Sabtu, 22 Februari 2014

Hujan

Kepada hujan yang masih terus mengalir dari mata langit.

Hujan, aku selalu suka caramu hadir membasahi tanah.
Airmu yang meresapi tanah menguarkan wewangian basah yang menyeruak di paru-paruku.
Memberi efek terbukanya memori ingatan lampau di dalam kepala.
Memaksa diri untuk memproyeksikan lagi suka dan sakit yang telah menjadi kenangan.

Hujan, aku selalu suka caramu yang hadir beramai-ramai.
Gerimismu bersehati menghujam tanah tanpa maksud menyakiti.
Tapi entah mengapa ramaimu selalu mengundang sepi di sekitarku.
Hanya bulir kenangan yang turut menyertai airmu yang menjadi teman setiaku.

Hujan, aku selalu suka caramu bermain dengan waktu.
Tanpa peduli apapun kamu datang mengguyuri bumiku.
Membasahi tubuh yang tak siap dengan kedatanganmu.
Memperlambat bahkan menghentikan langkah mereka yang terdesak oleh waktu.

Hujan, aku selalu suka caramu menyeretku ke dalam keteduhan.
Airmu memaksaku untuk berteduh dan mencari ketenangan sejenak.
Berkat itu, kamu selalu memberi kesempatan yang tepat untukku bergulat dengan waktu.
Melamunkan sesuatu yang mungkin terlewati namun mengendap di hati.

Hujan, aku selalu suka caramu berhenti.
Kamu datang dengan kesopanan penuh arti.
Membawa awan kelabu sebagai pengiring mentari pergi.
Dan pulangpun kamu sengaja membawa pelangi.
Sebagai pertanda bahwa langitmu tak lagi bersedih.

Hujan, selepas kamu pergipun aku tetap tak mengerti.
Mengapa kenangan ini tak ikut luruh bersama aliran airmu yang mulai mengering?
Ah, kau mungkin juga tak tau hal ini.
Bahwa tak hanya pelangi yang tercipta karena pergimu, tapi juga rindu.

Hujan, kini langit telah usai mencurahkan airmu.
Bisa jadi ia lelah menumpahkan rintikmu.
Tapi disini masih ada yang terus membasahiku.
Hujan dari mataku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar