Untuk Tuan yang sembilan bulan lalu melirikku.
Selamat pagi Tuan yang lebih keras kepala dariku.
Sebelum aku menjelaskan apa yang aku pahami, aku ingin memberitahu dua hal kepadamu.
Pertama, aku cukup puas. Ya, aku cukup puas kemarin saat membaca balasan suratmu. Setidaknya aku berhasil sedikit menarik keluar sisi dirimu yang puitis.
Kedua, aku ingin mengajakmu sebentar bermain di ingatan sembilan bulan yang lalu. Tepat tanggal delapan di bulan Mei. Marilah kita bernostalgia sejenak saja. Masih ingatkah kamu, itu kali pertama ada getaran di dadamu saat melihatku? Itu juga pertama kalinya matamu yang nakal itu tertarik padaku, sampai-sampai hatimu mendesak mulutmu bersuara guna menanyakan namaku pada seseorang. Ah, andai saja hari itu kamu tidak datang dalam konser yang kutangani, apa ada cara lain Tuhan untuk mempertemukan kita? Kalaupun ada, kurasa tidak akan seindah saat sembilan bulan lalu kamu melihatku. Oia, selagi kita masih bermain dalam ingatan sembilan bulan silam. Ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu. Apa yang membuatmu tertarik saat itu? Karena dalam ingatanku, saat itu aku sungguh lelah. Bawah mataku berkantung akibat hanya tidur selama dua jam. Wajahku juga penuh debu, karena saat itu aku berlari kesana kemari untuk memastikan kesiapan semuanya. Apa yang menarik dari diriku yang seperti itu?
Baiklah, sekarang waktunya kita berhenti bermain. Kita kembali pada hari ini, pada kenyataan. Aku paham, dalam cerita yang kamu sampaikan di surat kemarin itu, kita bermain peran di dalamnya. Ya, itu adalah cerita aku dan kamu di awal hari ke enam bulan Februari ini. Hanya saja akhir cerita itu adalah karanganmu sendiri. Dan aku juga paham, itu adalah mimpimu, mimpi kita. Sama denganmu, aku juga menginginkan akhir yang indah pada cerita itu. Aku memahami kok, kenapa kamu tidak tau apa pendapatku tentang cerita itu. Wajar saja, kamu sudah mulai mengenalku yang terkadang jalan pikirannya sulit untuk ditebak.
Wah, sudah jam segini, sayang! Aku harus lekas bersiap untuk ujian! Kamu juga ya! Jangan sampai terlambat! Akhir kata, aku juga memahami kedua hal yang telah kamu paparkan panjang lebar dalam isi surat kemarin.
Baiklah, Tuan yang sembilan bulan lalu berbaju batik. Aku, Nona yang sembilan bulan lalu mengenakan baju merah ini sangat menyayangimu. Teruslah menyayangiku dan jangan pernah lelah untuk memahamiku.
Baiklah, sekarang waktunya kita berhenti bermain. Kita kembali pada hari ini, pada kenyataan. Aku paham, dalam cerita yang kamu sampaikan di surat kemarin itu, kita bermain peran di dalamnya. Ya, itu adalah cerita aku dan kamu di awal hari ke enam bulan Februari ini. Hanya saja akhir cerita itu adalah karanganmu sendiri. Dan aku juga paham, itu adalah mimpimu, mimpi kita. Sama denganmu, aku juga menginginkan akhir yang indah pada cerita itu. Aku memahami kok, kenapa kamu tidak tau apa pendapatku tentang cerita itu. Wajar saja, kamu sudah mulai mengenalku yang terkadang jalan pikirannya sulit untuk ditebak.
Wah, sudah jam segini, sayang! Aku harus lekas bersiap untuk ujian! Kamu juga ya! Jangan sampai terlambat! Akhir kata, aku juga memahami kedua hal yang telah kamu paparkan panjang lebar dalam isi surat kemarin.
Baiklah, Tuan yang sembilan bulan lalu berbaju batik. Aku, Nona yang sembilan bulan lalu mengenakan baju merah ini sangat menyayangimu. Teruslah menyayangiku dan jangan pernah lelah untuk memahamiku.
Nona berbaju merah yang sembilan bulan lalu tanpa sengaja mencuri perhatianmu.
Ingatlah, aku menyayangimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar