Sabtu, 08 Februari 2014

Untuk Kalian, Untuk Kita, si Generasi Delapan!

Kenangan memang seringkali menjadi musuh bagi mereka yang ingin hidup dalam ketenangan.
Namun tak jarang pula kenangan menjadi tempat berpulang bagi mereka yang menginginkan ketenangan.
Dan kali ini kenangan membawa ingatanku pada kalian, tempatku berbagi tawa dan kesedihan; tempatku berpulang.
Kenangan terhadap kalian pulalah yang menggerakkan jemariku untuk menuliskan surat ini.

Surat hari ini khusus kutujukan kepada kalian, si generasi ke delapan.

Selamat pagi. Selamat siang. Selamat sore. Selamat malam. Aku disini tidak tau waktu saat kalian membaca suratku ini. Entah kalian ada di belahan bumi manapun saat ini, aku tidak tau. Mungkin di antara kalian ada yang sedang bertarung dengan dinginnya si putih salju, atau mungkin ada yang sedang menahan marah pada panasnya matahari di pesisir pantai yang menyengat kulit kalian. Sekali lagi, aku tidak tau. Yang aku tau saat ini adalah saat aku menulis surat ini, kalian ada disini, di hatiku.

Apa kabar kalian, teman-teman terbaik di masa putih abu-abuku? Aku harap kalimat "Baik-baik saja" akan kalian ucapkan saat membaca pertanyaanku itu. Bagaimana kuliah kalian saat ini? Apakah sudah ada yang meraih gelar sarjana? Atau mungkin ada yang sudah memiliki pasangan hidup yang sejati? Kalau sudah, dengan penuh ketulusan kuucapkan selamat pada kalian. 

Teman-teman, aku percaya, saat kita ditakdirkan untuk berada di posisi angkatan delapan, itu bukanlah sebuah kebetulan. Perhatikanlah, angka delapan memiliki keunikannya sendiri. Ia adalah angka yang penulisannya unity, tidak berpangkal juga tidak berujung. Semua tersusun hingga membentuk satu kesatuan. Nah, angka delapan, itulah kita! Sama seperti penulisan angka delapan yang tidak berujung, Tuhan menginginkan kesatuan hati yang ada di antara kita terus terpelihara sampai kapanpun.

Aku yakin, saat kalian membaca suratku ini, ingatan kalian akan terus melayang hingga beberapa tahun yang lalu. Mungkin ingatan kalian terhenti pada peristiwa dimana kalian pernah diceburin ke sungai samping sekolah kita oleh teman-teman sekelas saat kalian ulang tahun. Atau bisa jadi ada yang pikirannya terhenti pada kejadian di hari kita harus memutar belakang sekolah, melewati perumahan elit lalu berujung pada kebun-kebun yang penuh dengan semak belukar yang akhirnya membawa kita pada gedung belakang sekolah dekat kantin. Semua itu kita lakukan hanya untuk masuk kelas akibat terlambat dan pagar utama sudah dikunci. Ah, kenapa semua kemungkinan yang kusebutkan itu menjurus pada kenakalan? Biarlah, toh bukankah itu masa-masa dimana kita sedang bergairah untuk mengekspresikan diri? Yaaa walaupun semua itu hampir selalu disertai dengan sedikit kenakalan yang penuh arti, toh aku juga pernah mengalami itu semua. Dan tentu saja semua jadi pembelajaran yang sangat berharga. Bukankah pengalaman adalah guru yang paling baik?

Ingatanku sendiri saat ini sudah melayang terlalu jauh. Ia dengan lancang terus berlari dan terhenti pada satu kenangan yang bahkan saat itu aku belum menerima seragam putih abu-abu untuk dikenakan sebagai seragam. Ingatanku terhenti pada masa penjajakan pertama di dunia putih abu-abu; masa ospek. Masih jelas terputar di ingatanku beberapa perintilan kecil namun berharga yang terjadi di masa ospek SMA. Aku ingat betul, saat harus melewati kali kecil, sepatuku hilang tertelan lumpur. Iya, ternyata kali itu beralaskan lumpur. Dengan tanganku, aku mencoba untuk merogoh lumpur tanah tersebut guna meraih kembali sebelah sepatuku, tapi sia-sia. Dengan hampir menangis, aku harus merelakan sepatu baruku yang berharga ratusan ribu itu. Aku juga ingat saat kakak-kakak kelas meneriaki kita untuk merangkak, waktu itu aku hampir muntah karena ternyata di sebelah kita saat itu ada kubangan kotoran kerbau. Astaga, betapa saat itu sungguh membuatku rindu. Solidaritas dan kebersamaan kita tiba-tiba menjadi begitu kuat berkat masa ospek itu. Tapi entah mengapa akhir-akhir ini masa ospek malah menjadi suatu ajang untuk melampiaskan kekerasan dan dendam. Ada juga sekolah yang mengabaikan masa ospek hanya karena takut ada orang tua yang protes. Huh! Padahal jika diatur seapik masa kita dulu, masa ospek bisa menjadi suatu pengalaman berharga yang mengikat satu angkatan untuk lebih erat solidaritasnya.

Hmm, sepertinya sekarang ingatanku berjalan perlahan menuju masa-masa berikutnya. Masa kelas sepuluh, sebelas, dua belas, sampai masa kelulusan. Tetap saja, dalam masa-masa itu yang ada hanya kalian, si generasi delapan. Sekarang, ingatanku sedang menuju kembali pada kenyataan. Kenyataan di masa sekarang, dimana kita sudah tersebar dan berjauhan. Kita, si generasi delapan sudah tak lagi memakai seragam yang sama sekarang. Tapi aku percaya, dimanapun kita berada saat ini dan meskipun jalan kita berbeda-beda, kelak kita akan bertemu kembali pada tujuan yang sama: KESUKSESAN!

Kudoakan untuk kalian; untuk kita; si generasi delapan, semoga kita tetap terpaut dalam satu kebersamaan. Semoga kita tetap saling mengingat dan mendoakan. Tetaplah akrab, teman-temanku. Sama seperti angka delapan yang tetap konsisten meskipun dibalik, itulah kita yang tetap konsisten dalam kebersamaan meskipun umur sudah memakan kehidupan kita sedikit demi sedikit.

Aku merindukan kalian, aku merindukan kita.
Sampai berjumpa teman-temanku, semoga Tuhan mengizinkan kita bertemu kembali untuk sekedar berbagi cerita yang sudah terlewati. 
Kucurahkan berlimpah doa untuk kalian, generasi delapanku.

Salam rindu dariku,
salah satu dari sekian ratus bagian si generasi delapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar