Selamat siang, Tuan yang mengesalkan.
Ternyata dugaanmu pada surat-surat sebelumnya itu betul. Sepertinya hari ini hatiku lebih memilih memanggilmu sesuai dengan keadaannya yang memang sedang kesal. Sesuai dengan perumpamaanmu, panggilanmu hari ini seburuk awan mendung walaupun tak sampai disertai dengan gemuruhnya.
Dalam surat hari ini aku kembali ingin mengajakmu bermain di masa lalu. Kenapa? Alasannya sederhana. Karena aku sedang tidak nyaman berbicara mengenai masa sekarang maupun masa depan denganmu, hanya untuk saat ini. Semoga tidak sampai nanti.
Tuan, ingatkah kamu pada foto yang kulampirkan dalam surat ini? Itu adalah foto yang membuatmu memberanikan diri membangun sebuah percakapan denganku, meskipun hanya melalui pesan BBM. Kamu ingat itu tanggal berapa? Itu tepat di tanggal ini delapan bulan yang lalu. Kala itu aku sebetulnya malas menanggapimu, selain karena kalimatmu yang terkesan gombal. Aku juga ragu karena sebelumnya tidak pernah sekalipun berbicara denganmu.
Tak disangka, sekali dua kali kita berbincang melalui pesan singkat itu, akupun mulai terbiasa denganmu. Ya, aku tau pasti Tuhan bermain peran di dalamnya untuk menyatukan kita. Untuk itu janganlah pernah lupa untuk berterimakasih padaNya yang terus menumbuhkan cinta kasih di antara kita.
Ingatlah kembali awal-awal pertemuan kita itu, masa-masa perkenalan kita yang meski singkat tapi mampu memberi debar yang indah di dada. Ingatlah itu saat kita sedang menghadapi masalah seperti sekarang ini. Karena seperti katamu dahulu, jalan yang kita hadapi tak selalu lurus.
Baiklah, aku kehabisan kata-kata dalam surat ini.
Ini yang terakhir,
bertemulah denganku hari ini dan akan aku sampaikan apa yang tidak tergurat dalam surat ini.
Dariku, yang hatinya sedang kesal tak menentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar