. Walaupun terlambat, saya cuma mau Bapak tau saja. Bahwa pemikiran yang Bapak sampaikan kemarin 11:12 dengan jawaban yang tersimulasi di otak saya.
Sekian ya Pak. Semoga menang!
Oia kelupaan, salam ya Pak buat partner anda...
Hahahahaha
*grogi*
*grogi*
Ttd : VTD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar