Rabu, 12 Februari 2014

Menanti Lamaran

Surat ini kutulis atas dasar cinta yang menggebu kepadamu.
Rindu yang menyatu dengan lelahnya penantian membuatku berani menuliskan surat ini.

Kepadamu yang kucintai setulus hati,
calon suamiku.

Aku mencintaimu, itu kalimat pertama yang ingin aku ucapkan kepadamu. Perasaan pertama yang muncul ketika kusebut namamu. Entah sejak kapan datangnya perasaan yang sekarang tumbuh liar ini. Aku bahkan tak ingat kapan sesungguhnya aku pertama kali melihatmu. Yang aku ingat ini hanya perasaan biasa yang bisa terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Bukan sebuah heran jika ada wanita jatuh cinta pada ketampananmu. Bukan juga bimbang jika tak jarang wanita menanggapi gurauan candamu. Tapi ini mengherankan jika terjadi padaku.
Aku, yang selalu selektif dalam memilih teman dekat.
Aku, yang masih menikmati kekosongan hati tanpa penghuni.
Aku, yang tidak pernah menduga akan terperangkap dalam jebakan cintamu yang akhirnya membuatku luluh dan menyerah pada perasaan yang melawan logika ini. Jujur, aku terlalu banyak berpikir saat mencintaimu. Itu sangat menggangguku. Aku ingin mencintaimu dengan bebas, sebebas saat aku mencintai mantan pacarku dulu. 

Sudah beberapa pekan ini kita tidak saling mengobat rindu dengan temu. Hanya beberapa pesan singkat dan telepon darimu saja yang hingga kini mampu membuatku bertahan. Bagaimana urusan pekerjaanmu selama tak bertemu aku? Lancarkah?
Aku sendiri jujur tidak bisa melakukan pekerjaanku sebaik dulu. Sebaik saat aku belum mencintaimu. Banyak sekali pikiran tentangmu dan tentang kita yang mengusik pikiranku.
Saat tak bertemu seperti ini, seringkali muncul berbagai tanya dalam benakku.
"Mengapa kamu?"
"Akankah kita bersatu?"
"Sampai kapan aku harus menunggu?"
Semua pertanyaan itu makin hari makin sering berkeliaran dalam pikiranku.  Padahal, apa yang salah dengan kita? Aku tidak pernah dengan sengaja jatuh cinta denganmu. Kamu juga tidak pernah memiliki ambisi untuk membuatku terjatuh dalam cintamu. Tapi, bukan begitukah seharusnya cinta terjadi? Tanpa alasan dan tanpa rekayasa. Dan untuk memenangkan cinta yang hebat, kita memang perlu berpikir untuk mengatur strategi, bukan? Karena yang harus kulawan disini adalah seisi dunia dan yang menjadi musuh terbesarku adalah rasa takut di dalam diri ini.

Sayangku, aku memberanikan diri menulis surat ini kepadamu juga atas dasar cinta yang mendalam. Sudah kuputuskan untuk terus mencintaimu, seumur hidupku. Untuk itu aku ingin memastikan, kapan kamu bisa meminangku? Kapan keberanian yang ada padaku ini juga menulari dirimu? Dan sudah siapkah kamu jujur pada dunia mengenai kita yang saling mencinta?
Aku menanti kepastianmu. Aku menanti lamaranmu, Sayang. Sampai kapanpun itu.
Dan sampaikan maafku padanya karena telah menyakiti.

Dengan penuh cinta (yang salah),
calon istri mudamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar