Untukmu yang saat ini (kuyakini) sedang menari di Surga,
kak @aliffamaria...
kak @aliffamaria...
Kak Maria, sudah hampir setahun aku tidak melihatmu. Apa kabarnya kamu disana, kak?Aku disini baik-baik saja, walau jujur rindu padamu tak bisa lagi terbantahkan. Kurasa, bukan hanya aku tapi semua teman dan keluargamu pasti juga rindu akan hadirmu. Mungkin beberapa di antara kami masih ada yang belum sepenuhnya sadar bahwa dirimu sudah tak ada lagi di muka bumi ini. Ya, hal itu mungkin saja terjadi karena pribadimu yang begitu kuat terpatri dalam ingatan kami.
Kak, seandainya dirimu masih di sini sekarang kau pasti sudah mendapat gelar sarjana psikologi. Ah, sungguh kasihan kampus kuning itu. Mereka pasti kehilangan dirimu yang merupakan salah satu mahasiswi terbaiknya. Bagaimana tidak, tanpa perlu terus berada di dekatmupun aku tau ketekunanmu dalam menimba ilmu. Bahkan dengan sengaja kau tularkan semangatmu itu ke teman-temanmu yang lainnya. Aku masih ingat betul bagaimana kakak mencari tau letak rumahku hanya untuk mengantar temanmu yang perlu mewawancarai anak seusia sepupuku untuk tugas akhirnya. Kebaikanmu itu sungguh terlalu, Kak.
Hari ini tanggal 24 Februari, tepat esok hari seharusnya usiamu sudah memasuki angka 22 tahun. Usia yang terpaut tidak terlalu jauh denganku. Tapi entah mengapa tingkat kedewasaan kita sungguh jauh berbeda. Ya, itu menurut penilaianku sendiri sih, entah dengan yang lainnya. Dan sangat disayangkan, besok tak akan ada yang bisa mengucapkan selamat ulang tahun secara langsung padamu meskipun ingin. Hmm, rencana Tuhan memang sulit untuk diselami oleh akal manusia yang terlalu sempit ini. Kak, sebetulnya saat pertama kali mendengar dirimu sudah berpulang ke Rumah Bapa, ada sesuatu dalam diriku yang ingin memberontak. Ada keinginan yang sangat besar untuk memprotes keputusan Tuhan yang satu ini. Terlebih usiamu yang masih muda itu sangat kusayangkan untuk terhenti secepat itu.
Tapi apalah dayaku. Sebagai seorang manusia aku hanya bisa mengambil sepercik pelajaran dari setiap kejadian yang terjadi di sekitarku. Melalui "kepulanganmu" aku belajar bahwa hidup di dunia ini sewaktu-waktu dapat terhenti sesuai maunya Tuhan. Dan melalui "kepergianmu" yang terlalu cepat, aku jadi mengerti bahwa umur terlalu berharga untuk dirayakan hanya setahun sekali. Karena pada dasarnya umur kita dapat bertambah (atau tepatnya berkurang) setiap harinya itu merupakan anugerah yang sangat besar yang dapat kita terima.
Sejujurnya sampai detik inipun aku masih membutuhkanmu. Banyak pemikiran dan tindakanmu yang memberi kontribusi tak terhingga bagi program-program komisi Pemuda di Gereja. Tapi sekali lagi apalah dayaku? Dia, Sang Empunya mungkin lebih menginginkanmu untuk berada di dekatNya. Yang aku bisa lakukan sekarang hanyalah percaya. Percaya bahwa dirimu telah bahagia di sisiNya. Dan selagi menunggu waktu panggilanku tiba, aku akan coba untuk terus membperbaiki diri. Melakukan setiap pekerjaan yang baik untuk kemuliaanNya. Ya, aku belajar banyak darimu, Kak. Meski masih muda aku tak bisa bermain-main lagi, karena maut tak pernah mengenal usia.
Baiklah, aku akan mengakhiri surat ini. Ada beberapa ide yang dulu sempat tercetus darimu harus kukerjakan saat ini. Aku tau, kakak tidak akan membaca surat ini apalagi sampai membalasnya. Biarlah surat ini hanya sebagai pertanda bahwa ketiadaanmu pun memberi dampak yang berarti. Aku merindukanmu, Kak. Surat inipun kuakhiri dengan sebulir air mata yang menetes di pipi.
Kak, seandainya dirimu masih di sini sekarang kau pasti sudah mendapat gelar sarjana psikologi. Ah, sungguh kasihan kampus kuning itu. Mereka pasti kehilangan dirimu yang merupakan salah satu mahasiswi terbaiknya. Bagaimana tidak, tanpa perlu terus berada di dekatmupun aku tau ketekunanmu dalam menimba ilmu. Bahkan dengan sengaja kau tularkan semangatmu itu ke teman-temanmu yang lainnya. Aku masih ingat betul bagaimana kakak mencari tau letak rumahku hanya untuk mengantar temanmu yang perlu mewawancarai anak seusia sepupuku untuk tugas akhirnya. Kebaikanmu itu sungguh terlalu, Kak.
Hari ini tanggal 24 Februari, tepat esok hari seharusnya usiamu sudah memasuki angka 22 tahun. Usia yang terpaut tidak terlalu jauh denganku. Tapi entah mengapa tingkat kedewasaan kita sungguh jauh berbeda. Ya, itu menurut penilaianku sendiri sih, entah dengan yang lainnya. Dan sangat disayangkan, besok tak akan ada yang bisa mengucapkan selamat ulang tahun secara langsung padamu meskipun ingin. Hmm, rencana Tuhan memang sulit untuk diselami oleh akal manusia yang terlalu sempit ini. Kak, sebetulnya saat pertama kali mendengar dirimu sudah berpulang ke Rumah Bapa, ada sesuatu dalam diriku yang ingin memberontak. Ada keinginan yang sangat besar untuk memprotes keputusan Tuhan yang satu ini. Terlebih usiamu yang masih muda itu sangat kusayangkan untuk terhenti secepat itu.
Tapi apalah dayaku. Sebagai seorang manusia aku hanya bisa mengambil sepercik pelajaran dari setiap kejadian yang terjadi di sekitarku. Melalui "kepulanganmu" aku belajar bahwa hidup di dunia ini sewaktu-waktu dapat terhenti sesuai maunya Tuhan. Dan melalui "kepergianmu" yang terlalu cepat, aku jadi mengerti bahwa umur terlalu berharga untuk dirayakan hanya setahun sekali. Karena pada dasarnya umur kita dapat bertambah (atau tepatnya berkurang) setiap harinya itu merupakan anugerah yang sangat besar yang dapat kita terima.
Sejujurnya sampai detik inipun aku masih membutuhkanmu. Banyak pemikiran dan tindakanmu yang memberi kontribusi tak terhingga bagi program-program komisi Pemuda di Gereja. Tapi sekali lagi apalah dayaku? Dia, Sang Empunya mungkin lebih menginginkanmu untuk berada di dekatNya. Yang aku bisa lakukan sekarang hanyalah percaya. Percaya bahwa dirimu telah bahagia di sisiNya. Dan selagi menunggu waktu panggilanku tiba, aku akan coba untuk terus membperbaiki diri. Melakukan setiap pekerjaan yang baik untuk kemuliaanNya. Ya, aku belajar banyak darimu, Kak. Meski masih muda aku tak bisa bermain-main lagi, karena maut tak pernah mengenal usia.
Baiklah, aku akan mengakhiri surat ini. Ada beberapa ide yang dulu sempat tercetus darimu harus kukerjakan saat ini. Aku tau, kakak tidak akan membaca surat ini apalagi sampai membalasnya. Biarlah surat ini hanya sebagai pertanda bahwa ketiadaanmu pun memberi dampak yang berarti. Aku merindukanmu, Kak. Surat inipun kuakhiri dengan sebulir air mata yang menetes di pipi.
Sampai berjumpa lagi, Kak Maria.
Kelak kita akan bertemu di pelataran singgasana kerajaan terindah; di Surga.
Salam rindu dariku,
gadis yang menurutmu terlalu koleris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar