Selasa, 11 Februari 2014

Hai Adik, Berlarilah!

Ketika aku tengah berjalan santai menyusuri pinggiran pantai Pulau Pari; salah satu keindahan milik Kepulauan Seribu, aku melihatmu. Lensa kamera milik temanku itu menangkap sosok mungilmu di tengah keramaian anak-anak seusiamu. Entahlah, di antara puluhan teman-temanmu, aku begitu tertarik padamu. Di Sekolah Dasar yang hanya ada satu-satunya di pulau itu, kobaran api semangatmu terlihat lebih membara dibanding teman-temanmu.

Surat ini kutujukan untukmu, gadis kecil penghuni Pulau Pari.

Hai, Adik! Bolehkah aku memanggilmu demikian? Kuharap jawabannya boleh, karena dilihat dari sisi manapun sudah jelas nyata bahwa usiaku lebih dewasa darimu. Jikalau kamu tidak berkenan kupanggil Adik, kumohon maafkan aku. Bukannya aku tidak mau memanggilmu dengan namamu. Hanya saja pagar sekolahmu membatasi ruang di antara kita untuk sekedar berjabat tangan sembari mengucap nama satu sama lain.

Hai, Adik! Melalui potret yang menjadi sangkarmu ini kulihat dirimu begitu bersemangat dalam aktivitasmu. Apa gerangan yang membuat semangatmu perlahan tampak tanpa kendali itu? Ketika teman-temanmu yang lain duduk beristirahat dan beberapa meregangkan otot kaki mereka, kamu malah membetulkan sepatumu kembali untuk bersiap berlari lagi. Apa kamu tidak lelah?

Hai, Adik! Aku perhatikan kulitmu lebih terlihat gelap dibanding teman-temanmu. Apa sang raja siang begitu terlalu cemburu dengan semangatmu sehingga dengan tega ia membakar perlahan kulitmu? Tapi tenang saja, Adik. Warna kulitmu itu tak mengurangi kecantikan yang terkemas rapi pada wajah manismu kok, sungguh.

Hai, Adik! Apa rahasiamu dalam memelihara semangat yang seperti itu? Tidakkah kamu lelah dan hendak berhenti sejenak guna mengistirahatkan sepasang kaki kecilmu itu? Ah, lupakanlah! Aku menghujammu dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah pasti tak sampai sasaran. Jangankan menjawab pertanyaanku, kamu melihat ke arahku saja tidak. Tanpa mempedulikan sekelilingmu, kamu begitu fokus dengan apa yang ada di depanmu. Bahkan ketika tanganmu sibuk membetulkan posisi sepatumu, matamu terlihat tajam menatap sesuatu. Apa yang kamu tatap, Adik? Entahlah, aku hanya bisa menduga-duga. Mungkin kau sedang berkompromi dengan strategi untuk segera berlari menghadang lintasan di depan sana. Ya, mungkin saja.

Hai, Adik! Mungkin kamu tidak tau kalau semangatmu yang membara itu telah mengetuk perlahan kedua kelopak mataku. Kamu menyadarkanku dari mimpi yang sudah terlanjur terbang tinggi dan mengejutkanku dengan kenyataan. Ya, kamu mengajariku bahwa setelah bermimpi aku harus berjalan lanjut berlari hingga mimpi dapat kuraih. Karena kusadari, selama ini aku sudah terlalu lama beristirahat dan terlena oleh buaian hidup santai.

Hai, Adik! Aku ingin sekali mengirimkan surat ini kepadamu sebagai tanda terima kasih, tapi sampai kalimat ini kuketikkanpun aku tidak tau siapa namamu. Harapku kepadamu hanya satu. Kelak  jika kamu mengenal internet semoga Semesta bergerak untuk membawamu ke dalam halaman maya dimana surat untukmu ini tersimpan rapi.

Hai, Adik! Kulihat kini sepatumu sudah terpasang apik di kaki kecilmu. Kerutan di dahimu mulai terkuak oleh tumpukan semangatmu. Barisan gigimu yang rapi terlihat ketika kau tersenyum manis seraya menghangatkan dunia yang mungkin akan semakin kejam menghantammu. Tatapan matamu kian tajam pertanda kau sudah siap dengan segala rintangan di depan.

Hai, Adik! Kedua kakimu kini telah siap melangkah pergi. Majulah, berjalanlah dan teruslah berlari! Kubungkus ekspetasi tinggi terhadapmu dalam wujud doa. Dia yang bernama masa depan telah tak sabar menanti kehadiranmu. Pastikan lagi sepatumu terpasang dengan benar agar pijakan tajam di depan sana tidak melukai kakimu. Lekas, berlarilah!

Dariku, seorang pengunjung asing yang menangkap sosokmu dalam lensa kamera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar