Untukmu, penghuni hatiku.
Selamat siang, Tuan kesayanganku.
Maaf sebelumnya, permintaanmu dalam surat sebelumnya tidak dapat kupenuhi. Kenapa? Sederhana saja. Kamu adalah seseorang yang kini menghuni hatiku, sudah hampir 7 bulan ini hatiku mulai mengenal siapa penghuninya. Oleh karena itulah, aku menyerahkan apapun panggilanmu kepada hati ini. Bahkan dalam surat menyurat kitapun aku membebaskan hatiku untuk menetapkan apa yang menjadi panggilanmu. Intinya sih, sesuka hatiku saja mau memanggilmu apa, bolehkan?
Bicara soal hati, ingatkah kamu beberapa bulan yang lalu kamu telah membuka keran cinta yang kumiliki dengan ketulusanmu? Kini cinta darimu juga telah mengalir deras memenuhi wadahnya, hatiku. Dan perlu kamu ketahui, hati hanyalah sebuah wadah yang terbatas adanya. Sedangkan cinta merupakan sebuah sumber mata air kebahagiaan yang tidak akan pernah kering.
Kita harus sama-sama menyadari dan mengerti sejak dini, kalau pada akhirnya nanti hati kita akan terpenuhi oleh masing-masing cinta yang telah kita isi. Dan pada waktunya nanti cinta ini akan membutuhkan lagi wadah baru yang akan menampungnya, hati yang baru. Mengertikah kamu, apapun yang berlebihan akan tak baik jadinya. Jika nanti Tuhan telah berkata "cukup" pada cinta yang telah terisi di hati aku dan kamu, kita harus patuh. Mematuhi ketetapanNya yang mengharuskan kita berbagi cinta pada yang lain.
Maaf jika suatu saat nanti cintaku padamu ini harus kubagi kepada hati yang lain. Kepada hati putih yang dimiliki seorang anak lelaki bermarga Telaumbanua. Yang saat suatu hari nanti akan mencium tanganmu dan tanganku sembari mengucapkan kalimat: "Pa, Ma, aku berangkat dulu ke sekolah."
Jika hal itu sampai terjadi,
bersediakah kamu memaafkanku?
Dariku, si pemilik hati.
Dariku, si pemilik hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar