Selamat siang, Tuan kesayanganku...
Aku merindukanmu.
Ah, kalau kalimat pertamaku ini sudah tertangkap matamu, kamu pasti akan tersenyum nakal.
Aku akui tebakanmu benar, aku memang rindu.
Rindu padamu membuat kram di tangan dan otakku, sehingga aku agak kesulitan dalam merajut kata demi kata hari ini.
Ya, semoga saja kamu bisa mengerti apa yang kuucap dalam surat ini. Tapi, bukankah kamu selalu mengerti dan paham apapun yang dimaksud dalam sebuah ucapan?
Oia, mengenai pertemuan kita sebelumnya, bukannya aku tidak menepati perkataanku. Namun, bukankah kata tak selalu harus disertai suara? Aku menyampaikan perkataanku, isi hatiku, melalui satu cara saat bibir terkatup: memandang matamu. Entahlah, aku selalu suka menatap lekat-lekat matamu meskipun di saat kamu sedang marah. Semua itu kulakukan dengan harapan isi hatiku bisa tersampaikan melalui ruang dimana tatapan kita saling bersinggungan.
Dan kalau bicara soal pesanmu. Tenang saja, kita lihat saja nanti bagaimana Tuhan memprosesku untuk lebih dewasa. Setidaknya untuk bisa lebih sepadan denganmu yang menurutku telalu dewasa sebelum waktunya. Maklumi saja, aku yang anak bungsu ini tentu masih perlu bimbingan darimu, si sulung dari tiga bersaudara.
Sayang, tak banyak yang bisa aku tuangkan dalam surat hari ini.
Aku lelah.
Lelah pada rindu yang terus menerus menggerogoti hatiku.
Kapan kita bisa bertemu? Kamu harus segera bertanggung jawab untuk menemuiku sebelum aku jatuh sakit karena rindu yang sungguh keterlaluan ini.
Lekas, jawablah pertanyaanku melalui suratmu yang berikutnya.
Aku tunggu.
Dengan penuh kerinduan,
Nona yang ingin menemuimu sesegera mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar